Masih ingat dengan Ibu
Saeni, pemilik warung makanan yang mendapat uang 10 juta dari Presiden
Jokowi? Menurut berita di koran, Ibu Saeni
adalah penjuat nasi semacam warteg di Serang. Di bulan ramadhan beliau tetap buka, walaupun
warungnya ditutup dengan semacam geber.
Nah, hari itu pukul 12.30an Ibu Saeni baru selesai masak yang dimulai
sekitar pukul 10an. Warungnya belum
dibuka, namun mendadak petugas Satpol PP Kota Serang datang melakukan
razia. Ibu Saeni dianggap melanggar
Perda Nomo2 2 Tahun 2010.
Di tayangan beberapa
stasiun TV kita dapat melihat petugas Satpol PP seperti sudah siap melakukan
razia warung makanan. Mereka membawa
kantong-kantong plastik untuk mewadahi makanan yang dirampas. Mungkin maksudnya agar tempat makanan tidak
ikut dirampas. Namun ada yang
berkomentar, makanan yang dirampas dibawa kemana dan untuk apa ya? Konon Ibu Saeni hanya disisai timun dan telur
asin, makanan lainnya dirampas semua.
Tulisan ini tidak
ingin membahas aspek hukum, tetapi aspek sosial yang muncul. Menurut koran, setelah kasus Ibu Saeni itu
muncul di TV dan disebarluarkan melalui media sosial, solidaritas masyarakat
tumbuh dengan pesat. Apalagi Presiden
Jokowi menaruh empati dengan mengutus staf kepercayaannya untuk memberi bantuan
10 juta kepada Ibu Saeni. Konon dua hari
setelah kejadian itu, akun Twiter @dwikaputra berhasil mengumpulkan sumbangan
dari masyarakat sebanyak 265 juta rupiah dengan penyumbang sebanyak 2.427
orang.
Saya tidak tahu,
mengapa razia warung makanan dapat diketahui dan disorot TV begitu jelas. Apakah wartawan TV-nya yang canggih sehingga
mengetahui akan ada kejadian yang “layak jual” atau satpol PP-nya yang pengin
nampang saat bertugas atau memang ada skenario untuk itu. Apalagi Presiden langsung memberi “bantuan
biaya” 10 juta. Hanya mereka yang
terlibat langsung dengan kejadian itu yang dapat menjawab. Atau biarlah sejarah yang akan menjawabnya
suatu saat kelak.
Yang menarik adalah
cepatnya respons Presiden Jokowi dan bantuan uang dari 2.427 orang. Memang media sosial ternyata merupakan
penyebar berita yang sangat cepat dan luas.
Namun cepatnya Presiden membantu dan banyaknya orang yang memberi
sumbangan patut diperhatikan. Dengan
pikiran positif, fenomena itu menunjukkan solidaritas sosial kita sangat
kuat. Apakah itu yang dirazia karena Ibu
Saeni, orang kecil yang terpaksa harus mencari nafkah dengan berjualan di bulan
ramadhan, sehingga perlu dibantu atau karena karena rasa kasihan orag kecil
teraniaya, hanya Presiden Jokowi dan para penyumbang yang dapat menjelaskan.
Kita juga pernah punya
kejadian yang agak mirip. Saya lupa
namanya, kalau tidak salah Ibu Prita yang berurusan dengan rumah sakit. Kalau tidak salah Ibu Prita dipersalahkan
karena mengunggah keluhaan tentang layanan sebuah rumah sakit ke media
sosial. Rumah sakit itu menuntut dan Ibu
Prita kena hukuman atau denda. Nah kemudian
munculkan solidaritas sosial lewat koin untuk Ibu Prita. Seingat saya jumlahnya sangat besar, jauh
lebih besar dibanding denda yang harus dibayar.
Ketika ada bencana,
misalnya gunung meletus, gempa bumi, banjir dan sejenisnya, juga banyak stasiun
TV, koran dan lembaga lain yang mengumpulkan sumbangan. Ternyata banyak sumbangan yang terkumpul dan
kadang-kadang diluar dugaan besarnya. Di
Jawa Timur, YDSF (Yayasan Dana Soaial Al Falah) berhasil mengumpulkan donasi
dari masyarakat lebih 2 milyar rupiah sebulan.
Sekali lagi, fakta tadi menunjukkan rasa solidaritas sosial masyarakat
kita sangat tinggi.
Apakah para penyumbang
itu orang kaya? Saya tidak tahu
pasti. Namun menurut informasi dari
beberapa teman yang terlibat dalam kegiatan seperti itu, banyak masyarakat yang
secara ekonomi tidak termasuk kaya juga ikut menyumbang. Tentu besarnya sesuai dengan kemampuan yang
bersangkutan. Informasi itu sejalan
dengan apa yang terlihat pada acara TOLOONG yang disiarkan oleh sebuah stasiun
TV.
Semangat solidaritas
sosial tersebut perlu dipupuk dan dikembangkan sebagai salah satu karakter bangsa. Pendidikan dapat mengaitkan dengan “empati”
yang menjadi salah satu aspek pendidikan karakter. Bersamaan dengan itu, potensi “ekonomi-nya”
juga layak diperhitungkan. Mengacu ke
YDSF yang berpusat di Surabaya mampu mengumpulkan donasi sebanyak lebih 2
milyar rupiah sebulan, dapat dibayangkan berapa potensi dana yang dapat
dihimpun di seluruh Indonesia.
Tentu kita juga harus
memikirkan akuntabilitas dana yang terkumpul, dengan memastikan pemanfaatan
dana sesuai dengan tujuan dan dilakukan secara efektif dan efisien serta
transparan. Lebih dari itu akan lebih
baik jika pemanfaatannya diarahkan ke hal-hal yang sifat produktif dan tidak
konsumtif semata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar