Minggu, 11 Juli 2021

BOLA ITU BUNDAR DAN DIPLOMASI PENDIDIKAN

 

Minggu-minggu ini WAG atau obrolan di kalangan teman-teman saya tidak lepas dari Piala Eropa dan Copa America.  Masing-masing teman memiliki jago sendiri-sendiri dan mengulas pertandingan dengan caranya sendiri-sendiri.  Untuk Copa America relative tidak banyak variasi jago.  Tampaknya Argentina dan Brasil sejak awal telah diunggulkan oleh banyak teman. Walaupun deg-degan juga muncul ketika Argentina harus adu penaliti dengan Kolumbia.  Namun untuk Piala Eropa bola betul-betul bundar.

Pada babak awal, banyak teman-teman yang menjagokan Perancis dengan julukan Pangeran Biru dan Jerman dengan julukan Der Panser.  Tapi seiring perjalanan dan kedua tim tersebut tersingkir, analisis amatiran berkembang macam-macam.  Saya sebut amatiran karena memang yang banyak berkomentar adalah mereka yang tidak punya pengalaman bermaik bola.


Ketika Perancis dikalahkan oleh Swiss dan Jerman dikalahkan oleh Inggris, banyak teman-teman saya yang beralih menjagokan Inggris.  Berbagai alasan dikemukakan. Ada yang yakin karena tempat pertandingannya di Inggris sehingga tim akan mendapatkan moral yang kuat dan ada pula yang mengemukan macam-macam alasan.  Bahkan konon Pak Menpora juga menjagokan Inggris dan semula juga menjagokan Perancis.  Saya tidak tahu apakah Pak Menpora memang ahli sepekbola atau tidak.

Rasanya hampir tidak ada teman yang menjagokan Itali, walaupun Itali melaju ke babak final setelah mengalahkan Spanyol di semi final.  Tadi malam (pagi) ketika petandingan menjelang dimulai dan  Italia bertemu dengan Inggris, WAG teman-teman masih dipenuhi pujian untuk Tim Inggris. Apalagi ketika Inggris berhasil mencetak gol di awal pertandingan.  Namun seiring dengan pertandingan berjalan dan Tim Italia lebih banyak menguasai bola, komentar-komentar mulai bergeser. Bahkan ada yang mulai mengatakan kalau pola permainan itu berlangsung terus, Italia yang akan menjadi juara.

Ketika keadaan seimbang 1-1 sampai akhir babak perpanjangan waktu dan pertandingan harus dilanjutkan dengan adu pinalti, banyak teman-teman saya yang mengatakan Italia yang akan menang. Banyak argument yang diajukan. Ada yang mengatakan kipper Italia lebih hebat, ada yang mengatakan Tim Italia memiliki pemain dengan tembakan lebih baik, bahkan ada yang mengatakan Italia itu biasa membawa dukun ketika pertandingan bola.  Nah, ternyata saat adu pinalti, Italia benar-benar menang.

Saya bukan ahli sepak bola bahkan hanya bermain bola jeruk atau gulungan gedebog saat kecil di kampung jadi lebih banyak menjadi pendengar, baik di WAG ataupun obrolan langsung.  Yang saya coba memahami bukan permainan bola yang memang saya tidak punya pengetahuan memadai tentang itu, tetapi justru pada bagaimana pola pikir teman-teman dari obrolan selama dua kejuaraan sepak bola berlangsung.

Tampaknya pendapat atau pandangan teman-teman itu sangat dipengaruhi image yang ada di benak masing-masing.  Argumen yang diajukan, baik yang semula menjagokan Perancis maupun Jerman ternyata punya punya “sentuhan” dengan kedua negara tersebut.  Mungkin juga karena teman-teman itu pada umumnya bukankah orang yang benar-benar memiliki keahlian dalam sepak bola, sehingga “analisis” (kalau dapat disebut begitu) tidak benar-benar didasari oleh persepakbolaan tetapi oleh faktor-faktor yang yang melekat pada masing-masing orang.  Hal ini memperkuat konsep bahwa respons seseorang terhadap suatu input sangat dipengaruhi oleh frame of thought yang dimilikinya.  Sementara frame of thought itu terbentuk dari pengalaman yang dimilikinya.

Merenungkan ini saya jadi ingat kata-kata Dubes Myanmar sekian tahun lalu, saat saya diundang ke sana untuk mengisi kuliah umum di Pusat Studi Sejarah SEAMEO.  Saat itu Pak Dubes menceritakan alasan mendirikan Sekolah Indonesia Internasional Yangoon (SIIY) di Keduataan Besar Indonesia di Myanmar.  Sekolah itu perluasan dari Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) di Yangoon.  Jika di SILN muridnya pada anak-anak staf kedutaan besar dan anak orang Indonesia yang bekerja di Myanmar, murid SIIY adalah anak-anak Myanmar dan sebagian besar dari kalangan menengah.

Di SIIY anak-anak juga belajar Bahasa Indonesia (bahasa pengantar pembelajaran Bahasa Inggris) dan bahkan belajar Pancasila.  Menurut Pak Duber, SIIY merupakan salah satu pintu diplomasi mengenalkan dan membangun ikatan batin generasi muda Myanmar dengan Indonesia.  Dan tampaknya berhasil.  Saya sempat berjumpa alumni SIIY yang sekarang sedang sekolah penerbang.  Yang bersangkutan bercerita manfaat sekolah di SIIY dan bahkan memuji Indonesia. 

Saya juga teringat Kyai Prof. Dr. Asep Syaifuddin, MA pengasuh sekolah dan universitas Amanatul Ummah, yang memberi beasiswa kepada mahasiswa dari berbagai negara.  Berapa besar beasiswa yang diberikan?  Saya tidak tahu pasti, menurut Kyai Asep pokoknya cukup untuk makan ala pondok. Mungkinkan program beasiswa dari negara-negara lain untuk orang Indonesia juga bertujuan seperti itu? Semoga menjadi pembelajaran kita semua.

Tidak ada komentar: