Bulan Nopember 2015
saya dapat penawaran setengah memaksa untuk ke Jepang dan Sabah Malaysia. Keduanya untuk urusan pendidikandan kedua tim
yang akan pergi sangat ingin saya berangkat.
Sayang waktunya berhimpitan.
Jadwal ke Jepang berangkat tanggal 1 Nopember dan kembali tanggal 15
Nopember, sedangkan ke Sabah Malaysia berangkat tanggal 11 dan pulang tanggal
15 Nopember.
Semula saya akan
memilih ke Jepang. Disamping tentu lebih
menarik, juga karena saya masih memiliki visa Jepang sehingga tidak perlu
mengurus lagi. Namun ketika membaca
acara keduanya secara detail, saya berubah pikiran dan memilih ke Sabah
Malaysia. Mengapa? Karena dalam acaranya akan mengunjungi CLC
(Center for Learning Community) yaitu semacam PKBM (Pusat Kegiatan Belajar
Mengajar) bagi anak-anak TKI yang bekerja di Kebun Kelapa Sawit.
Saya sudah agak lama
mendengar kalau di Malaysia, khususnya di Serawak dan Sabah banyak orang
Indonesia yang bekerja di perkebunan Kelapa Sawit. Mereka itu banyak yang TKI ilegal, bahkan
yang TKI legalpun anak-anaknya ilegal, karena mereka seharusnya tidak boleh
membawa anak-anak. Pada hal banyak
diantara mereka yang tinggal berkeluarga dan bahkan anaknya lahir di
Malaysia. Nah, karena diangap ilegal
anak-anak itu tidak boleh sekolah di sekolah-sekolah milik Malaysia. Bahkan seringkali mereka dikejar-kejar polisi
Malaysia. Akibatnya anak-anak itu tidak
dapat bersekolah dan menurut istilah Pak Fasli (Prof Fasli Jalal, mantan
Wamendikbud) mereka itu dapat dikategorikan buta huruf. Bayangkan, zaman gini masih ada anak-anak
yang buta huruf.
Oleh karena itu,
dengan seijin pemerintah Malaysia, pemerintah Indonesia mendirikan CLC di
lingkungan perkebunan kelapa sawit.
Menurut informasi di Kemdkbud jumlah anak-anak itu 26.000 orang,
sehingga jumlah CLC sekitar 200 buah. Dapat dibayangkan dengan jumlah sebesar
itu tentu memerlukan perhatian serius dan itulah yang mendorong saya memilih ke
Sabah. Jujur saya ingin tahu seperti apa
kondisi CLC di tengah kebun sawit yang menurut istilah Malaysia disebut ladang.
Rombongan berangkat
dari Jakarta tanggal 11 Nopember pukul 20.50 dan tiba di Kota Kinibalu (bisa
disebut KK) sekitar pukul 00.45 dinihari waktu setempat atau pukul 23.45 WIB. Kami langsung masuk Hotel Sabah Oriental dan
tidur. Nah, paginya ketika sarapan saya
bertemu dengan Pak Muhhamad Soleh, kepala perwakilan RI di Tawau. Saya kaget karena jumlah anak-anak seperti
itu di negara bagian Sabah sekitar 60.000 orang dan baru sekitar 26.000 orang
yang tertangani, sehingga masih sekitar 34.000 orang lagi yang harus dijangkau.
Sungguh saya sangat
kaget. Dapat dibayangkan ada 60.000
anak-anak yang teraniaya tidak dapat bersekolah. Bukankah pendidikan merupakan salah satu hak
dasar anak-anak yang harus dilayani, tanpa memandang apa suku, ras atau
agamanya. Bukankah anak-anak terlantar
menjadi tanggung jawab negara untuk mengurusnya.
Walaupun belum tahu
kondisi yang sebenarnya, saya menduga kondisi ekonomi para TKI yang bekerja di
ladang sawit tentu tidak terlalu baik.
Logikanya jika kondis ekonominya baik tentu tidak akan membiarkan
anak-anak tanpa pendidikan. Jika anaknya
dibiarkan buta huruf, kemungkinan besar mereka tidak akan mendapatkan pekerjaan
yang lebih baik dari orangtuanya.
Lingkaran setan akan terus terjadi, karena orangtuanya miskin anaknya
tidak berpendidikan dan akhirnya bekerja seadanya dan tetap miskin. Oleh karena itu, lingkaran setan itu harus
dipotong dan cara yang terefektif adalah memberikan pendidikan yang baik bagi
anak-anak itu.
Pertanyaan yang
muncul, bagaimana cara memberikan pendidikan bagi mereka, mengingat mereka
tinggal di wilayah negara lain, sehingga kita tidak bebas melakukannya. Jenis pendidikan seperti apa yang paling
tepat untuk mereka, mengingat kondisi ekonomi orangtua yang kurang
menguntungkan dan banyak keterbatasan untuk melaksanakan berbagai hal. Semoga kita dapat menemukan jawabannya dan
mulai memotong lingkaran setan kemiskinan bagi saudara-saudara kita itu. Do'a orang yang teraniaya itu terkabul, semoga usaha kita menolong mereka berhasil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar