Apakah para rekan guru
dan dosen faham bahwa siswa dan mahasiswa yang mereka bimbing sekarang ini
termasuk generasi Z? Saya takut tidak
banyak yang faham tentang itu. Jujur,
saya sendiri juga belum lama tahu tentang teori generasi itu. Pada hal konskwensinya sangat besar dalam
dunia pendidikan.
Sejauh yang saya
fahami, yang termasuk generasi Z adalah yang lahir antara tahun 1995-2010. Jadi usia mereka saat ini antara 6 – 21 tahun.
Jadi praktis sebagian besar siswa kita mulai dari SD s.d SMA/SMK/MA dan juga
mahasiswa S1/D3 termasuk kelompok ini.
Saya menduga batasan usia itu tidak kaku, karena menurut teori ini
pemisahan kelompok generasi lebih dilihat dari karateristik perilakunya.
Menurut teori yang
saya baca, generasi Z adalah digital native yaitu mereka yang sejak anak-anak
sudah terbiasa dengan gadget dan peralatan yang sejenisnya. Internet dan aktivitas online sudah menjadi
kegiatan sehari-hari, sehingga ada kelakang generasi ini dapat mati gaya kalau
ketinggalam gaget atau tidak dapat akses intenet sehari saja.
Karena terbiasa dengan
pola online, generasi Z lebih senang membaca di gadget/tap/laptop dibanding
membaca buku tercetak. E book, e
journal, dan e-e yang lain lebih disukai dengan barang-barang yang
tercetak. Lebih jauh lagi, mereka
terbiasa membaca yang singkat-singkat sesuai dengan karateristik bacaan online.
Mereka lebih suka membanding-bandingkan berbagai sumber bacaan tetapi
singkat-singkat dibanding membaca satu sumber yang panjang dan rinci.
Mungkin karena
ciri-ciri media online yang banyak gambar, animasi dan film, generasi ini lebih
ke visual. Lebih senang membaca gambar
atau film dibanding membaca uraian tulisan yang panjang. Bacaan yang panjang akan ditinggalkan dan
memcari bandingan yang lebih pendek. Akan lebih sedang jika itu disertai gambar
atau film. Youtube menjadi salah satu
pilihan yang disenangi.
Generasi Z lebih fokus
pada hasil dan bukan pada proses. Bagi
kelompok ini proses dapat dikreasi yang penting hasilnya. Oleh karena itu
mereka tidak senang sesuatu yang dibakukan atau diwajibkan ini dan itu. Yang dikejar apa tujuan atau apa hasil yang
diharapkan, mereka akan mencari sendiri cara mencapainya. Kesukaan coba-coba merupakan salah satu
cirinya.
Anak-anak generasi ini
termasuk multitasking yang dapat membaca atau mengerjakan sesuatu sambil mendengarkan
musik atau menyanyi atau aktivitas lainnya.
Mungkin generasi sebelumnya mereka tidak fokus, pada hal mereka dapat
multi fokus. Tampaknya kebiasaan
pindah-pindah perhatian dengan sangat cepat di gadget membuat kemampuan
multitasking mereka tumbuh.
Dalam interaksi sosial
mereka lebih multikultural dan lebih toleran terhadap perbedaan. Sekali lagi kebiasaan membaca dan
berkomunikasi melalui gadget membuat mereka berteman dengan orang lain yang
multikultural, sehingga lebih mudah memahami teman yang berbeda budaya. Pergaulan mereka cenderung tidak tatap muka,
tetapi virtual. Seringkali mereka lebih “akrab”
dengan teman walaupun jarang ketemu tatap muka tetapi sering ketemu online.
Generasi Z sudah sejak
awal memiliki pilihan apa yang ingin dipelajari, apa yang ingin dikerjakan. Mereka akan berusaha dengan berbagai cara
untuk mempelajari dan mengerjakan apa yang disukai. Pemaksaan untuk mempelajari atau mengerjakan
sesuatu yang tidak disukai dapat membuat mereka fustrasi atau bahkan melawan.
Nah, dengan
karateristik semacam itu apakah model pembelajaran yang selama ini kita gunakan
masih efektif? Bukankan agar pembelajaran berjalan efektif, model
pembelajarannya yang disesuaikan dengan karateristik peserta didik. Saya khawatir jika kita, guru dan dosen,
masih menggunakan model yang selama ini kita gunakan, siswa dan mahasiswa tidak
kerasan di kelas. Pepatah kita dapat memaksa kuda kedanau tetapi kita tidak
dapat memaksa kuda minum air danau. Kita
dapat memenjara fisik seseorang tetapi kita tidak dapat memenjara pikirannya. Kita, guru dan dosen yang pada umumnya
tergolong generasi Y atau bahkan X, sebaiknya memahami bahwa siswa atau
mahasiswanya berbeda dengan dirinya.
1 komentar:
Posting Komentar