Ketika terlibat dalam
suatu penyusunan kisi-kisi soal Ujian Tulis Nasional (UTN) yang dikerjakan oleh
para dosen dan widyaiswara P4TK saya dikagetkan oleh komentar seorang kawan
tentang level kognitif soal yang harus mereka susun. Saat itu ada seorang peserta yang
mengomentari kisi yang dibuat temannya.
Kisi untuk beberapa kompetensi
dianggap terlalu rendah level kognitifnya, karena hanya pada level C2
menurut Bloom, yaitu tingkat pemahaman. Peserta itu mengatakan, sebaiknya
kompetensi guru minimal mencapai level C3, syukur kalau sampai C4, C5 dan C6.
Sebagaimana diketahui
level kognitif yang dibuat oleh Benyamin Bloom merupakan tingkatan, mulai dari
ingatan (C1), pemahaman (C2), aplikasi (C3), analisis-sintensis (C4), evalasi
(C5), dan kreasi (C6). Versi itu
merupakan revisi lama yang saat itu memisah antara sintesis dan analisis,
tetapi belum memasukkan level kreasi yang mucul seiring gencarnya diskusi
tentang konsep kreativitas.
Mendapat komentar itu,
sang penyusun menjawab “kan menurut arahan kisi-kisi harus dirancang agar
soalnya nanti berkomposisi 25% mudah, 50% sedang dan 25% sukar”. Yang bersangkutan menjelaskan, memang 25%
dari kisi yang disusun dibuat mudah agar sesuai dengan komposisi 25% soal
mudah. Sepertinya teman tadi menyamakan
tingkat kesukaran dengan level kognitif.
Jadi beberapa kisi dibuat pada level C2 karena harus mewakili 25% soal
kategori mudah.
Mendengar itu saya
menjadi risau. Jangan-jangan pemahaman
seperti itu yang ikut menyumbang mengapa soal-soal yang kita buat cenderung
pada level kognitif rendah, walaupun tingkat kesukarannya tinggi. Jangan-jangan kejadian seperti itu yang
membuat anak-anak kita mendapatkan skor rendah ketika mengikuti tes PISA,
karena soal PISA selalu mengacu ke level kognitif tinggi, walaupun tingkat
kesulitannya rendah.
Level kognitif dan
level kesulitan soal merupakan hal yang berbeda. Level kognitif mengacu kepada tingkat
penalaran yang digunakan, sehingga kita mengenal istilah HOTS (high order
thinking skills) dan LOTS (low order thinking skills). HOTS adalah skill yang memerlukan penalaran
tingkat tinggi, yang pada umumnya dikaitkan dengan level C4, C5 dan C6 pada
teori Bloom. LOTS, pada umumnya
disejajarkan dengan C1 dan C2 pada teori Bloom.
Tingkat kesulitan soal
dikaitkan dengan kerumitan pengerjaan soal, walaupun sebenarnya tidak
memerlukan penalaran tingkat tinggi (HOTS).
Kita dapat membuat soal Matematika yang rumit walaupun hanya level C3. Perkalian, pembagian dengan angka besar atau
pecahan yang rumit akan membuat soal sulit diselesaikan. Pengisian TTS (teka-teki silang) sebenarnya
hanya memerlukan level kognitif C1 atau C2, karena hanya ingatan tentang nama atau
kota kata tertentu. Seringkali kita tidak dapat menyelesaikan karena lupa atau
bahkan belum mengenalnya. Misalnya nama sungai atau gunung di negara tertentu
yang kita tidak mengenalnya. Namun
begitu kita ingat atau membaca atau diberitahu nama atau kota kata itu
pengisian TTS akan selesai. Jadi TTS
dapat dibuat sulit tetapi level kognitifnya rendah.
Sebaliknya, soal-soal
PISA sebenarnya sederhana tetapi memerlukan level penalaran cukup tinggi,
biasanya pada level C4 (analisis-sintesis).
Misalnya ada soal yang menyajikan gambar beberapa bejana dengan bentuk
yang berbeda-beda. Semuanya berisi air
dan ditanyakan mana yang lebih cepat penguapannya. Untuk menjawab soal itu diperlukan kemampuan
analisis, bahwa penguapan berkorelasi dengan suhu dan luas permukaan yang
terbuka. Jika logika itu dikuasi oleh
siswa, dengan mudah untuk menjawabnya.
Sebaliknya jika kemampuan analisis itu tidak dimiliki siswa aka sulit
mengerjakan. Gambar di bawah ini
menunjukkan
Pemahaman bahwa level
kognitif dan tingkat kesulitan soal merupakan dua konsep yang terpisah dan
tidak selalu berkorelasi sangat penting bagi guru. Lebih-labih lagi dengan munculnya keinginan
menumbuhkan penalaran sejak diri. Jika anak-anak
SD sudah didorong untuk belajar benalar dengan level kognitif tinggi, tentulah
harus dicarikan obyek yang sederhana.
Nah guru harus dapat mencarikan obyek pembahasan sederhana tetapi dapat
digunakan untuk penalaran tingkat tinggi (HOTS). Sebaliknya guru juga harus dapat mencari
obyek yang dapat untuk tingkat kesulitan tingkat kesulitan tinggi walaupun
untuk level kognitif rendah. Juga dapat
mencari obyek yang level kognitifnya tinggi dan tingkat kesulitannya juga
tinggi.