Kemarin sore sekitar
pukul 20 saya kedatangan tamu istimewa, yaitu Pak Bagiono Djokosumbogo, Mbak
Evi-putrinya yang bekerja sebagai International Collaboration Office
Universitas Podomoro, dan Mas Anto-suami Mbak Evi yang berprofesi sebagai chef
handal. Sebenarnya saya diminta untuk
ikut bergabung dengan Tim Pak Bagiono untuk menghadap Mendikbud pukul
16.00. Namun, acara saya dengan USAID
Prioritas baru selesai pukul 17, sehingga melalui WA saya mohon maaf tidak
dapat bergabung. Istimewanya, ketika
pukul 19an saya sampai di hotel Century untuk menginap, Pak Bag sms kalau akan
nyusul ke hotel Century.
Semula saya mengira
kalau ada sesuatu yang penting, sehingga Pak Bag mampir ke hotel Century. Ternyata beliau datang bersama putri dan
menantu, sehingga kami ngobrol saja, ngalor ngidul sebagaimana kebiasaan kami
sebagai teman lama. Pada awalnya Mbak
Evi yang bercerita bagaimana Universitas Podomoro mengembangkan kemampuan
kewirausahaan (entrepreneurship) mahasiswanya.
Intinya mahasiswa diceburkan dalam kegiatan praktis yang membuat mereka “megap-megap”. Setelah itu, mahasiswa diajak mendiskusikan
mengapa itu terjadi dan didorong mengeluarkan ide bagaimana mengatasinya. Setelah itu Pak Bagiono bercerita tentang
seorang anak teman beliau dan menjadi pengusaha sukses di Batam. Pengusaha itu
seorang insinyur tetapi karena sesuatu hal merantau ke Batam dengan berbekal
pakaian yang dikenakan saja. Untuk bisa
hidup yag bersangkutan berkerja serabutan di warung padang. Berikutnya pindah ke sebuah perusahaan dan
setahap demi setahap kariernya meningkat sampai menjadi purchasing manager.
Setelah merasa
memiliki pengalaman cukup, yang bersangkutan mulai merintis usaha sendiri dan sekarang
telah menjadi pengusaha sukses.
Terdorong untuk berbagi pengalaman, pengusaha sukses itu menulis buku
dengan judul “The Power of Kepepet”. “Kepepet”
itu bahasa Jawa yang sulit dicari padanan yang pas dalam bahasa Indonesia. Mirip dengan “terjepit” dalam bahasa
Indonesia, tetapi tidak tepat sama.
Menurut Pak Bag, buku itu menceritakan pengalaman pengusaha itu yang “kepepet”
hidup di rantau, sehingga harus bekerja keras dan memutar otak agar bisa hidup
dengan baik. Dari situlah muncul
berbagai ide dan kemampuan mencari peluang dalam setiap kejadian yang dihadapi.
Mendengarkan cerita
Pak Bag, saya mencoba mengingat diskusi saya dengan beberapa teman, mengapa
pendatang biasanya lebih sukses dibanding dengan penduduk asli. Orang Jawa yang sering dicirikan dengan
lamban dalam bertindak dan bahkan cenderung malas, menjadi orang sukses ketika
merantau di luar Jawa. Kalau kita ke
Kalimantan dan di NTT, sebagian besar pemilik warung/restoran/toko adalah
perantau dari Jawa. Orang Banjar yang
kita kenal banyak menjadi pengusaha sukses di Jawa, ternyata juga “malas”
ketika tinggal di daerah asalnya di Kalimantan.
Apakah itu terkait
dengan konsep zona nyaman (comfort zone)? Menurut konsep itu, ketika sampai pada zona
nyaman, orang cenderung malas dan tidak mau bekerja keras, bekerja rutin dan
tidak berinovasi. Oleh karena itu
kinerja orang yang berada pada zona nyaman pada umumnya stagnan dan bahkan
menurun. Apalagi jika banyak pesaing
yang lebih inovatif. Nah, apakah untuk
keluar dari zona nyaman seseorang harus mengalami situasi “kepepet”? Jujur saya merasa tidak memiliki punya
kompetensi untuk menjawab itu.
Saya juga teringat
kembali, pertanyaan mengapa Pak Putra Sampurna yang menjual 100% saham pabrik
rokoknya kepada Phillip Moris. Pada hal
saat itu industri rokok sedang bagus perkembangannya. Apakah penjualan itu agar anak-anaknya tidak
terjebab zona nyaman, karea pabrik rokok Sampurna “sudah jadi”? Apakah dengan menjual pabrik rokok dan
memulai jenis usaha baru, dimaksudkan agar anak-anak Pak Putra Sampurna
mengalami situai “kepepet”? Jujur saya
juga tidak memiliki kompetensi untuk menjawab itu.
Saya juga teringat
kata-kata bijak “nahkoda hebat berasal dari lautan bergelombang besar”, “pohon
yang tumbuh di lahan gersang akan berakar kuat sehingga tidak mudah roboh”, “pemimpin
yang handal akan muncul dari situasi yang bergejolak”. Apakah kata-kata bijak itu seirama dengan isi
buku “The Power of Kepepet”? Apakah itu
yang membuat Pak Putra Sampurna menjual 100% sahamnya di pabrik rokok
Sampurna? Jika itu benar, bagaimana pendidikan dapat menggunakan untuk menumbuhkembangkan kemampuan kewirausahaan kepada anak-anak. Mari kita renungkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar