Beberapa hari lalu,
saya dengan beberapa teman yang kebetulan pengajar di beberapa perguruan tinggi
terlibat dalam sebuah obrolan ringan.
Saat itu ada tamu dari Jakarta dan kami berkumpul untuk menemuinya. Sambil menunggu tamu kami ngombrol atau lebih
tepatnya saling menyampaikan keluhan tentang mahasiswa bimbingan
masing-masing. Aneh bin ajaib, walupun
bidang kami berbeda-beda, ada yang dari teknologi, ada dari sosial politik, ada
yang dari pendidikan, namun ujung-ujungnya sepakat kalau kerangka berpikir
mahasiswa kita kurang baik.
Teman dari bidang
sosial politik bercerita proposal disertasi yang diajukan oleh mahasiswa
bimbingannya tidak nyambung antara pertanyaan penelitian dan teori yang
digunakan. Sesuatu yang ingin ditemukan
dan tampak dari rumusan pertanyaannya “A”. Tetapi teori yang digunakan “B”. Ketika
hal itu ditanyakan, jawabannya muter-muter yang menunjukkan “logika berpikirnya
tidak jalan”. Bahkan, menurut profesor
ilmu politik itu, pemahaman mahasiswa terhadap masalah yang diteliti juga masih
rancu.
Teman dari bidang
teknologi menceritakan kasus yang mirip.
Beliau bercerita, seringkali ketika membangun model teori yang akan
digunakan untuk merancang penelitian, logika mahasiswa rancu. Menurut profesor elektro alumni Jepang itu,
kerangka berpikir mahasiswa tidak tertata dengan baik. Ketika harus menyusun
kausalitas mahasiswa seringkali kesulitan menemukan kaitan antara berbagai
faktor yang terlibat dalam masalah yang diteliti. Akibatnya yang bersangkutan
kesulitan ketika harus membangun model teoritiknya.
Teman dari bidang
pendidikan mengatakan seringkali mahasiswa “blank” ketika dikejar teori apa
yang digunakan untuk landasan penelitian disertasinya. Menurut teman yang dikenal memiliki jam
terbang tinggi itu, mahasiswa S3-pun tampak sekali bacaannya sangat
kurang. Nalarnya juga tampak kurang
terasah, sehingga kurang peka dalam melihat data. Ketika menemukan data yang aneh, seringkali
mahasiswa tidak “aware” dan data anek itu diterima begitu saja.
Sebagai orang yang
menekuni bidang pendidikan, saya mencoba menelusuri mengapa “kelemahan” itu terjadi
dan itu di perguruan tinggi “besar”, yang mestinya punya mahasiswa yang relatif
pilihan. Kalau mahasiswa S3 masih
seperti itu, seperti apa mahasiswa S1 kita.
Kalau fenomena seperti itu diterjadi di banyak universitas, apalagi
universitas besar, rasanya ada yang salah salah pendidikan kita. Bagaimana pola pembalajaran kita sampai
mahasiswa jenjang tertinggipun masih rancu kerangka pikirnya.
Belum lagi mendapat jawaban,
saya mendapat keluhan serupa dari rekan yang sekarang menjadi dosen di sebuah
universitas cukup bergengsi di Amerika Serikat.
Teman tadi pernah menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta
terkenal di Surabaya, sebelum melanjutkan studi S3 di Amerika dan akhirnya
menetap sebagai associate professor di sana.
Beliau bercerita saat masih menjadi dosen di Surabaya, seringkali
menghadapi mahasiswa yang menyodorkan laporan praktikum dengan data yang aneh. Ketika ditanya apakah data itu sudah dicek
kebenaranya dan ditelaah secara teori.
Mahasiswa menjawab sudah. Pada
hal datanya aneh, sehingga pasti ada yang tidak beres pada praktikum yang
dilaksanakan.
Tampaknya ada yang
kurang pas dalam pendidikan kita. Saya
jadi teringat ketika mengunjungi sebuah SD di Nagoya Jepang. Waktu itu gurunya sedang menerapkan lesson
study. Siswa kelas 5 diberi pertanyaan
kurang lebih sebagai berikut. Jepang itu
tidak punya tentara, yang dipunyai pasukan bela diri. Itu sesuai undang-undang yang dibuat dengan
tekanan Sekutu, saat Jepang kalah perang dalam Perang Dunia Kedua. Dengan demikian Pasukan Bela Diri hanya boleh
“beperang” jika Jepang diserang musuh.
Nah, akhir-akhir ini Jepang diminta NATO mengirimkan tentaranya
bergabung dengan pasukan NATO di Afganistan dan pemerintah Jepang mau. Nah siswa diminta berdiskusi dan mencari
berbagai referensi untuk menjawab “keputusan Pemerintah Jepang mengirim tentara
berbagung dengan NATO iti benar atau salah”.
Saat itu saya kepada
supervisor lesson study (dosen Aichi University of Education Nagoya), apa jawaban
yang benar. Pemerintah Jepang benar atau
salah. Ternyata, yang dipentingkan bukan
jawaban benar atau salah pemerintah Jepang, tetapi argumentasi mengapa siswa
mengatakan benar atau mengatakan salah.
Yang dipentingkan nalarnya.
Saya juga jadi teringat
ketika menyaksikan santri di suatu pondok berlatih berdebat. Ketika itu saya tanyakan kepada ustad yang
mendampinginya, apa pentingnya santri berlatih berdekat. Jawabanya sungguh mengagetkan. Santri dilatih berdebat bukan untuk sekedar
berdebat, tetapi belajar menata nalar dengan menyusun argumen yang logis ketika
mempertahankan pendapatnya atau mematahkan pendapat lawan berdebat.
Apakah contoh di
Jepang dan pondok itu memang cocok untuk mengembangkan nalar dan kerangka
berpikir? Apakah di sekolah dan
universitas kita kurang mengembangkan itu?
Mari kita melakukan instrospeksi diri.
Jangan-jangan fenomena yang kita hadapi, seperti keluhan profesor ilmu
politik, profesor teknik elektro dan profesor pendidikan itu justru merupakan
cermin kegagalan beliau-beliau sendiri dan juga kegagalan kita semua dalam
mendidik anak, siswa dan mahasiswa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar