Itu nama buku, dengan
nama lengkapnya “Wow not to be Wrong: The Hidden Maths of Everyday Life”
tulisan Jordan Ellenberg. Saya membeli
buku itu dengan beberapa alasan. Pertama, judulnya sangat menarik, yaitu
bagaimana tidak salah. Apalagi ditambahi anak judul, matematika tersembunyi
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hati,
apakah ini tentang Matematika Realistik yang dikembangan di Amerika.
Kedua, setelah saya buka pengarangnya, Jordan Ellenberg adalah profesor
Matematika di University of Wisconsin dan buku itu merupakan Sunday Times
Bestseller. Menurut keterangannya Jordan
Ellenberg pernah shortlisted di NYPL Young Lions Award dan menjadi penulis
reguler di New York Times dan Washington Post.
Ketiga, setelah saya buka-buka (kebiasaan membaca dulu sekilas sebelum
membeli), di halaman 16 saya menemukan kalimat menarik: “I dedicated myself to number theory, what Gauss called the queen of
mathematics, the purest of the pure subjects, the sealed garden at the center
of the convent, where we contemplated
the sama questions about numbers and equations that troubled the greeks
and have gotten hardly less vexing in the twenty-five hundred years since”.
Membaca kalimat itu,
saya langsung teringat dua orang juragan matematika di Unesa, yaitu almarhum
Prof Soedjadi dan Prof Ketut Budayasa.
Seingat saya, ketika menguji tesis S2 Pendidikan Matematika, Pak Jadi
(begitu saya memanggil) selalu menanyakan tentang bilangan. Saya sendiri tidak
begitu faham, lha wong angka kok dipersoalkan.
Biasanya saya terus berpikir, biarlah itu menjadi urusan orang
Matematika mempersoalkan sesuatu yang sudah jelas.
Pada halaman 17, saya
menemukan kalimat yang lebih menarik lagi, “But
something funny happened. The more
abstract and distant from lived experince my research got, the more I strated
to notice how much mtah was going on the world outside the walls. Not Galois represeantation or comology. But
ideas that were simpler. Older and just as depp-the north west quadrant of the
conceptual foursquare.” Lho ini kan
aneh. Pak Jadi dan Pak Ketut, sering
mendiskusikan hal-hal yang menurut saya ada di angan-angan, misalnya bilangan,
tetapi Jordan Ellenberg, mengatakan semakin dalam risetnya malah semakin dekat
dengan kehidupan.
Karena saya tidah
faham maksudnya, tetapi saya yakin isinya bagus, buku itu saya beli dan sengaja
akan saya berikan Pak Ketut, karena Pak Jadi sudah almarhum. Biar nanti menjadi bahan diskusi bagi
teman-teman Matematika dan saya yang jadi penonton. Namun sampai di rumah Kiki saya terdorong
untuk membaca, walaupun tentu saya sulit memahami isinya. Nah, beberapa yang saya baca dan sedikit
fahami itu yang ingin saya bagi dengan pembaca.
Buku itu banyak
menceritakan bagaimana matematika dapat memecahkan problema kehdupan
sehari-hari, mulai dari yang simple sampai pada yang kompleks. Juga diberikan contoh-contoh mendasar, logika
matematika untuk terhindar dari kesalahan kesimpulan. Dan itulah tampaknya (sekali lagi ini dugaan
dari orang yang tidah faham matematika).
Diceritakan bagaimana
Abtaham Wald, matematikanwan yang tidak punya pengalaman perang meluruskan
simpulan para ahli peperangan, ketika melakukan analisis pesawat terbang agar
terhindar dari tembakan. Para ahli
pesawat menyajikan data lubang bekas tembakan pada pesawat yang selesai perang,
yang diambil secara acak sbb:
Section
of plane
|
Bullet
holes per sq foot
|
Engine
|
1.11
|
Fuselage
|
1.73
|
Fule
system
|
1.55
|
Rest of
the plane
|
1.8
|
Para ahli perang udara
menyimpulkan seharusnya bagian pesawat yang dipekuat adalah yang mendapat
banyak tembakan. Tetapi Wald justru
membatah, seharusnya yang diperkuat adalah bagian engine. Mengapa?
Karena pesawat yang bagian mesin kena lebiih 1.11 lubang jatuh, sehingga
tidak bisa pulang. Wald menjelaskan,
asumsi sampling yang digunakan oleh para ahli perang udara itu tidak
tepat. Mestinya populasi semua pesawat
yang berangkat perang, bukan yang dapat kembali. Justru yang tidak kembali itu yang punya
kelemahan.
Contoh kedua yang
diceritakan dalam buku itu adalah perdebatan terhadap kebijakan Predisen
Obama. Banyak lawan politik Obama
mempertanyakan, mengapa Obama mendorong Amerika seperti Swedia, sementara orang
Swedia sendiri ingin berubah tidak seperti Swedia sekarang. Mengapa terjadi perbedaan pandangan antara
Obama bersama timnya dengan para penentangnya?
Menurut Jordan
Elleberg, karena kedua pihak berangkat dari asumsi yang berbeda. Penentang Obama mendasarkan diri pada kurva
linier, sedangkan Obama beserta timnya mendasarkan pada kurva non linier. Dengan asumsi kurva linier (gambar kiri),
semakin mendekati model Swedia kesejahteraan masyarakat akan menurun, sementara
dengan asumsi non liner (gambar kanan), dapat dicari posisi dengan
kesejahteraan maksimal dan itu ternyata lebih dekat dengan model Swedia
dibanding model Amerika.
Apa betul begitu? Jujur saya tidak faham benar. Biarlah Pak Ketut Budayasa bersama teman
jurusan Ekonomi yang mendiskusikan dan kita menunggu saja penjelasan hasil
diskusi. Atau jika pembaca tertarik atau
bahkan penasaran dapat membaca sendiri bukunya.
Cukup menarik dengan 468 halaman dan ditutup dengan bab berjudul How to
be Right. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar