Tanggal 13 pagi saya
terjebak macet di daerah Brebek. Pagi
itu saya buru-buru pulang dari Denpasar dengan pesawat Garuda jam 10.10, dengan
harapan jam 12.30 dapat sampai kampus untuk memenuhi jadwal bimbingan
tesis/disertasi dilanjutkan mengajar.
Perhitungansih cukup, karena take off jam 10.00 WITA dari Denpasar
sampai bandara Juanda jam 10.00 WIB.
Cukuplah waktu 2,5 jam dari bandara ke kampus mampir rumah sebentar
untuk mengambil mobil dan beberapa berkas.
Pesawat take off dan landing tepat waktu. Saya
putuskan naik Uber dari bandara ke rumah. Ketika sopir Uber bertanya, lewat tol
atau jalan biasa, saya jawab “lihat situasi di perempatan Mc-D mas, jika padat
lewat tol tetapi kalau longgar ya lewat bawah saja.” Ternyata longgar sehingga sopir melaju lewat
jalan biasa. Ketika sampai pasar
Wadungasri mobil belok kiri untuk menuju kawasan industri Brebek. Saya tenang saja karena itu jalan yang memang
biasa saya lewat.
Baru belok beberapa
saat ternyata jalan macet. Pada jalan
itu biasanya lancar dan hanya sekitar 1,5 km. Mau balik sangat sulit, karena
jalannya sempit. Saya juga penasaran kenapa macet. Jalan yang hanya sekitar 1,5 km itu ditempuh
hampir 45 menit. Mengapa macet? Baru diketahui ketika sudah sampai pertigaan
jalan Brigjen Katamso belokan masuk ke kawasan industri Brebek. Ternyata pas di sudut pertigaan itu ada
galian pipa yang belum diurug sehingga mobil yang masuk ke arah kawasan
industri harus bergantian dengan yang keluar.
Galian yang belum diurug itu hanya sekitar 5 m dan sepertinya pipa sudah
selesai dipasang. Mungkin pekerja sedang
istirahat, karena saya sampai di lokasi itu sekitar pukul 11.45.
Seandainya galian itu
segera diurug mungkin tidak terjadi kemacetan yang parah. Berapa yang biaya untuk mengurug galian
selebar sekitar 50 cm, kedalaman sekitar 50 cm dan panjang sekitar 5 m. Kalau “dilembur” karena jam istirahat atau
dicarikan orang yang diberi ongkos 2 kali lipat dari biasanya, berapa yang
biaya yang diperlukan? Katakanlah masih
ada pekerjaan pipa yang harus dicek, sehingga belum dapat diurug. Nah kalau siang itu diurug dulu dan nanti
digali lagi saat akan dilakukan pengecekan, berapa lama waktu mengurug dan
menggali lagi serta berapa biayanya?
Logika itu diajukan
untuk dibandingkan ongkos yang terjadi karena macet. Katakanlah macetnya selama 2 jam dan ada 1000
mobil yang terkena macet masing-masing 40 menit. Untuk 40 menit itu setiap mobil menghabiskan
besin/solar 1 liter, berarti ada 600 liter bensin/solar yang hilang karena
macet. Jika harga bensin/solag 6.500 rupiah
berarti kemacetan itu mengakibatkan kerugian minimal 6,5 juta rupiah. Itu baru kerugian bensin dan belum kerugian
waktu. Apakah biaya mengurug pipa dan
menggali lagi sampai 6,5 juta ya?
Saya bukan kontrator,
sehingga tidak tahu perhitungannya.
Namun dengan ukuran galian seperti disampaikan di atas, rasanya biaya
untuk mengurup dan menggali lagi tidak sampai 2 juta. Apakah kontraktor tidak peduli dengan hitungan
untung-rugi yang ditunjukkan di atas? Bukankah
fenomena seperti itu sering terjadi di sekitar kita? Mobil yang parkir di tepi
jalan yang membuat kemacetan, walaupun tidak parah. Angkutan umum yang ngetem yang juga
mengakibatkan kemacetan. Jalan rusak
yang mengakibatkan kendaraan harus pelan-pelan.
Dan sebagainya.
Memang ada kemacetan
yang tidak dapat dihindari, misalnya karena adanya kegiatan yang tidak dapat
ditunda. Namun banyak kegiatan yang
sebenarnya dapat ditunda, paing tidak dikerjaan pada saat lalu lintas tidak
terlalu ramai. Atau pekerjaan perlu
digerakan agar kemacetan tidak terlalu lama terjadi.
Saya yakin kontraktor
sangat peduli dengan untung-rugi, karena dalam bekerja akan selalu mencari
keuntungan yang optimal. Lantas mengapa
kasus itu terjadi? Saya khawatir,
kontraktor, mandor dan pekerja berpikir ke dirinya sendiri tanpa memperhitungan
akibat kepada orang lain. Toh yang kena
macet orang lain. Toh setiap mobil hanya
rugi 1 liter yang setara dengan 6.500 rupiah.
Mereka lupa jika kerugian itu dijumlahkan untuk semua orang yang terkena
jumlahnya cukup besar. Jadi intinya kita
seringkali hanya memikirkan manfaat dan kerugian dilihat dari diri sendiri dan
tidak dari orang lain, apalagi dalam kerangka lebih besar yaitu oleh masyarakat
dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar