Bahwa ada kemungkingan terjadi gelombang kedua dari pandemic covid-19 sudah dikemukakan banyak orang. Beberapa negara juga telah mengalami. India dan Inggri adalah contoh, namun dengan intensitas yang sangat berbeda. Pemerintah Indonesia tampaknya juga melalukan antisipasi dengan melarang masyarakat mudik di saat Idul Fitri. Penyekatan dilakukan di berbagai tempat ketika larangan itu mulai diberlakukan. Namun toh, gelombang kedua tetap terjadi dan sampai hari ini belum diketahui kapan berakhir. Bahkan beberapa orang mengatakan, hari ini belum mencapau puncaknya.
Selaku orang awam, dalam hati saya
bertanya-tanya. Mengapa ini terjadi dan
sepertinya lebih “gawat” dibanding yang pertama. Apakah memang semua negara akan mengalami
gelombang kedua dalam pandemic covid-19 ini?
Data menunjukkan, pada periode pertama puncaknya bulan Januari dan baru
turun menjadi terendah bulan Mei. Jadi
proses penurunannya memerlukan wakatu 3 bulan.
Nah, jika bulan Juli ini menjadi puncak dan periode penurunannya sama
dengan yang lalu berarti gelombang kedua baru selesai pada bulan Nopember
2021.
Jujur saya tidak dapat membayangkan
seperti apa akibatnya. Tidak hanya bagi
masyarakat tetapi juga bagi pemerintah.
Dengan PPKM tentu secara ekonomi banya pihak yang terdampak, khusunya
bagi masyarakat kelas bawah. Jika di
warung, orang tidak boleh makan di tempat, saya tidak dapat membayangkan
bagaimana penurunan pendapatannya. Bukan berarti saya tidak setuju dengan
aturan di PPKM, saya setuju. Yang saya pikirkan bagaimana kehidupan pedagang
makanan kelas bawah tersebut.
Walaupun bukan ahli ekonomi dan juga
bukan pejabat, saya dapat membayangkan ketika ekonomi jeblok seperti sekarang
ini tentu pendapatan negara yang mengandalkan pajak juga akan jeblok. Disisi
lain, pemerintah harus mengeluarkan biaya sangat besar untuk menanggulangi
covid-19. Yang saya dengar pemerintah
sudah mulai kedodoran untuk membayar biaya rumah sakit, karena pasien covid-19
ditanggung negara. Belum lagi untuk
bantuan sosial yang tentu memerlukan anggaran sangat besar.
Dilhat dari kacamata Pendidikan, pandemic
covid-19 ini merupakan pembelajaran yang sangat mahal. Kita harus mampu memetic pembelajaran
darinya. Kata pepatah, jangan sampai
terantuk batu yang kedua kalinya. Nah, lantas
apa pembelajaran yang dapat kita petik? Bukan setiap peristiwa yang kita temui
pada hakekatnya suatu pelajaran dari Allah swt. Mari kita melakukan refleksi
dan mengingat kejadian sejak awal munculnya virus corona.
Pertama, seingat
saya virus corona mulai muncul dalam pemberitaan sekitar Januari 2020. Saat itu kebetulan saya sedang melaksanakan
ibadah umroh dan berita tentang virus corona di Wuhan China sudah mulai gencar,
sehingga ketika melihat jamaah dari China saya berpikir “lha ini mereka sehat
wal-afiat”. Tetapi semakin hari berita
itu semakin banyak dan tampaknya semakin serius.
Namun demikian, kita bangsa Indonesia
tampaknya begitu percaya diri, corona tidak ada masuk ke Indonesia. Ada tokoh yang mengatakan virus corona tidak
tahan panas dan karena Indonesia daerah tropism aka tidak dapat masuk ke
Indonesia. Tokoh lain, mungkin berkelakar,
karena kita makan nasi kucing maka corona tidak mempan kepada badan kita. Nah,
kelakar itu hilang bak ditelan bumi ketika ada seorang wanita muda (seingat
saya seorang penari) terpapar. Konon karena
tertular temannya yang orang Jepang. Itu
kasus pertama yang terditeksi, tetapi mungkin juga sebenarnya sudah ada orang
lain, yang terpapar tetapi tidak terlaporkan.
Baru setelah itu berkembang, masyarakat mulai heboh dan kalau tidak salah
pertengahan Maret mulai ada pembatalan kegiatan ini dan itu. Saat itu saya
sedang di Jakarta menghadiri serangkaian acara, di Dikti, DI GTK dan di Yayasan
Pak Ponco Sutowo. Hanya acara ketiga
yang tetap berjalan, walaupun dengan peserta terbatas, sedang pertama dan kedua
dibatalkan. Selesai acara, saya juga
langsung pulang ke Surabaya.
Jadi apa pelajaran pertama yang dapat
dipetik? Kita seperti meremehkan
sesuatu yang tidak remeh. Mungkin juga karena pengetahuan kita belum banyak
tentang virus corona, sehingga kita menganggapnya enteng. Sayangnya ketika para pakar sudah mulai mengingatkan
bahaya virus itu, kita masih saja mengabaikan.
Baru setelah banyak orang terpapar dan korban mulai berjatuhan, kita seakan
terkaget-kaget.
Kedua, ketika pandemi
covid-19 sudah berlangsung dan pemerintah mengeluarkan panduan bagaiamana
berperilaku misalnya pakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan
sebagainya, ternyata banyak diantara kita yang mengabaikan. Menurut beberapa informasi di medos, banyak alasan
mereka. Ada yang mengatakan lupa, merasa sulit bernapas jika memakai masker dan
bahkan ada yang tidak percaya adanya virus covid-19. Konon ada juga yang mengatakan “soal hidup
mati itu urusan Yang Maha Kuasa”. Bahkan
ada yang dengan yakin mengatakan “lho tetap sehat, walapun kemana-mana dan tidak
memakai masker”.
Jujur saya tidak mampu memahami argument
tersebut. Bahwa hidup-mati itu urusan Allah swt itu sudah pasti. Namun menurut
saya, toh kita diamanahi memelihara badan kita dan menggunakan masker, mencuci
tangan dan sebagainya itu merupakan upaya memeliharan tubuh tersebut. Sangat mungkin orang yang tetap sehat walaupun
kemana-mana tanpa masker tersebut sebenarnya terpapar virus corona-19, namun
kondisinya tetap sehat atau disebut OTG.
Nah, yang berbahaya OTG dapat menulari orang lain. Banyak informasi, orang yang tidak pernah kemana-mana
terpapar dan ternyata tertular anaknya yang sering pergi.
Apa pelajaran yang dapat dipetik dari
kasus-kasus tersebut? Tampaknya kita
terlalu egois. Memang dirinya tidak merasa sakit, tetapi lupa kalua sangat
mungkin menjadi pembawa virus kemana-mana dan akhirnya menulari orang di
dekatnya.
Ketiga, beberapa
hari lalu penjual nasi goreng yang mangkal di dekat rumah anak saya di Bintaro
terpapar. Memang setiap sore beliau tetap buka melayani pembeli. Mungkin juga
tertular pembeli atau entah dimana tertularnya.
Yang saya bayangkan, kalua beliau sakit terus tidak berjualan bagaimana
nasib dia dan keluarganya. Memang di
masyarakat kita masih banyak saudara kita yang “bekerja hari ini untuk makan
besuk”. Itulah sebabnya saya bisa
memahami ketika pemerintah tidak memutuskan lock down total dalam pengertian tidak
boleh ada aktvitas yang sifatnya tidak urgen.
Merenungkan fenomena tersebut, saya
membayangkan Korea Selatan yang ketika terkena problem ekonomi sekian tahun
lalu, para pejabat ramai-ramai menyumbangkan gajinya, para orang kaya
ramai-ramai menyumbang untuk mengatasi problem tersebut. Saya kok belum
mendengar hal seperti itu ya? Yang saya
dengan Yayasan/Lembaga Sosial yang gencar mengumpulkan donasi untuk masyarakat
yang terdampak. Namun saya juga sangat
gembira ketika melihat beberapa orang membawa nasi bungkus kemudian membagikan
kepada orang abang becak, pembersih jalan dan sebagainya. Tampaknya, diperlukan “Gerakan” untuk
membantu saudara kita yang kesulitan akibat pandemi ini. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar