Tiga bulan menjadi
anggota BAN SM (Badan Akeditasi Nasional Sekolah/Madrasah), saya belajar banyak
hal. Lima belas anggota dengan latar
belakang pendidikan beragam, pekerjaan pokok yang beragam dan kepribadian yang
beragam membuat perilaku keseharian mereka sangat beragam. Namun satu perilaku yang sama dan membuat
suasana pergaulan nyaman adalah egalitarian.
Dalam rapat, anggota BAN SM bebas menyampaikan pendapat, namun dengan
bekal kedewaan mereka menyampaikan dengan santun, walaupun sebenarnya pendapat
itu “membedah” persoalan yang sedang dibahas secara dalam. Meminjam instilah Pak Abdul Malik - Dr.Ir.
Abdul Malik, MA. konsultan pendidikan dan mantan orang Bappenas-seringkali
anggota BAN SM mbetheti kebijakan Kemdikbud.
Dan memang beliau seringkali mblejeti praktek kependidikan kita dengan
tajam, sekaligus memberikan usulan jalan keluar untuk memperbaiki.
Dalam pergaulan di
luar rapat juga sangat egaliter. Saling bercanda dengan kelakar yang
kadang-kadang lucu. Pak Ketua - Dr. Tony
Toharudin, MSc. pakar statistika dari Unpad - sangat santun dan ngemong anggota
yang usianya banyak yang lebih tua. Bu
Itje - Dr. Itje Khadidjah, MA. dosen Uhamka, praktisi pendidikan dan Ketua
Dewan Pendidikan DKI, banyak memberikan inspirasi betapa beliau gigih dalam
memperjuang idealisme. Keinginan beliau
untuk mengubah kebiasaan yang kurang baik dalam praktek kependidikan merupakan
contoh nyata. Pak Marjuki - Dr. Marjuki,
MPd. mantan Ketuan BAP Bengkulu - banyak memberikan usulan praktis bagaimana menyelesaikan
persoalan karena pengalaman panjang beliau di BAP. Bu Capri - Dr. Capri Anjaya,
M.Hum. yang berpengalaman panjang dalam pengelolaan Sekolah Internasional – dan
Bu Silvi – Dr. Sylvia P. P. Soetantyo, MEd. Dosen UPH dan berpengalaman sebagai
Kepala sebuah Sekolah Internasional - banyak memberikan pandangan dari kalangan
“luar pemerintahan” tentang sekolah internasional. Pak Arismunadar-Prof Dr.
Arismunandar, mantan Rektor UNM - banyak memberikan pandangan yang komprehensif
terhadap suatu permasalahan. Sangat mungkin itu merupakan pengalaman sebagai
rektor yang terbiasa melihat masalah secara utuh. Pak Pranata-Sumarna Surapranata, PhD, mantan
Dirjen GTK-seringkali menjadi ahli hukum karena pandangannya yang cermat
terkait dengan Undang-undang maupun aturan lain yang terkait dengan masalah
yang sedang di bahas.
Anggota yang lain
tidak kalah kontribusinya. Pak Maskusi -
Dr. Maskuri, MEd. dari berpengalaman menjadi punggawa Kementerian Agama –
memerikan informasi banyak tentang madrasah, Pak Budi - Dr. Ir. Budi Susetyo,
MS pakar Statistika IPB banyak membantu menyelesaikan data, Pak Nur - Drs.
Muhamad Nur, MPd yang berpengalaman panjang sebagai “pendamping guru” di LPMP
Jakarta banyak memberikan pengalaman bagaimana mengatasi masalah di sekolah , Pak
Yusro - Dr. Muhamad Yusro, MT - dosen muda dari UNJ yang berpengalaman menjadi
asesor SMK banyak memberikan informasi khususnya ketika membahas akreditasi SMK,
Pak Sayuti - Muhamad Sayuti, PhD. dosen UAD yang banyak melakukan penelitian
banyak memberikan pemikiran akademik tentang akreditasi, dan Pak Nyoto - Dr.
Amat Nyoto, MPd – dosen UM yang pandai
menyanyi dan anggota lama, banyak memberikan informasi bagaimana instrumen
dikembangkan di masa lalu dan apa kendala dalam pelaksanaan akreditasi di
lapangan.
Dengan komposisi
anggota dan pengalaman yang beragam, diskusi selalu hidup dan mendapat
pandangan dari berbagai sisi. Sebagai
contoh, saat mendiskusikan instrumen akreditasi muncul pertanyaan apakah butir
instrumen harus sebanyak itu, apakah butir-butir itu memang mengukur kualitas
pendidikan di sekolah. Terjadi
perdebatan panjang. Pandangan kritis
akademik menyoroti relevansi butir-butir instrumen, merambat apakah delapan
standar pendidikan yang selama ini kita gunakan memang didukung oleh konsep
yang kokoh, bahkan akhirnya masuk ke area filosofis apa yang dimaksud mutu
pendidikan. Seperti biasanya perdebatan
akademik akan panjang karena masing-masing memiliki rujukan dari school of thought yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar