Buku berjudul The Organized Mind: Thinking Straigt in the Age of Information Overload,
saya beli tahun lalu, tepatnya 25 Agustus 2015 sewaktu jalan-jalan sambil makan siang di
Edinbrugh. Waktu itu saya bersama isteri
sedang mengunjungi si-sulung dan diajak makan siang di suatu mall. Ketika akan membeli saya sudah baca bagian Introduction-nya
dan sangat menarik. Namun karena
tersilap oleh kegiatan lain, buku baru saya baca beberapa hari lalu. Isinya
sungguh menarik mirip dengan sekarang ini saya alami, yaitu bingung kebanjiran
informasi.
Tampaknya WA, BBM,
Line, Facebook dan medsos lain telah menjadi media komunikasi yang sangat
digandrungi banyak pihak. Hampir semua
orang memakainya, mungkin karena murah meriah.
Sebentar lagi mungkin tidak ada orang menilpun atau kirim sms, karena
mahal. WA, BBM, Line sekarang sudah
dapat untuk menilpun walaupun sambungannya belum terlalu bagus. Bahkan sudah
bisa untuk video call, ngobrol sambil melihat wajah lawan bicara.
Mungkin karena murah,
orang tidak lagi berhitung ketika mengirim WA, BBM, line dan upload di facebook
dan instagram. Yang menyedihkan,
kemudian banyak orang yang memanfaatkan medos itu sekedar untuk ngerupi,
sekedar iseng atau posting hal-hal yang tidak bermanfaat. Tampaknya model
jagongan atau begadang itu telah berpindah ke medsos.
Akibatnya banyak
orang, termasuk saya kebanjiran informasi.
Belum lagi undangan (invite) untuk bergandung pada grup yang terus
berdatangan. Mau menolak dikira sombong,
kalau diterima pesan yang masuk tidak ketulungan jumlahnya. Untung sekarang HP saya mute, sehingga hanya
panggilan tilpun yang memberikan getar.
Namun toh ketika membuka
HP, begitu banyak pesan yang masuk, baik WA grup, WA pribdadi, BBM grup, BBM
pribadi, pesan lewat facebook, pesan lewat line dan sebagainya. Belum lagi jika ada iklan yang numpang
lewat. Waktu kita jadi habis untuk
melihat pesan-pesan seperti itu. Mau
langsung membuang (del) khawatir ada yang penting, mau memilihi menyita banyak
waktu. Paling tidak kan harus membaca
sekilas untuk dapat menyimpulkan penting-tidaknya pesan itu. Jika dalam sehari masuk 500 pesan dan setiap
pesan perlu 10 detik, berarti kita kehilangan waktu 1,4 jam.
Ternyata buku yang
ditulis oleh Daniel Levitin pada tahun 2014 itu telah mensinyalir apa yang saya
dan mungkin banyak teman mengalami sekarang.
Medsos telah menjelma menjadi “jejaring liar” yang justru seringkali
mengganggu. Jika semula kita berharap
medsos dapat memberi keuntungan karena memudahkan kita mengirim dan mendapatkan
informasi, sekarang justru banjir informasi itu yang membuat kita pusing.
Pada era “tatap muka”
kita dapat menghindari ngerumpi atau begadang yang tidak perlu. Namun di era medsos, begitu nomer HP kita
dimiliki orang lain, orang itu dapat mengajak kita ngerumpi. Apalagi kalau kita menjadi anggota sebuah
grup dan di dalamnya ada yang senang ngerumpi jadilah kita kebanjiran
rumpian. Lebih lagi di facebook orang
antah berantahpun dapat mengirim pesan kepada kita.
Lantas bagaimana
menghindarinya? Resep yang diajukan
oleh David Levitin tidak sepenuhnya dapat kita terapkan. Memang prinsip bagaimana dengan cepat membuat
simpulan yang diajarkan buku itu bermanfaat.
Bagaimana cara kita menyaring informasi juga dapat kita gunakan. Yang tidak dapat kita terapkan adalah
menghindari datangnya informasi yang tidak kita perlukan. Cara yang dianjurkan tidak tepat, karena kita
berada di latar budaya berbeda. Budaya
tutur pada kita tampaknya tidak diantisipasi oleh Daniel Levitin sehingga dia
tidak mengajukan resep bagaimana mengatasinya.
Selama ini saya tidak
menemukan resepnya. Paling yang saya
lakukan adalah melewatkan obrolan di grup, dengan keyakinan jika ada yang
penting untuk saya pastilah yang bersangkuta mengirimkan pesan lewat WA atau
BBM atau line pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar