Judul diatas saya pinjam dari tayangan penutup Dr. Lazaro Moreno Herrera, orang asal Cuba yang menjadi dosen di University Stockholm Swedia dan tampaknya sudah menjadi warga negara Swedia. Judul makalahnya “Vocational Education and Training in Sweden: From Work Based Learning to School Based Learning-and back?”. Mungkin karena beliau orang Cuba dan memperoleh PhD di Finlandia, maka tinjauannya sangat jernih dan tajam. Mengenal betul karateristik pendidikan di Scandinavia, termasuk perpolitikan yang berpengaruh terhadap arah pendidikan di negara-negara Scandinavia, tetapi tidak terikat secara kultural, karena bukan kelahiran Swedia dan tidak pernah sekolah di Swedia juga.
Beliau menjelaskan bahwa
pada awalnya pola pendidikan di Swedia, khususnya VET (pendidikan
kejuruan—mohon dicatat itu lebih luas dari SMK, karena mencakup pelatihan dan
politeknik) menggunakan work based learning. Artinya program yang ada,
kurikulum maupun pelaksanaan pendidikan banyak melibatkan dunia industri. Anak muda di Swedia senang masuk VET karena
mudah mendapatkan pekerjaan dan dihargai di masyarakat. Industri juga sudah terbiasa terlibat dalam
pendidikan.
Namun seiring dengan
perkembangan zaman, dan menurut Dr. Lazaro juga ada pengaruh politik, pola itu
dianggap menimbulkan segregasi sosial.
Anak-anak yang masuk VET pada umumnya dari kalangan menengah kebawah yang
ingin segera bekerja. Walapun mudah mendapatkan pekerjaan, tetapi pada umumnya
ada tataran blue color worker yang rendah gengsinya. Oleh karena itu atas nama persamaan hak,
semua anak didorong masuk universitas dan berpendidikan setinggi mungkin,
dengan meminimalkan pembiayaan. Dengan
demikian anak-anak dari keluarga kelas menengah kebawah juga dapat menyamai
mereka yang dari menengah ke atas.
Namun akhir-akhir ini
angka pengangguran sangat tinggi di Swedia, sampai sedikit di atas 20%. Anehnya
menurut Dr. Lazaro pengangguran yang tinggi itu tidak menjadi gejolak, karena
Swedia merupakan wellfare state, sehingga mereka yang tidak punya penghasilan
disubsidi oleh negara. Dan anak-anak
muda tetap tenang saja, dengan menyandang pendidikan tinggi tetapi tidak punya
pekerjaan. Yang justru mulai risau
adalah pemerintahnya. Mulai ada wacana
ingin mengembalikan pola pendidikannya ke work based learning.
Nah, wacana itulah
yang dibahas oleh Dr. Lazaro dengan panjang lebar. Konon terjadi perdebatan sengit dan
berkepanjangan tanpa simpulan yang jelas tentang kemana kebijakan pendidikan
akan diarahkan. Di satu pihak ada kelompok yang ingin mengurangi pengangguran
denga menggalakkan VET, sebaliknya pihak lain mempertanyakan apakah ingin
menimbulkan segregasi sosial seperti di masa lalu.
Ketika diskusi muncul
berbagai tanggapan dari peserta. Seperti
biasanya, setiap peserta akan membawa faham negaranya masing-masing. Yang saya tangkap dari anggapam peserta dari
Jerman dan Swiss, pola VET di Jerman dan negara sekitarnya itu memiliki sejarah
tersendiri. Secara tradisi VET itu
bagian dari industri dan industri sudah sejak dulu merasa berkuwajiban membantu
VET. Jadi pola yang sekarang menjadi
aturan pemerintah sebenarnya hanya memformalkan apa yang sebelumnya sudah
terjadi. Itulah sebabnya dual system
berjalan dengan baik d Jerman.
Sebaliknya di Amerika
Serikat tidak punya tradisi itu. Amerika
Serikat menggunakan school based learning.
VET bagian dari pelajaran di sekolah umum. Siswa belajar keterampilan di
sekolah atau vocational center.
Tujuannya bukan agar siswa siap bekerja, tetapi agar siswa mengenal, menghargai
dan punya pandangan positif terhadap pekerjaan yang bersifat manuan
skills. Nanti kalau akan bekerja mereka
mengikuti OJT di industri tempat bekerja.
Jadi indutri di
Amerika Serikat tidak punya tradisi melayani siswa VET, sehingga akan sulit melaksanakan
dual system. Sebaliknya mereka terbiasa
memberikan OJT bagi karyawan baru. Menurut peserta dari Amerika, industri di
sama mau memberi OJT karena sudah menjadi karyawannya, sedang jika dual system,
siswa belum tentu menjadi karyawannya.
Dari diskusi yang
hangat, saya menangkap pendidikan tidak bisa sekedar “meminjam” pola yang baik
di negara lain, tanpa mempertimbangkan budaya dan tradisinya. Saya berpikir, jangan-jangan
kekurangberhasilan pendidikan sistem ganda di Indonesia, karena ketika meminjang
pola Jerman tanpa mepertimbangkan bahwa budaya kita berbeda dengan budaya
Jerman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar