Beberapa hari ini kita dibuat kagum oleh almarhum Akidi Tio yang menyumbangkan uang sebesar 2 trilyun, sekali lagi 2 trilyun yang berarti dua ribu milyar. Jujur sebagai ASN saya tidak dapat membayangkan uang sebanyak itu. Sayang terbayang, kalau seorang ASN dengan pangkat tertinggi (IV-E) dengan gaji 5 juta perbulan atau 60 juta per tahun kemudian bekerja selama 40 tahun, gaji itu akan terkumpul 60 juta x atau 2. 400 juta atau 2,4 milyar. Berari sumbangan alm Akidi Tio setara dengan gaji 1000 ASN selama hidupnya. Tentu kita harus menaruh hormat atas kedermawanan alm Akidi Tio beserta keluarganya, diiringi do’a semoga sumbangan itu menjadi amal jariyah beliau-beliau semuanya.
Saya bukan pengusaha dan bukan
ekonom, sehingga tidak tahu dan tidak dapat menganalisis uang sejumlah
itu. Yang dapat saya bayangkan, siapa
Akidi Tio. Tentulah orang yang sangat
kaya, tetapi mengapa almarhum tidak termasuk deretan uang kaya di Indonesia
ya? Pak Dahlan Iskan, wartawan senior
yang pasti jagoan mencari sumber data juga tidak menemukan sosok Akidi Tio
dengan terang benderang. Konon pengusaha di Palembang juga tidak banyak yang
mengenal. Kalau mengenal sebatas orang rendah hati dan sederhana dalam
kehidupan sehari-hari. Pada hal umumnya orang kaya itu terkenal, baik namannya
ataupun bisnisnya. Katakanlah Chairul Tanjung dengan CT Crop atau Tran TV-nya,
Mochtar Riyadi dengan Lippo-nya, Dato Sri Tahir dengan Mayapada-nya, Budi
Hartono denga BCA dan Djarum-nya.
Ketika media memuat daftar 20 orang terkaya di Indonesia, kalau tidak salah orang paling nomer 1 adalah Budi Hartono dengan kekayaan sekitar 264 trilyun. Dato Tahir yang banyak dikatakan orang sebagai orang kaya dan suka memberi sumbangan berada di urutan ke 8 dengan kekayaan sekitar 50 trilyun. Keluarga Mochtar Riyadi boss Lipo berada di urutan ke 10 dengan kekayaan sekitar 30 trilyun. Apakah keluarga Akidi Tio berasa di dalam urutan 20 besar? Ternyata juga tidak. Jadi termasuk urutan ke berapa ya?
Konon orang terkaya nomor 20
di Indonesia kekayaannya sekitar 1 milyar US dolar atau mungkin sekitar 15
trilyun. Nah, kalau kekayaan Akidi Tio sekitar itu dan menyumbankan uangnya 2
trilyun berarti lebih dari 10 % dari kekayaannya. Betapa dermawan beliau ya. Seandainya, sekali lagi seadainya, orang-orang
kaya di Indonesi sedermawan Akidi Tio negara yang sedang kesulitan dana karena covid-19
ini mungkin sedikit terbantu. Tidak usah
10%, katakankah 2,5 saja, pastilah akan terkumpul dana sangat banyak.
Merenungkan fenomena Akidi
Tio, saya jadi ingat tayanan di sebuah tv swasta, dengan judul TOLONG beberapa tahun lalu. Pada tayangan itu ditampakkan ada orang yang
sedang minta tolong, menjual sesuatu karena kepepet. Misalnya menjual botol bekas untuk membelikan
bubur ibunya yang sakit. Ada juga yang menjual abu gosok untuk membelikan obat
neneknya yang sedang sakit. Ternyata “sang
dewa penolong” itu bukan orang kaya, buka orang hebat tetapi justru orang yang
juga susah. Yang memberi botol bekas itu
seorang tuna netra yang berjualan krupuk.
Ketika diwawancari wartawan tv, beliau mengatakan krupuknya baru laku 6
bungkus dan untungnya 18 ribu rupiah tetapi rela membeli botol bekas itu 20
ribu rupiah. Yang membeli abu gosok itu ibu-ibu
penjual leker dengan gerobah reyot. Ibu itu membeli abu gosok seharga 20 ribu
dan sekaligus memberi sebungkus leker ke anak penjual abu gosok itu sambal menangis.
Mungkin karena sangat kasihan, ada anak kecil dengan baju lusuh menjual abu
gosok agar bisa membelikan obat neneknya yang sedang sakit.