Minggu, 04 Juli 2021

GELOMBANG KEDUA COVID 19: PEMBELAJARAN YANG MAHAL

 Bahwa ada kemungkingan terjadi gelombang kedua dari pandemic covid-19 sudah dikemukakan banyak orang.  Beberapa negara juga telah mengalami.  India dan Inggri adalah contoh, namun dengan intensitas yang sangat berbeda.  Pemerintah Indonesia tampaknya juga melalukan antisipasi dengan melarang masyarakat mudik di saat Idul Fitri.  Penyekatan dilakukan di berbagai tempat ketika larangan itu mulai diberlakukan.  Namun toh, gelombang kedua tetap terjadi dan sampai hari ini belum diketahui kapan berakhir. Bahkan beberapa orang mengatakan, hari ini belum mencapau puncaknya.

Selaku orang awam, dalam hati saya bertanya-tanya.  Mengapa ini terjadi dan sepertinya lebih “gawat” dibanding yang pertama.  Apakah memang semua negara akan mengalami gelombang kedua dalam pandemic covid-19 ini?  Data menunjukkan, pada periode pertama puncaknya bulan Januari dan baru turun menjadi terendah bulan Mei.  Jadi proses penurunannya memerlukan wakatu 3 bulan.  Nah, jika bulan Juli ini menjadi puncak dan periode penurunannya sama dengan yang lalu berarti gelombang kedua baru selesai pada bulan Nopember 2021. 

Jujur saya tidak dapat membayangkan seperti apa akibatnya.  Tidak hanya bagi masyarakat tetapi juga bagi pemerintah.  Dengan PPKM tentu secara ekonomi banya pihak yang terdampak, khusunya bagi masyarakat kelas bawah.  Jika di warung, orang tidak boleh makan di tempat, saya tidak dapat membayangkan bagaimana penurunan pendapatannya. Bukan berarti saya tidak setuju dengan aturan di PPKM, saya setuju. Yang saya pikirkan bagaimana kehidupan pedagang makanan kelas bawah tersebut.

Walaupun bukan ahli ekonomi dan juga bukan pejabat, saya dapat membayangkan ketika ekonomi jeblok seperti sekarang ini tentu pendapatan negara yang mengandalkan pajak juga akan jeblok. Disisi lain, pemerintah harus mengeluarkan biaya sangat besar untuk menanggulangi covid-19.  Yang saya dengar pemerintah sudah mulai kedodoran untuk membayar biaya rumah sakit, karena pasien covid-19 ditanggung negara.  Belum lagi untuk bantuan sosial yang tentu memerlukan anggaran sangat besar.

Dilhat dari kacamata Pendidikan, pandemic covid-19 ini merupakan pembelajaran yang sangat mahal.  Kita harus mampu memetic pembelajaran darinya.  Kata pepatah, jangan sampai terantuk batu yang kedua kalinya.  Nah, lantas apa pembelajaran yang dapat kita petik? Bukan setiap peristiwa yang kita temui pada hakekatnya suatu pelajaran dari Allah swt. Mari kita melakukan refleksi dan mengingat kejadian sejak awal munculnya virus corona.

Pertama, seingat saya virus corona mulai muncul dalam pemberitaan sekitar Januari 2020.  Saat itu kebetulan saya sedang melaksanakan ibadah umroh dan berita tentang virus corona di Wuhan China sudah mulai gencar, sehingga ketika melihat jamaah dari China saya berpikir “lha ini mereka sehat wal-afiat”.  Tetapi semakin hari berita itu semakin banyak dan tampaknya semakin serius.

Namun demikian, kita bangsa Indonesia tampaknya begitu percaya diri, corona tidak ada masuk ke Indonesia.  Ada tokoh yang mengatakan virus corona tidak tahan panas dan karena Indonesia daerah tropism aka tidak dapat masuk ke Indonesia.   Tokoh lain, mungkin berkelakar, karena kita makan nasi kucing maka corona tidak mempan kepada badan kita. Nah, kelakar itu hilang bak ditelan bumi ketika ada seorang wanita muda (seingat saya seorang penari) terpapar.  Konon karena tertular temannya yang orang Jepang.  Itu kasus pertama yang terditeksi, tetapi mungkin juga sebenarnya sudah ada orang lain, yang terpapar tetapi tidak terlaporkan.   Baru setelah itu berkembang, masyarakat mulai heboh dan kalau tidak salah pertengahan Maret mulai ada pembatalan kegiatan ini dan itu. Saat itu saya sedang di Jakarta menghadiri serangkaian acara, di Dikti, DI GTK dan di Yayasan Pak Ponco Sutowo.  Hanya acara ketiga yang tetap berjalan, walaupun dengan peserta terbatas, sedang pertama dan kedua dibatalkan.  Selesai acara, saya juga langsung pulang ke Surabaya.

Jadi apa pelajaran pertama yang dapat dipetik?  Kita seperti meremehkan sesuatu yang tidak remeh. Mungkin juga karena pengetahuan kita belum banyak tentang virus corona, sehingga kita menganggapnya enteng.  Sayangnya ketika para pakar sudah mulai mengingatkan bahaya virus itu, kita masih saja mengabaikan.  Baru setelah banyak orang terpapar dan korban mulai berjatuhan, kita seakan terkaget-kaget.

Kedua, ketika pandemi covid-19 sudah berlangsung dan pemerintah mengeluarkan panduan bagaiamana berperilaku misalnya pakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan sebagainya, ternyata banyak diantara kita yang mengabaikan.  Menurut beberapa informasi di medos, banyak alasan mereka. Ada yang mengatakan lupa, merasa sulit bernapas jika memakai masker dan bahkan ada yang tidak percaya adanya virus covid-19.  Konon ada juga yang mengatakan “soal hidup mati itu urusan Yang Maha Kuasa”.  Bahkan ada yang dengan yakin mengatakan “lho tetap sehat, walapun kemana-mana dan tidak memakai masker”.

Jujur saya tidak mampu memahami argument tersebut. Bahwa hidup-mati itu urusan Allah swt itu sudah pasti. Namun menurut saya, toh kita diamanahi memelihara badan kita dan menggunakan masker, mencuci tangan dan sebagainya itu merupakan upaya memeliharan tubuh tersebut.  Sangat mungkin orang yang tetap sehat walaupun kemana-mana tanpa masker tersebut sebenarnya terpapar virus corona-19, namun kondisinya tetap sehat atau disebut OTG.  Nah, yang berbahaya OTG dapat menulari orang lain.  Banyak informasi, orang yang tidak pernah kemana-mana terpapar dan ternyata tertular anaknya yang sering pergi.

Apa pelajaran yang dapat dipetik dari kasus-kasus tersebut?  Tampaknya kita terlalu egois. Memang dirinya tidak merasa sakit, tetapi lupa kalua sangat mungkin menjadi pembawa virus kemana-mana dan akhirnya menulari orang di dekatnya.

Ketiga, beberapa hari lalu penjual nasi goreng yang mangkal di dekat rumah anak saya di Bintaro terpapar. Memang setiap sore beliau tetap buka melayani pembeli. Mungkin juga tertular pembeli atau entah dimana tertularnya.  Yang saya bayangkan, kalua beliau sakit terus tidak berjualan bagaimana nasib dia dan keluarganya.  Memang di masyarakat kita masih banyak saudara kita yang “bekerja hari ini untuk makan besuk”.  Itulah sebabnya saya bisa memahami ketika pemerintah tidak memutuskan lock down total dalam pengertian tidak boleh ada aktvitas yang sifatnya tidak urgen.

Merenungkan fenomena tersebut, saya membayangkan Korea Selatan yang ketika terkena problem ekonomi sekian tahun lalu, para pejabat ramai-ramai menyumbangkan gajinya, para orang kaya ramai-ramai menyumbang untuk mengatasi problem tersebut. Saya kok belum mendengar hal seperti itu ya?  Yang saya dengan Yayasan/Lembaga Sosial yang gencar mengumpulkan donasi untuk masyarakat yang terdampak.  Namun saya juga sangat gembira ketika melihat beberapa orang membawa nasi bungkus kemudian membagikan kepada orang abang becak, pembersih jalan dan sebagainya.  Tampaknya, diperlukan “Gerakan” untuk membantu saudara kita yang kesulitan akibat pandemi ini.  Semoga.

Tidak ada komentar: