Ketika membelikan
anting-anting cucu, saya mendapat penjelasan tentang emas dari penjual di
tokonya. Ternyata ada emas 24 karat, 22
karat dan bahkan sampai 18 karat. Konon
emas 24 karat itu artinya emas murni, sedangkan jika besaran karatnya menurut
berarti emas tersebut dicampur dengan logam lain (seingat saya tembaga). Semakin kecil besaran karat berart semakin
kecil prosentase emas dan semakin besar prosentase campurannya.
Jadi perhiasan emas
yang kita beli atau dipakai oleh orang itu tida selalu 24 karat dan walaupun
demikian tetap kita menyebutnya perhiasan emas.
Kondisi itu rasanya cocok sebagai analogi pejuang. Jika pejuang dimaknai sebagai orang rela
berkorban dengan membela negara, membela kepentingan publik tanpa pamrih, maka
perkataan tanpa pamrih itu ibarat karat dalam emas. Ada pejuang yang betul-betul 100% tanpa
pamrih, ada yang dimuati pamrih 10%, 20% dan seterusnya. Tentu jika muatan pamrihnya demikian besar,
yang bersangkutan tidak lagi cocok disebut pejuang. Seperti emas, jika karatnya demikan kecil
yang artinya campurannya demikian banyak, maka tidak pantas lagi disebut emas.
Tulisan ini tidak
dimaksudkan sebagai “excuse”, tetapi ingin mengajak kita semua untuk “turun ke
bumi” memahami realita kehidupan yang seringkali tidak sama dengan dunia
angan-angan. Kita semua ini manusia
biasa, yang pada umumnya memiliki kebutuhan, karier, keluarga dan
seterusnya. Dengan demikian secara
kelaziman tentu memiliki naluri untuk memenuhi kebutuhan duniawi tersebut. Tengok saja teori kebutuhan dari Maslow, kita
akan menemukan berbagai jenis dan tingkatan kebutuhan itu.
Memang ada orang yang
mampu melepaskan diri dari kebutuhan duniawi, yang betul-betul 100% ingin
mengabdi untuk kepentingan masyarakat, kepentingan negara, agama dan
sebagainya. Tetapi saya duga jumlahnya
tidak banyak. Bahkan seorang kawan pernah berkelakar, jangan-jangan dia berbuat
seperti itu biar dipuji, biar dianggap sebagai pahlawan, atau bahkan biar masuk
sorga. Apakah motivasi seperti itu
mengurangi kadar ketulusan, sehingga ibarat eman tidak lagi 24 karat? Jujur saya tidak tahu dan merasa tidak
memiliki kapasitas untuk menjawab.
Nah, kalau kita dapat
menerima pemikiran bahwa emas tidak harus atau tidak selalu 24 karat, maka
mungkin terlalu berlebihan jika kita menuntut semua pejuang 100% tidak punya
muatan kepentingan dalam berbuat sesuatu.
Katakanlah jika ada guru yang rela mengajar di desa terpencil, mungkin
saja ada muatan karena yang bersangkutan PNS atau yang bersangkutan sulit
mendapatkan pekerjaan lain dan sebagainya.
Katakanlah ada pengusaha yang memberi beasiswa kepada anak-anak di
sekitar pabriknya, mungkin saja ada motivasi agar pabriknya dijaga oleh
masyarakat sekitar. Katakanlah, ada
dokter yang menggratiskan pasien kurang mampu atau bahkan rela bertugas di
daerah terpencil yang tidak mendatang keuntungan finansial, mungkin saja ada
muatan ingin terkenal. Dan sebagainya.
Saya berpendapat
mereka itu tetap dapat disebut pejuang, walaupun mungkin bukan pejuang yang 24
karat. Dengan begitu lahan berjuang
menjadi semakin terbuka untuk siapa saja, kapan saja, dimana saja dan apapun
pekerjaan atau profesinya. Walaupun kita
tidak dapat 100% melepaskan kepetingan diri, karena kita juga harus punya
karier, harus menghidupi keluarga, harus menjaga kesehatan dan sebagainya. Yang penting, niat untuk membantu masyarakat
banyak, membantu bangsa dan negara kita tanamkan sekuat-kuatnya. Yang penting kita berusaha meningkatkan kadar
karatnya. Mari kita mulai dan yang kecil,
yang berada di hadapan kita dan kita mulai sekarang juga. Dirgahayu Hari Pahlawan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar