Tanggal 6 April 2018
saya diundang dalam seminar di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP),
bersama dengan Prof Zulkifli bin Muhammad dari UPSI Malaysia. Sebenarnya hari itu ada wisuda di Unesa dan
ada TOT calon asesor BAN-SM. Namun surat
permintaan untuk mengisi seminar itu sudah dikirimkan Agustus tahun lalu dan
saya terlanjur menyanggupi dan apalagi foto saya dan Prof Zulkifli sudah
dipajang di spanduk maupun liflet. Jadi
tentulah saya harus memenuhinya. Apalagi
tema seminarnya sedang hangat, yaitu bagaimana mengintegrasikan literasi dalam
pengembangan karakter.
Seminat berjalan
seperti biasanya dan ternyata setelah selesai saya diminta memberi kuliah umum
bagi mahasiswa PPG di FKIP. Jadi jadwal
saya baru selesai jam 15an. Itupun
karena terdengar kumandang adzan ashar.
Jika tidak, pasti masih terus berlanjut, karena banyak pertanyaan dari
mahasiswa. Mungkin terprovokasi ungkapan
moderator agar mahasiswa memanfaatkan kesempatan ketemu Prof Muchlas yang ikut
membidani PPG.
Pak Ahmad, beberapa
hari sebelum seminar bertanya, untuk pulang dari Purwokerto ke Surabaya saya
pengin naik apa? Kalau naik pesawat dari
Jogya ada Wings Air jam 21.15, sehingga masih terkejar kalau jam 16 dari
Purwokerto. Jika diantar dengan mobil
UMP, perjalanan Purwokerto-Jogya sekitar 4 jam.
Atau ingin naik kereta, yang ada kereta BIMA berangkat dari Purwokerto
pukul 21.30 sampai Surabaya pukul 05.30.
Saya memutuskan naik kereta api BIMA dengan pertimbangan kasihan teman
UMP harus mengantar ke Jogyakarta.
Sehari sebelum
pelaksanaan seminar ada berita ada kecelakaan kereta api di Madiun. Kereta api
Sancaka nabrak trailer. Infonya jalur
kereta akan terhalang selama 2 hari.
Isteri saya juga mengirimi kabar seperti itu. Saya jadi bimbang, akan tetap naik BIMA atau
berubah naik Wings Air. Oleh karena itu saya minta tolong ke teman di UMP untuk
mencarikan informasi apakah jalur kereta sudah dapat dilewati. Informasinya sudah, sehingga saya memutuskan
tetap naik BIMA.
Setelah makan malam
bersama teman-teman UMP dan Prof Zukifli dari UPSI, saya diantar ke setasiun
kereta. Sampai setasiun saya bertanya
kepada pertugas di pintu masuk, apakah jalur Madiun yang kemarin terjadi
kecelakaan sudah beres. Beliau bertanya
saya naik apa dan saya jawak naik BIMA.
Beliau mengatakan kalau BIMA ke Surabaya sudah normal. Saya tenang, sehingga setelah mengepak barang
agar lebih ringkes segera check in masuk ruang tunggu.
Ketiak duduk di ruang
tunggu, ada pengumuman 3 atau 4 kereta (saya tidak ingat namanya, tetapi BIMA
tidak disebut) akan mengalami keterlambatan lebih dari 1 jam dan penumpang yang
ingin mengubah atau membatalkan diminta ke loket 1. Selesai pengumuman itu,
kebetulan ada petugas setasiun yang lewat, sehingga saya bertanya bagaimana
dengan BIMA yang ke Surabaya. Beliau bertanya “BIMA yang ke Surabaya?”. Saya jawab “betul pak”. Petugas itu mengatakan “Tadi BIMA berangkat
dari Gambir tepat waktu, sehingga diperkirakan sampai Purwokerto juga tepat
waktu. Saya tenang.
Betul info tadi,
beberapa saat ada pengumuman kalau kereta api BiMA akan masuk setasiun
Purwokerto jalur 3 dan penumpang yang akan menyeberang ke jalur 3 diminta sabar
menunggu kereta Serayu yang sedang berhenti di lajur berangkat. Setelah kereta Serayu berangkat, saya segera
bergeser ke jalur 3. Ternyata tidak
banyak yang naik BIMA dari Purwokerto.
Dugaan saya hanya sekitar 10 orang.
Saya dapat tempat duduk di gerbong 2 nomer kursi 7D. Kebetulan yang duduk di 7C juga naik dari
Purwokerto, seorang ibu yang ternyata tinggal di Prapen Mas. Jadi tetangga kampung saja, sehingga kami
sempat ngobrol.
Karena saya capek,
saya bilang ke ibu tersebut kalau saya mau tidur. Dan ketika saya terbangun, ternyata ibu
tersebut pindah ke kursi 7 A dan B karena kebetulan kosong. Jadi saya dapat tidur nyaman karena dapat 2
kursi (7 C dan D) , ibu tersebut juga dapat 2 kursi (7A dan B). Saya tidur kembali dengan sembujung di 2
kursi, sambil kaki saya numpang di tas untuk menjaga karena ada lamptop di
dalamnya.
Ketika terbangun
sekitar pukul 03, saya merasa kereta berhenti. Saya ke toilet sehingga sempat
membaca kalau kereta berhenti di
setasiun Palur, dekat Solo. Ternyata
berhentinya lama. Mungkin sekitar 1
jam. Saya penasaran, sehingga ingin
mencari tahu apa yang terjadi. Kebetulan
ibu di kursi 7 A dan B juga bangun, sehingga saya titip tas karena ingin cari
informasi. Di kereta makan saya betemu
dengan kondektur yang di saku bajunya tertulis nama KATON. Beliau menjelaskan kalau kereta harus antre
karena hanya 1 lajur yang harus digunakan bergantian akibat kecelakaan
kemarin. Saya menyarankan agar hal itu
diumumkan agar penumpang tidak bingung.
Beliau juga cerita kalau di depan masih ada 2 kereta yang jugan antre.
Pukul 04.30an kereta
BIMA baru mulai bergerak dan ternyata berhenti lagi di setasium Gambiran selama
sekitar 1 jam. Setelah itu bergerak lagi
dan berhenti lagi setasiun Masaran.
Berarti sampai pukul 07.30an kereta BIMA masih di Jawa Tengah. Jam 09an
saya merasa lapar dan informasinya restorasi kehabisan makanan. Akhirnya saya turun ke setasiun bertanya jam
berapa kira-kira kereta BIMA akan berangkat dan dijawab sekitar jam 10an. Nah, masih cukup waktu mencari makan. Saya
tanya lagi adakah warung makan yang dekat dan dijawab ada di seberang jalan,
“di bawah rel”. Saya mengikuti pentunjuk
beliau dan memang menemukan “warung” di teras sebuah rumah sederhana yang
lokasinya memang di pinggir rel tetapi agak ke bawah.
Ketika saya datang,
tidak ada penjaga warung di situ. Saya
ketok-ketok pintu rumahnya juga tidak ada yan menyahut. Saya melihat apa makanan yang ada. Ternyata
hanya telor ceplok atau telor mata sapi, sayur oseng-oseng tempe dicampur
kacang panjang, dan semacam kare ayam tetapi dagingnya tinggal leher sebanyak 3
potong. Tidak beberapa lama ada seorang
ibu sepuh keluar dan saya yakin itu yang punya warung, sehingga saya bertanya
“wonten sekul nopo bu?” (apa nasi dengan lauk apa bu?). Akhirnya saya makan dengan nasi panas, telor
ceplok dan oseng-oseng tempe plus kacang panjang, ditemani teh manis. Lumayan untuk mengisi perut kosong. Apalagi semua tahi hanya 10 ribu rupiah.
Seingat saya, Masaran masih
masuk Jawa Tengah dan baru masuk Jawa Timur dengan setasiun pertama Walikukun,
terus Kedunggalar, Paron, Barat dan baru Madiun. Jadi kalau masing-masing setasiun akan
berhenti 1 jam kereta baru akan sampai Madiun sekitar pukul 12an. Jika dari Madiun ke Surabaya lancar, BIMA
akan sampai Surabaya pukul 15.30an.
Bukan main. Tidak terbayang, jika
kereta yang mestinya tiba di Surabaya pukul 05.30 baru sampai pukul 15.30 yang
berarti terlambat 10 jam.
Penumpang tidak dapat
berbuat apa-apa, karena waktu kereta berhenti berada di lokasi yang jauh dari
jalur umum. Sewaktu di Palur, kalau penumpang mau turun mencari bus harus naik
taksi ke Solo sekitar 30 menit. Sewaktu
di setasiun Gambiran, Masaran dan seterusnya lebih parah karena lebih jauh dari
kota yang mudah mencari bus. Jadi
penumpang semaca terperangkap dan terpaksan ikut saja kereta BIMA.
Alhamdulillah jam 10an
kereta BIMA mulai berjalan dari Masaran, terus ke Walikukun dan berhenti di
Kedunggalar. Jam 11an berangkat lagi dan
betul sampai Madiun jam 12an. Dari
Madiun kereta berjalan lancar dan sampai di setasiun Gubeng ja, 14.30. Sambil berkemas-kemas saya mengatakan kepada
ibu dari Prapen Mas itu, kita diberi bonus 9 jam, dari 05.30 menjadi
14.30. Namun tetap alhamdulillah, semua
berjalan dengan baik. Tidak ada yang
salah, terlambat karena petugas kerata api harus hati-hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar