Seperti saya sebutkan
pada tulisan terdahulu, salah satu pendorong saya ke Sabah Malaysia adalah
ingin melihat dengan mata kepala sendiri anak-anak TKI yang dulu tidak mendapat
kesempatan sekolah dan sekolah sudah mendapat “pintu belajar” melalui CLC (community
learning center). Sabtu tanggal 14
Nopember 2015 saya bersama rombongan mendapat kesempatan mengunjungi salah satu
CLC yaitu CLC Cinta Mata. Lokasi CLC
tersebut sekitar 3 jam bermobil dari Kota Kinabalu. Setelah mengunjungi SIKK (Sekolah Indonesia
Kota Kinabalu), sekitar pukul 9.30 kami meluncur ke Cinta Mata.
Lokasinya di daerah pegunungan,
di kaki Gunung Kinabalu sehingga udaranya segar. Masyarakatnya banyak yang berkebun
sayuran. Lokasi CLC Cinta Mata tidak
jauh dari jalan raya, hanya sekitar 5 menit bermobil. Keluar dari jalan raya, belok ke jalan
menuju daerah wisata, kemudian belok ke jalan makadam lokasi kebun sayur. Disitulah lokasi CLC Cinta Mata.
CLC Cita Mata
menggunakan fasilitas gereja untuk kegiatan belajar mengajar dan memang pada
awalnya dirintis oleh para aktivis gereja.
Walaupun bernama resmi CLC tetapi lebih tepat disebut SD dan SMP
Terbuka. Jumlah siswanya 410 orang,
dengan guru 13 orang. Orangtua siswa
adalah para TKI yang pada umumnya bekerja sebagai pekerja kebun sayuran. Sebagian besar mereka berasal dari Toraja dan
Timor. Mereka sudah di Sabah sangat lama
dan banyak anak-anak itu lahir di Sabah.Mereka pada umumnya bekerja sebagai
pekerja di kebun sayur milik petani setempat. Ada yang mendapat gaji dan ada
yang bekerja dengan pola bagi hasil dengan pemilik lahan/modal.
Saat kami datang, ada
seorang ibu berperawakan kecil bercelana panjang sederhana, berbaju merah
dengan simbul Garuda Pancasila di dadanya.
Segera saja saya hampiri ibu itu dan ternyata beliau ibu guru perintis
CLC Cinta Mata. Ibu Sarce, sudah 23
tahun tinggal di Cinta Mata dan menjadi guru disitu sejak CLC dirintis 9 tahun
lalu. Walaupun pendidikan formalnya
“hanya” SMA, tetapi dari sorot mata dan cara bertutur tampak cerdas dan teguh
pendirian. Dari beliaukah saya mendapat
banyak informasi tentang CLC Cinta Mata dan kehidupan TKI di situ.
Bersama ibu Sarce ada
10 guru yang sebenarnya relawan, karena mengajar dengan gaji seadanya yang
dikumpulkan dari orangtua siswa. Meraka
adalah Bu Sarce, Pak Martin, Pak Sampe, Pak Yohanes, Bu Yuliana, Pak Emanuel,
Pak Agustinus, Bu Elis, Pak Yusuf dan Pak Yunus. Di samping itu ada dua relawan
guru dari Malaysia, yaitu Pak Faisal dan Bu Ronisa. Menurut saya ke sepuluh
bahkan kedua belas orang itu layak disebut pahlawan pendidikan. Mereka rela
mengorbankan waktu dan tenaganya untuk merintis dan mengajar CLC Cinta Mata
untuk anak-anak TKI yang telah sekian lama teraniaya. Di depan orang banyak jujur saya mengatakan,
saya merasa tidak ada apa-apanya berhadapan dengan beliau-beliau itu. Saya datang ke Cinta Mata karena ditugasi
Kemdikbud dan dibiayai dengan uang rakyat.
Sementara beliau-beliau itu tidak ada yang menyuruh, tidak ada yang membiayai
tetapi dengan iklas merintis CLC. Kalau
sekarang mendapat gaji. Toh jumlahnya tidak memadai. Pada hal dari informasi yang saya dapat,
beliau-beliau itu bukanlah orang kaya.
Pak Martin, disamping
guru juga ketua Komite Sekolah. Seperti halnya Bu Sarce, tampaknya Yang Maha
Adil memberikan imbalan atas perjuangannya.
Putra Pak Marti, Bonu Sampe, walaupun sekolah di CLC yang serba terbatas
memenangkan Olimpiade Sains dan Seni di Kuala Lumpur dan mendapat medali emas
untuk tingkat SMP. Demikian juga putra
Bu Sarce juga mendapat juara tiga untuk tingkat SD.
Di akhir acara, kami
disuguhi nanyian Burung Dadali oleh murid-murid CLC Cinta Mata. Saya semakin trenyuh. Dengan alat seadanya, pakaian seadanya,
ternyata mereka menyanyi dengan baik dan penuh semangat. Saya memang tidak melihat bagaimana dia
belajar dan juga tidak sempat melihat secara detail sarana
pembelajarannya. Namun dari fasilitas
ruangan dan permintaan Pak Martin agar dibantu kursi dan buku, saya menduga
fasilitas pembelajarannya juga sangat terbatas.
Namun toh dapat melahirkan pemenang Olimpiade Sains dan Seni di Kuala
Lumpur. Semoga mereka menjadi pemutus
mata rantai kemiskinan bagi keluarga masing-masing. Semoga mereka sukses dalam belajar dan pada
saatnya sukses dalam menapaki kehidupan dan tidak kembali miskin seperti
orangtuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar