Rabu lalu, tanggal 18
April 2018, saya bertemu dengan 58 orang pengawas SD/MI dalam acara re-training
asesor BAP Jawa Timur. Di sela-sela
acara break, salah seorang peserta menyampaikan kerisauannya tentang kepedulian
kita terhadap upaya peningkatan mutu pendidikan. Menurut beliau banyak kebijakan dan kegiatan
sekolah yang tidak terkait langsung dengan peningkatan mutu pendidikan dan itu
menyita energi guru. Akibatnya proses
belajar mengajar justru terbengkelai.
Sebenarnya saya sudah
beberapa kali mendapat informasi seperti itu dengan istilah
bermacam-macam. Apa yang menyebut
politisasi pendidikan, ada yang menyebut program pendidikan lebih menekankan
hal-hal administratif, ada yang menamakan program pendidikan gonta-ganti
sehingga guru kebingunan dan sebagainya.
Namun, kali ini yang menyampaikan adalah pengawas yang biasanya pernah
menjadi guru, menjadi kepala sekolah dan bahkan ada yang pernah menjadi pejabat
di Dinas Pendidikan Kab/Kota. Oleh
karena itu saya miris mendengarnya. Apalagi keluhan tersebut di-amini oleh
beberapa pengawas yang lain.
Betulkah keadaan
seperti itu? Tentu saya tidak dapat
menjawabnya. Namun jika pengawas yang
menyampaikan tentu harus mendapat perhatian kita. Apalagi pengawas SD/MI, semenara SD/MI adalah
pondasi pendidikan. Ibarat membangun
rumah, jika pondasinya kokoh maka mudah membangun tembok sampai atap. Jika pendidikan di SD/MI bermutu bagus,
rasanya lebih mudah melanjutkannya di SMP/MTs dan SMA/SMK/MA. Namun jika mutu pendidikan di SD/MI tidak
baik, sangat sulit memperbaikinya di jenjang selanjutnya. Pendidikan itu sifatnya irreversible, apa yang telah terjadi sebelumnya tidak dapat
dikembalikan.
Mengapa itu terjadi
dan bagaimana mengatasinya? Mungkin
justru pertanyaan ini yang lebih penting untuk didiskusikan. Walaupun semua orang pernah sekolah, sehingga
merasa tahu bahkan merasa ahli dalam bidang pendidikan, tampaknya banyak hal
yang pemahamana seperti itu sebatas di permukaan, sehingga seringkali
menyederhanakan masalah. Teman saya
pernah bercerita bahwa semua orang merasa tahu tentang pendidikan karena pernah
sekolah. Persis seperti orangtua yang
sudah punya cucu dan biasa menasehati anaknya bagaimana mengasuh buah hati. Saya sendiri juga berbuat seperti itu. Saya sering menasehati anak saya bagaimana
mengasuh bayinya. Pada hal mereka tentu
sudah tahu atau bahkan lebih faham dibanding saya.
Bahwa pendidikan itu
sebuah proses terus menerus dan guru menjadi aktor utama tampaknya belum banyak
difahami orang. Bahwa guru harus terus
menerus fokus pada pembelajaranan dan juga terus menerus berinovasi untuk
meningkatkan kutu pembelajaran juga belum difahami. Sangat mungkin banyak orang menganggap
pekerjaan sebagai guru sama dengan sebagai administrasi yang setiap saat dapat
ditinggal dan nanti diteruskan lagi.
Oleh karena itu, seringkali terjadi mendadak guru harus meninggalkan
kelas karena mengikuti acara tertentu, yang tidak ada hubungannya secara
langsung dengan tugasnya mendidik siswa-siswanya.
Dalam peristiwa
seperti itu, proses belajar siswa akan menjadi terputus. Untuk melanjutkan guru
harus memulai lagi dari “nol”, karena pemahaman yang belum utuh terhadap sebuah
konsep akan sangat mudah hilang. Bahkan
yang lebih berbahaya pemahaman yang belum utuh seperti itu menyebabkan
terjadinya salah konsep atau mis-konsepsi yang tidak mudah diluruskan. Mirip
istilah dalam bahasa Jawa “mogol” yaitu singkong yang dibakar setengah matang
yang kalau dibakar lagi rasanya tetap tidak enak.
Inovasi di sekolah
juga sulit berkembang karena seringkali guru dikungkung dengan aturan-aturan
administratif yang penuh penyeragaman.
Pada hal, setiap saat guru harus berimprovisasi mengatasi siswa yang
kurang semangat belajar dan atau siswa yang sulit memahami materi ajar. Mirip seperti pelawak yang harus selalu
melakukan improvisasi agar penonton tertawa.
Penonton yang berbeda memerlukan lawakan yang berbeda. Lawakan di saing hari mungkin tidak cocok di
sore hari walaupun penontonnya sama.
Mirip seperti itulah posisi guru dalam mengajar.
Proses pembelajaran
itu terjadi di ruang kelas atau di laboratorium atau di lapangan, ketika siswa
belajar dan berinteraksi dengan guru maupun sesama siswa. Bukan di lembar kertas dalam bentuk RPP atau
sejenisnya. RPP memang penting untuk
memandu guru dalam mengajar, tetapi proses pembelajaran di kelas jauh lebih
penting. Lebih dari itu RPP tidak boleh
menghalangi guru untuk berimprovisasi ketika siswanya kurang bersemangat atau
sulit memahami materi ajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar