Ini untuk yang ketiga
kalinya saya ke Bremen University. Tahun
2007 saya ke ITB-Bremen University sebagai Direktur Ketenagaan Ditjen Dikti
untuk suatu workshop selama 2 hari.
Waktu itu benar-benar tidak ada waktu sedikitpun untuk sekedar
jalan-jalan. Datang dari bandara langsung bergabung dengan workshop dan itupun
sudah terlambat sekitar 1,5 jam. Selesai
workshop segera pulang, karena sudah ada acara yang menunggu di Jakarta.
Tahun lalu, September
2014 saya kembali ke ITB-Bremen University bersama rombongan Fakultas Teknik
Unesa untuk menandatangani MoU.
Rombongan dipimpin oleh Prof. Eko Hariadi (Dekan FT, waktu itu masih
sebagai Pembantu Dekan 1). Waktunya agak
longgar sehingga sempat jalan-jalan sedikit.
Apalagi ada Mas Bowo, dosen muda FT yang sedang ikut short course di
ITB-Bremen University, sehingga dapat mengantar kesana-kemari.
Kali ini saya datang
ke ITB-Bremen University sebagai dosen biasa dan mempresentasikan makalah pada International
Conference VET (vocational education and training). Saya datang bersama Bu Euis Ismayati, Pak
Aditya Chandra dan isteri saya. Bu Euis sebagai
penulis makalah bersama saya. Sebenarnya makalah kami tulis berempat, yaitu Pak
Cholik, Pak Parji, Bu Euis dan saya.
Sayang Pak Cholik dan Pak Parji tidak dapat ikut.
Karena sudah sebagai
dosen biasa dan tidak acara yang menunggu, saya punya waktu agak longgar di
Bremen. Sayang Bremen bukanlah kota wisata yang menarik. Di Bremen tidak ada peninggalan yang
spektakuler seperti Edinbrugh atau Perancis. Wisatawan biasanya hanya di
sekitar kota dan melihat sedikit bangunan kuno dan patung keledai, anjing,
monyet dan ayam yang bertumpuk dan menjadi simbul kota Bremen. Wilayah lain, hanya berupa kota kecil tetapi
modern, sehingga ya seperti wajah kota-kota di Eropa pada umumnya. Tidak ada
yang menarik. Wisatawan juga tidak
banyak.
Yang justru menarik
untuk dibagi ceritanya adalah konferensinya.
Nama resminya International VET Conference, dengan tema Crossing
Boundries in VET: Innovative Concepts for 21 Century. Konferensi di buka oleh Jos Santos, Acting Head
of Unit of Vocational Training and Adult Education, DG Employment, Social
Affairs and Inclusion, Europian Commission.
Jadi yang membuka seseorang atas nama Uni Eropa.
Sebagaimana lazimnya
konferensi di negara maju, pesertanya tidak banyak. Saya tidak tahu pasti, tetapi perkiraan saya
tidak lebih dari 100 orang. Waktu
pembukaan di Gedung Bremen Chamber of Commerce (semacam Kadin di Indonesia),
kursi yang disiapkan hanya 15 baris dan setiap baris berisi 10 buah. Itupun tidak penuh, sekitar 3 baris belakang
kosong. Baris di depanpun juga tidak
terisi penuh. Namun, ketika Prof Michael
Gessler (Direktur ITB Bremen Univ) menyangkan negara asal peserta dan jika
negaranya disebut meminta peserta mengucapkan “sapaan” dalam bahasanya
masing-masing, saya menghitung ada 26 negara.
Jadi perserta yang tidak lebih dari 100 orang itu berasal dari 26
negara. Tentu yang terbanyak peserta
dari Jerman.
Ketika peserta
masing-masing negara berdiri dan menyampaikan salam/sapaan, saya melihat
peserta dari Jepang 2 orang, Afrika Selatan 1 orang, Ruanda 1 orang, Iran 1 orang,
India 1 orang, Finlandia 2 orang.
Peserta dari Indonesia sebanyak 4 orang sudah tergolong banyak. Malaysia hanya 3 orang dan Asustralia juga 3
orang.
Walaupun peserta hanya
kurang dari 100 orang, selain keynote speach, diskusi dilakukan dalam 3 kelompok
atau 4 kelompok. Jadi dalam kelompok
isinya hanya sekitar 20 orang dan peserta bebas untuk memilih kelompoknya. Waktu saya presentasi di hari kedua sesi
pertama, peserta diskusi hanya sekitar 20 orang juga. Bahkan Dr. Thomas
Schroder dari Univ Cologne Jerman yang menjadi moderator mengatakan moga-moga
pesertanya mencapai 15 orang. Ketika
saya menjadi moderator pada hari kedua sesi ke-empat saya hitung pesertanya
hanya 14 orang.
Karena pesertanya hanya
sedikit, dari setiap pemakalah mendapat alokasi waktu presentasi sekitar 2
menit plus 20 menit tanya jawab, maka diskusi dapat berjalan intensif. Apalagi kebiasaan orang Barat yang sangat aktif
dalam diskusi. Ketika memoderatori Eileen Lukcke dan Lena Setzefand dari Jerman
dengan topik Leaner-Generated Videos as a Means fo Subject and Language
Learning in Care Sector across Europa, saya sampai harus menyetop diskusi
karena waktunya habis tetapi peserta masih aktif pengin ngomong.
Setiap sore hari, di
akhir konferensi, semua peserta diminta berkumpul di ruangan pleno dan Michael
Gessler sebagai penyelenggara bertanya kepada peserta “apa informasi yang
diperoleh dari diskusi hari ini”. Sangat menarik, ternyata masing-masing
peserta (secara acak) mendapatkan informasi yang berbeda-beda. Tampaknya apa yang sudah biasa di negara
tertentu merupakan hal baru di negara lain.
Misalnya , peserta dari Amerika merasa mendapat informasi menarik
mengapa industri di Jerman aktif memberikan pelatihan kepada anak muda. Hal yang sudah menjadi tradisi bagi Jerman
tetapi hal baru bagi Amerika Serikat.
Mengikuti konferensi
ini, keyakinan saya bahwa pola VET (sebut saja pendidikan kejuruan) suatu
negara dipengaruhi oleh sejarah dan budaya negaranya, menjadi semakin kuat. Dan kita dapat membuat sebuah kontinum dan
setiap negara ditempatkan dalam kontinum itu.
Jerman dan Swis merupakan negara yang berada di ujung kontinum satu,
sementara Amerika Serikat dan Australia di ujung kontinum lainnya. Semenara negara lain, seperti Finlandia,
Perancis, Jepang, Korea, termasuk Indonesia berada di tengah-tengah.
Jika Jerman sampai
sekarang berpegang VET harus berstruktur yang ketat dengan dual system-nya yang
berjalan bagus (karena sudah menjadi tradisi kesejarahan), maka Amerika tidak
mengenat VET. Yang mereka kenak adalah
CTE (Career and Technicak Education), sementara Australia hanya mengenal TAFE
(Teachnical and Futher Education), yang keduanya dikelola dengan sangat
longgar.
Bagaimana dengan
Indonesia? Tampaknya kita belum
memutuskan pola yang benar-benar akan kita pegang. Pada awalnya kita mengikuti pola mirip
Jerman, karena mewarisi jajahan Belanda.
Namun seiring dengan waktu dan banyak tokoh yang berpendidikan Amerika
dan Asutralia, kita bergeser. Sayangnya
(ini hanya dugaa), belum ada kesepahaman yang utuh dalam tataran kebijakan
nasional. Misalnya, di satu sisi pola
Amerika semakin menguat dalam sistem pendidikan kita, tetapi kita ingin
memperbanyak SMK. Bahkan membuat SMK dengan sangat spesialistik ala Jerman.
Mana yang baik, apa
Jerman atau Amerika, sehingga kita dapat mengadopsi? Menurut saya, keduanya sama-sama baik. Tetapi
harus disesuaikan dengan kondisi negara kita dan dilakukan secara
konsisten. Semoga kita menjadi pebelajar
yang cerdas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar