Sabtu, 11 Juni 2016

BINGUNG KEBANJIRAN INFORMASI





Buku berjudul The Organized Mind: Thinking Straigt in the Age of Information Overload, saya beli tahun lalu, tepatnya 25 Agustus 2015  sewaktu jalan-jalan sambil makan siang di Edinbrugh.  Waktu itu saya bersama isteri sedang mengunjungi si-sulung dan diajak makan siang di suatu mall.  Ketika akan membeli saya sudah baca bagian Introduction-nya dan sangat menarik.  Namun karena tersilap oleh kegiatan lain, buku baru saya baca beberapa hari lalu. Isinya sungguh menarik mirip dengan sekarang ini saya alami, yaitu bingung kebanjiran informasi.

Tampaknya WA, BBM, Line, Facebook dan medsos lain telah menjadi media komunikasi yang sangat digandrungi banyak pihak.  Hampir semua orang memakainya, mungkin karena murah meriah.  Sebentar lagi mungkin tidak ada orang menilpun atau kirim sms, karena mahal.  WA, BBM, Line sekarang sudah dapat untuk menilpun walaupun sambungannya belum terlalu bagus. Bahkan sudah bisa untuk video call, ngobrol sambil melihat wajah lawan bicara. 

Mungkin karena murah, orang tidak lagi berhitung ketika mengirim WA, BBM, line dan upload di facebook dan instagram.  Yang menyedihkan, kemudian banyak orang yang memanfaatkan medos itu sekedar untuk ngerupi, sekedar iseng atau posting hal-hal yang tidak bermanfaat. Tampaknya model jagongan atau begadang itu telah berpindah ke medsos.

Akibatnya banyak orang, termasuk saya kebanjiran informasi.  Belum lagi undangan (invite) untuk bergandung pada grup yang terus berdatangan.  Mau menolak dikira sombong, kalau diterima pesan yang masuk tidak ketulungan jumlahnya.  Untung sekarang HP saya mute, sehingga hanya panggilan tilpun yang memberikan getar.   

Namun toh ketika membuka HP, begitu banyak pesan yang masuk, baik WA grup, WA pribdadi, BBM grup, BBM pribadi, pesan lewat facebook, pesan lewat line dan sebagainya.  Belum lagi jika ada iklan yang numpang lewat.  Waktu kita jadi habis untuk melihat pesan-pesan seperti itu.  Mau langsung membuang (del) khawatir ada yang penting, mau memilihi menyita banyak waktu.  Paling tidak kan harus membaca sekilas untuk dapat menyimpulkan penting-tidaknya pesan itu.  Jika dalam sehari masuk 500 pesan dan setiap pesan perlu 10 detik, berarti kita kehilangan waktu 1,4 jam.

Ternyata buku yang ditulis oleh Daniel Levitin pada tahun 2014 itu telah mensinyalir apa yang saya dan mungkin banyak teman mengalami sekarang.  Medsos telah menjelma menjadi “jejaring liar” yang justru seringkali mengganggu.  Jika semula kita berharap medsos dapat memberi keuntungan karena memudahkan kita mengirim dan mendapatkan informasi, sekarang justru banjir informasi itu yang membuat kita pusing.

Pada era “tatap muka” kita dapat menghindari ngerumpi atau begadang yang tidak perlu.  Namun di era medsos, begitu nomer HP kita dimiliki orang lain, orang itu dapat mengajak kita ngerumpi.  Apalagi kalau kita menjadi anggota sebuah grup dan di dalamnya ada yang senang ngerumpi jadilah kita kebanjiran rumpian.  Lebih lagi di facebook orang antah berantahpun dapat mengirim pesan kepada kita.

Lantas bagaimana menghindarinya?   Resep yang diajukan oleh David Levitin tidak sepenuhnya dapat kita terapkan.  Memang prinsip bagaimana dengan cepat membuat simpulan yang diajarkan buku itu bermanfaat.  Bagaimana cara kita menyaring informasi juga dapat kita gunakan.  Yang tidak dapat kita terapkan adalah menghindari datangnya informasi yang tidak kita perlukan.  Cara yang dianjurkan tidak tepat, karena kita berada di latar budaya berbeda.  Budaya tutur pada kita tampaknya tidak diantisipasi oleh Daniel Levitin sehingga dia tidak mengajukan resep bagaimana mengatasinya.

Selama ini saya tidak menemukan resepnya.  Paling yang saya lakukan adalah melewatkan obrolan di grup, dengan keyakinan jika ada yang penting untuk saya pastilah yang bersangkuta mengirimkan pesan lewat WA atau BBM atau line pribadi.

Tidak ada komentar: