Sabtu lalu saya
berkunjung ke rumah kawan untuk mengerjakan sesuatu. Seperti biasanya, di sela-sela pekerjaan,
kami ngobrol “ngalor-ngidul”. Nah,
ketika itu ada cerita tentang kawan lain yang setahun lalu dipromosikan pada
suatu jabatan tertentu. Kawan yang bercerita
itu kebetulan menjadi anak buahnya. Menurut
si empunya cerita, kawan yang mendapat jabatan baru itu seakan berubah 180
derajat. Yang bersangkutan suka
marah-marah, minta dilayani ini dan itu.
Bahkan kalau beliau tiba di kantor, satpam diminta baris dan memberi
hormat.
Teman lain yang ikut
hadir menambahi, jika ingin bertemu dengan anak buah, si bos baru itu meminta
sekretarisnya untuk memanggih anak buah yang diperlukan. Seakan tidak mau menghubungi langsung. Kalau harus memberikan sambutan, si bos baru
minta dibuatkan dan bahkan minta ada yang membawakan map sambutan dan
memberikan saat si bos sudah di podium.
Teman yang bercerita itu mengatakan, anak buahnya sering rasan-rasan
kalau di bos baru itu “gila hormat”.
Saya kaget dan
setengah tidak percaya dengan cerita itu.
Saya mengenal teman yang digunjingkan itu sejak lama dan menurut saya
yang bersangkutan termasuk “culun” dalam pergaulan keseharian. Rasanya sangat aneh, kalau tiba-tiba minta dihormati
termasuk oleh anak buah yang sebelumnya merupakan kawan akrab. Ketika si empunya cerita mencoba meyakinkan
saya dan minta teman lain yang hadir ikut memberikan kesaksian, saya tetap
belum percaya. Paling tidak, setengah
percaya-karena di empunya cerita biasanya jujur, setengah tidak percaya-karena
selama ini orang digunjingkan termasuk “culun”.
Memang di perguruan
tinggi itu jabatan bagai mimpi semalam, karena secara praktis tidak ada
penjenjangan karier. Dapat terjadi
seseorang yang semula dosen biasa, tahu-tahu langsung jadi ketua juruan, dekan,
ketua lembaga dan sebagainya. Seingat
saya hanya rektor yang untuk mencalonkan diri harus pernah menduduki jabatan
minimal setingkat ketua jurusan.
Sebaliknya, juga biasa saja seorang dekan atau rektor habis masa
jabatannya. Lebih dari itu tidak ada
pelatihan untuk menjadi ketuan jurusan, dekan, rektor dan jabatan lainnya. Jadi
memang bisa jadi orang kaget dengan menerima jabatan baru itu.
Gunjingan itu
menyebabkan kami berhenti bekerja.
Ternyata kebiasaan bergunjing juga menjangkiti kami. Kami yang hadir
saling menanggapi sambil berkelakar.
Karena sebagian diantara yang hadir juga pernah menjabat dan bahkan ada
beberapa orang yang saat ini sedang menjabat, kami saling meledek. Teman yang pertama mulai menggunjingkan bos
baru, diledek jangan-jangan itu karena iri, karena merasa lebih pantas
menduduki jabatan itu. Tentu saja yang
bersangkutan menyangkal, walaupun teman lain terus menggoda.
Sepulang dari kerja
bareng itu, saya merenung. Apa dahulu
ketika menjadi birokrat, saya juga seperti itu ya? Saya mencoba mengingat-ingat. Seingat saya, pada awal menjabat saya juga
sering marah karena banyak hal yang “tidak beres”. Waktu terjadi banjir saya
marah, karena staf yang semestinya menangani itu enak-enak di kantor. Pada hal saya menduga ada selokan yang buntu
di pojok kampus. Saya ajak staf tersebut
melihat selokan di pojok kampus dan benar tersumbat oleh sampah. Saya juga sempat marah kepada staf Bank
BTN. Saat itu mahasiswa harus lapor ke
BAU ketika sudah membayar SPP, dengan membawa bukti bayar dari bank. Ketika
saya tanya apakah BTN tidak bisa begitu ada mahasiswa membayar datanya masuk ke
Unesa, jawaban staf tersebut berbelit-belit.
Saya menyampaikan, Bank Mandiri itu menjadi bank penerima uang
pendaftaran SBMPTN di seluruh Indonesia dan begitu ada calon mahasiswa mmbayar,
datanya langsung masuk ke panitian SBMPTN.
Dengan demikian panitia dapat mengetahui berapa jumlah pendaftar secara
real time. Akhirnya dengan agak marah,
BTN saya ancam kalau sampai tanggal tertentu tidak dapat menerapkan sistem
seperti di bank Mandiri untuk SBMPTN, Unesa akan pindah ke bank lain.
2 komentar:
Bapak memang luar biasa. Salut buat kepemimpinan bapak selama saya menimba ilmu di unesa. Sukses selalu
Kalo Prof Muchlas jadi pejabat birokrasi tetap seperti biasa.........
Cuman bedanya sudah ndak pernah neraktir saya seperti waktu satu rumah di Jakarta dulu.......he he he......
Posting Komentar