Kemdikbud diwakili
oleh Direktur Pembinaan SMK menyatakan Indonesia kekurangan guru SMK. Konon jumlahnya 18.000 orang, terutama guru
bidang produktif, yaitu guru pengajar praktek.
Mungkin itu akibat kebijakan
Kemdikbud sejak era Prof Bambang Sudibyo yang ingin mengubah perbandingan SMA :
SMK yang semula sekitar 60 : 40, menjadi 30 : 70. Jadi secara sengaja jumlah SMK ditingkatkan
sehingga memerlukan tambahan guru yang cukup banyak.
Kebijakan itu
dilanjutkan periode Mendikbud Mohammad Nuh maupun Anies Baswedan sekarang ini. Bahkan ketika Presiden Jokowi melawat ke
Jerman, salah satu hasilnya adalah kerjasama dalam bidang pendidikan vokasi. Jadi kebijakan perluasan SMK tampaknya
didukung penuh oleh Presiden Jokowi.
Kekurangan guru SMK
yang sangat banyak itu tampaknya berpengaruh terhadap mutu lulusan. Studi Newhouse dan Suryadarma (2012) menyimpulkan
penghargaan DUDI terhadap lulusan SMK menurun. Mungkin itu disebabkan mutu
lulusan SMK menurun beberapa tahun terakhir.
Diduga kuat, perluasan SMK tidak dibarengi dengan ketersediaan guru
maupun sarana praktek yang baik, sehingga mutu lulusan SMK yang baru tidak
sebaik SMK yang lama.
Kekurangan guru SMK yang
demikian banyak harus segera dicarikan jalan keluar. Mengapa?
Karena berbagai studi menunjukkan kontribusi guru terhadap hasil belajar
siswa lebih dari 50%. Studi di Amerika
Serikat menyebutkan guru berkontribusi 53% terhadap hasil belajar siswa (Barber
& Mourshed, 2007), sementara di Indonesia kontribusi itu 54,5% (Pujiastuti,
Raharjo dan Widodo, 2012).
Pertanyaan yang
muncul, bagaimana memenuhi kebutuhan guru SMK sebanyak 18.000 orang itu. Saya
membayangkan hal itu tidak mudah, karena guru yang diperlukan adalah guru
matapelajaran produktif yang harus mengajar praktek. Jumlah fakultas teknik di LPTK yang
menyiapkan guru SMK jumlahnya tidak banyak dan banyak lulusannya lebih memilih
bekerja di DUDI dibanding menjadi guru.
LPTK swasta tidak banyak yang membukan fakultas teknik, karena harus
menyediakan laboratorium dan workshop yang mahal.
Belum lagi, pendidikan
S1 lebih berorientasi ke aspek aspek akademik, sehingga lulusannya kurang tepat
mengajar di SMK yang mementingkan keterampilan.
Prof Jemari Mardapi dari UNY menyebutkan lulusan S1 yang akan menjadi
guru SMK memerlukan pelatihan tambahan khususnya untuk aspek keterampilan. Lebih baik lagi jika mereka memiliki
pengalaman kerja di industri.
Dari aspek bekal
keterampilan, yang lebih cocok menjadi guru SMK adalah lulusan program Diploma
atau politeknik, karena memang merupakan jalur vokasi yang menekankan pada
aspek keterampilan. Namun pada umumnya
lulusan mereka lebih tertarik bekerja di dunia industri, di samping untuk
menjadi guru mereka masih harus menempuh PPG (Pendidikan Profesi Guru).
Lantas bagaimana
memenuhi kebutuhan guru SMK yang demikian besar itu? Perlu dipikirkan mengembangkan jalur baru
untuk menjadi guru SMK, misalnya menawarkan peluang kepada praktisi di DUDI untuk menjadi guru SMK. Para praktisi yang
sudah berusia menjelang 50 tahun tentu memiliki pengalaman kerja cukup kaya. Pengalaman dan keterampilan di DUDI akan
sangat bagus sebagai bekal mengajar di SMK.
Di samping itu secara psikologis ternyata mereka sudah matang, sehingga
lebih baik ketika membimbing siswa.
Jalur PPPK (Pegawai
Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) di Undang-undang ASN (Aparatur Sipil
Negara) dapat dimanfaatakan karena memungkinkan orang berusia maksimal 50 tahun
menjadi PPPK. Praktisi DUDI yang telah
memiliki pengalaman kerja dapat memperoleh jenjang kepegawaian tertentu sesuai
dengan kompetensi dan pengalaman kerja yang dimiliki. Mungkin saja ada PPPK langsung mendapatkan
jenjang setara dengan IVA atau bahkan IVB, karena memiliki kompetensi bagus dan
pengalaman kerja sangat banyak.
Bagaimana dengan bekal
ilmu untuk mengajar? Tentu mereka harus
memenuhi persyaratan sebagaimana diminta UU Guru, yaitu minimal berpendidikan
S1/D4 dan menempuh PPG. Namun pengalaman panjang di dunia industri dapat diperhitungan
dengan menggunakan RPL (Rekognisi Pengalaman Lampau), sehingga lama pendidikan
yang harus ditempuh tidak terlalu lama. Pola
RPL juga dapat diterapkan untuk ekivalensi jenjang kepangkatan. Dengan demikian praktisi DUDI yang menjadi
guru SMK tidak harus mulai jenjang kepangkatan III A seperti guru yang baru
tamatan S1.
Apa praktisi DUDI
tertarik menjadi guru SMK? Walaupun
tidak semua, saya menduga cukup banyak yang tertarik, khususnya mereka yang
sudah jenuh bekerja di DUDI atau ingin bekerja dengan waktu lebih luwes. Apalagi sekarang guru mendapat tunjangan
profesi sebesar satu kali gaji, sehingga seperti bergaji dobel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar