Kamis, 03 September 2015

100 ORANG DARI 26 NEGARA



Ini untuk yang ketiga kalinya saya ke Bremen University.  Tahun 2007 saya ke ITB-Bremen University sebagai Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti untuk suatu workshop selama 2 hari.  Waktu itu benar-benar tidak ada waktu sedikitpun untuk sekedar jalan-jalan. Datang dari bandara langsung bergabung dengan workshop dan itupun sudah terlambat sekitar 1,5 jam.  Selesai workshop segera pulang, karena sudah ada acara yang menunggu di Jakarta.

Tahun lalu, September 2014 saya kembali ke ITB-Bremen University bersama rombongan Fakultas Teknik Unesa untuk menandatangani MoU.  Rombongan dipimpin oleh Prof. Eko Hariadi (Dekan FT, waktu itu masih sebagai Pembantu Dekan 1).  Waktunya agak longgar sehingga sempat jalan-jalan sedikit.  Apalagi ada Mas Bowo, dosen muda FT yang sedang ikut short course di ITB-Bremen University, sehingga dapat mengantar kesana-kemari.

Kali ini saya datang ke ITB-Bremen University sebagai dosen biasa dan mempresentasikan makalah pada International Conference VET (vocational education and training).  Saya datang bersama Bu Euis Ismayati, Pak Aditya Chandra dan isteri saya.  Bu Euis sebagai penulis makalah bersama saya. Sebenarnya makalah kami tulis berempat, yaitu Pak Cholik, Pak Parji, Bu Euis dan saya.  Sayang Pak Cholik dan Pak Parji tidak dapat ikut.

Karena sudah sebagai dosen biasa dan tidak acara yang menunggu, saya punya waktu agak longgar di Bremen. Sayang Bremen bukanlah kota wisata yang menarik.  Di Bremen tidak ada peninggalan yang spektakuler seperti Edinbrugh atau Perancis. Wisatawan biasanya hanya di sekitar kota dan melihat sedikit bangunan kuno dan patung keledai, anjing, monyet dan ayam yang bertumpuk dan menjadi simbul kota Bremen.  Wilayah lain, hanya berupa kota kecil tetapi modern, sehingga ya seperti wajah kota-kota di Eropa pada umumnya. Tidak ada yang menarik.  Wisatawan juga tidak banyak.





Yang justru menarik untuk dibagi ceritanya adalah konferensinya.  Nama resminya International VET Conference, dengan tema Crossing Boundries in VET: Innovative Concepts for 21 Century.  Konferensi di buka oleh Jos Santos, Acting Head of Unit of Vocational Training and Adult Education, DG Employment, Social Affairs and Inclusion, Europian Commission.   Jadi yang membuka seseorang atas nama Uni Eropa.

Sebagaimana lazimnya konferensi di negara maju, pesertanya tidak banyak.  Saya tidak tahu pasti, tetapi perkiraan saya tidak lebih dari 100 orang.  Waktu pembukaan di Gedung Bremen Chamber of Commerce (semacam Kadin di Indonesia), kursi yang disiapkan hanya 15 baris dan setiap baris berisi 10 buah.  Itupun tidak penuh, sekitar 3 baris belakang kosong.  Baris di depanpun juga tidak terisi penuh.  Namun, ketika Prof Michael Gessler (Direktur ITB Bremen Univ) menyangkan negara asal peserta dan jika negaranya disebut meminta peserta mengucapkan “sapaan” dalam bahasanya masing-masing, saya menghitung ada 26 negara.  Jadi perserta yang tidak lebih dari 100 orang itu berasal dari 26 negara.  Tentu yang terbanyak peserta dari Jerman.







Ketika peserta masing-masing negara berdiri dan menyampaikan salam/sapaan, saya melihat peserta dari Jepang 2 orang, Afrika Selatan 1 orang, Ruanda 1 orang, Iran 1 orang, India 1 orang, Finlandia 2 orang.  Peserta dari Indonesia sebanyak 4 orang sudah tergolong banyak.  Malaysia hanya 3 orang dan Asustralia juga 3 orang.

Walaupun peserta hanya kurang dari 100 orang, selain keynote speach, diskusi dilakukan dalam 3 kelompok atau 4 kelompok.  Jadi dalam kelompok isinya hanya sekitar 20 orang dan peserta bebas untuk memilih kelompoknya.  Waktu saya presentasi di hari kedua sesi pertama, peserta diskusi hanya sekitar 20 orang juga. Bahkan Dr. Thomas Schroder dari Univ Cologne Jerman yang menjadi moderator mengatakan moga-moga pesertanya mencapai 15 orang.  Ketika saya menjadi moderator pada hari kedua sesi ke-empat saya hitung pesertanya hanya 14 orang.

Karena pesertanya hanya sedikit, dari setiap pemakalah mendapat alokasi waktu presentasi sekitar 2 menit plus 20 menit tanya jawab, maka diskusi dapat berjalan intensif.  Apalagi kebiasaan orang Barat yang sangat aktif dalam diskusi.  Ketika memoderatori  Eileen Lukcke dan Lena Setzefand dari Jerman dengan topik Leaner-Generated Videos as a Means fo Subject and Language Learning in Care Sector across Europa, saya sampai harus menyetop diskusi karena waktunya habis tetapi peserta masih aktif pengin ngomong.

Setiap sore hari, di akhir konferensi, semua peserta diminta berkumpul di ruangan pleno dan Michael Gessler sebagai penyelenggara bertanya kepada peserta “apa informasi yang diperoleh dari diskusi hari ini”.   Sangat menarik, ternyata masing-masing peserta (secara acak) mendapatkan informasi yang berbeda-beda.  Tampaknya apa yang sudah biasa di negara tertentu merupakan hal baru di negara lain.  Misalnya , peserta dari Amerika merasa mendapat informasi menarik mengapa industri di Jerman aktif memberikan pelatihan kepada anak muda.  Hal yang sudah menjadi tradisi bagi Jerman tetapi hal baru bagi Amerika Serikat.

Mengikuti konferensi ini, keyakinan saya bahwa pola VET (sebut saja pendidikan kejuruan) suatu negara dipengaruhi oleh sejarah dan budaya negaranya, menjadi semakin kuat.  Dan kita dapat membuat sebuah kontinum dan setiap negara ditempatkan dalam kontinum itu.  Jerman dan Swis merupakan negara yang berada di ujung kontinum satu, sementara Amerika Serikat dan Australia di ujung kontinum lainnya.  Semenara negara lain, seperti Finlandia, Perancis, Jepang, Korea, termasuk Indonesia berada di tengah-tengah.

Jika Jerman sampai sekarang berpegang VET harus berstruktur yang ketat dengan dual system-nya yang berjalan bagus (karena sudah menjadi tradisi kesejarahan), maka Amerika tidak mengenat VET.  Yang mereka kenak adalah CTE (Career and Technicak Education), sementara Australia hanya mengenal TAFE (Teachnical and Futher Education), yang keduanya dikelola dengan sangat longgar.

Bagaimana dengan Indonesia?  Tampaknya kita belum memutuskan pola yang benar-benar akan kita pegang.   Pada awalnya kita mengikuti pola mirip Jerman, karena mewarisi jajahan Belanda.  Namun seiring dengan waktu dan banyak tokoh yang berpendidikan Amerika dan Asutralia, kita bergeser.  Sayangnya (ini hanya dugaa), belum ada kesepahaman yang utuh dalam tataran kebijakan nasional.  Misalnya, di satu sisi pola Amerika semakin menguat dalam sistem pendidikan kita, tetapi kita ingin memperbanyak SMK. Bahkan membuat SMK dengan sangat spesialistik ala Jerman.

Mana yang baik, apa Jerman atau Amerika, sehingga kita dapat mengadopsi?  Menurut saya, keduanya sama-sama baik. Tetapi harus disesuaikan dengan kondisi negara kita dan dilakukan secara konsisten.  Semoga kita menjadi pebelajar yang cerdas.



Tidak ada komentar: