Minggu lalu saya
diundang rapat di Kemdikbud untuk membahas pengadaan guru. Sebelum undangan diemail, ada staf Kemdikbud
yang menilpun memberitahukan kalau saya diudang rapat pada Kamis tanggal 5
April 2018 pukul 14.00. Karena kebetulan
sedang di Jakarta, saya menyanggupinya.
Tidak beberapa undangan dikirim via email dan membuat saya
bertanya-tanya, karena yang diundang adalah para pejabat, mulai dari eselon 1
(dirjen), eselon 2 (direktur dan kepala biro), dan eselon 3 (kasubdit dan
kepala bagian). Yang bukan pejabatn
hanya saya.
Ketika rapat dibuka
oleh Sekjen Kemdikbud dan dijelaskan apa yang ingin dibahas, saya baru faham
bahwa rapatnya sangat penting. Menurut
Pak Sekjen, Wakil Presiden memerintahkan agar Kemdikbud menyiapkan rekruitmen
guru baru sejumlah 100.000 orang pada tahun ini, 90.000 untuk guru umum dan
10.000 untuk guru agama. Bahkan mungkin naik menjadi 120.000 orang, dengan
rincian 100.000 orang untuk guru umum dan 20.000 orang untuk guru agama.
Bahkan Indonesia
kekurangan guru dalam jumlah besar, saya sudah sering mendengar. Namun mengadakan rekruitmen guru baru
sebanyak 100.000 orang pada tahun in, membuat saya kaget. Apalagi menurut
informasi orang dapat diangkat menjadi guru PNS kalau sudah memiliki sertifikat
pendidik. Pada hal, infomasi alumni PPG
yang belum terangkat hanya sekitar 27.000 orang dan sangat mungkin mereka sudah
bekerja walaupun bukan sebagai PNS. Sementara
jumlah mahasiswa PPG yang saat ini sedang kuliah dan diperkirakan lulus hanya
17.000 orang. Jadi jika semua mereka mau
mendaftar jumlahnya hanya 44.000 orang.
Lantas bagaimana jalan keluarnya?
Mengangkat lulusan S1 yang belum ikut PPG sehingga belum memiliki
sertifikat? Melonggarkan usia penerimaan
PNS, sehingga alumnsi PLPG yang rata-rata usianya di atas 35 tahun dapat
mendaftar?
Saya yakin kapa pada
akhirnya akan ditemukan jalan keluar.
Namun yang saya bingung mengapa kita tidak bosan melaksanakan crash
program yang sudah pasti hasilnya tidak ideal.
Bukankah kita sudah tahun kalau kekurangan guru? Bukankah kekurangan guru dapat dihitung
dengan relatif rinci, sampai per matapelajaran, per kabupaten/sekolah, bahkan
sampai setiap tahun ketika memperhitungkan usia pensiun. Tentu hasilnya tidak betul-betul tepat,
tetapi saya yakin cukup sebagai patokan bagaimana menyiapkan calon guru.
Dengan data-data
tersebut, maka penyiapkan calon guru dapat dilakukan dengan baik. Tidak hanya pada jenjang PPG, bahkan jika
dikehendaki dapat disiapkan sejak jenjang S1.
Jika diketahui kekurangan guru pada tahun T, maka pada tauhun T-1 dapat
dilakukan penerimaan mahasiswa PPG yang sesuai dengan jumlah dan jenisnya. Pada tahun T-5 dapat dilakukan penerimaan
mahasiswa S1/D4 sesuai dengan jumlah dan jenisnya. Tentu dengan memperhitungkan prosestasi yang
tidak lulus dan juga memperhitungkan lulusan S1 non Dik yang masuk PPG.
Jika perhitungan
seperti itu dapat dilakukan, muncul pertanyaan mengapa kita tidak melakukannya?
Pada hal
UU no. 14/2005, pasal 24 ayat (1), (2), (3), dan (4) menyatakan
Pemerintah pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Penyelenggara pendidikan wajib
memenuhi kebutuhan guru, baik dalam jumlah, kualifikasi dan kompetensi secara
merata untuk menjamin keberlangsungan pendidikan, sesuai dengan
kewenangannya. Dengan demikian jika ada
sekolah kekurangan guru, orang dapat mempertanyaan pelaksanaan UU tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar