Minggu-minggu ini WAG atau obrolan di
kalangan teman-teman saya tidak lepas dari Piala Eropa dan Copa America. Masing-masing teman memiliki jago
sendiri-sendiri dan mengulas pertandingan dengan caranya sendiri-sendiri. Untuk Copa America relative tidak banyak
variasi jago. Tampaknya Argentina dan
Brasil sejak awal telah diunggulkan oleh banyak teman. Walaupun deg-degan juga
muncul ketika Argentina harus adu penaliti dengan Kolumbia. Namun untuk Piala Eropa bola betul-betul
bundar.
Pada babak awal, banyak teman-teman
yang menjagokan Perancis dengan julukan Pangeran Biru dan Jerman dengan julukan
Der Panser. Tapi seiring perjalanan dan
kedua tim tersebut tersingkir, analisis amatiran berkembang macam-macam. Saya sebut amatiran karena memang yang banyak
berkomentar adalah mereka yang tidak punya pengalaman bermaik bola.
Ketika Perancis dikalahkan oleh Swiss dan Jerman dikalahkan oleh Inggris, banyak teman-teman saya yang beralih menjagokan Inggris. Berbagai alasan dikemukakan. Ada yang yakin karena tempat pertandingannya di Inggris sehingga tim akan mendapatkan moral yang kuat dan ada pula yang mengemukan macam-macam alasan. Bahkan konon Pak Menpora juga menjagokan Inggris dan semula juga menjagokan Perancis. Saya tidak tahu apakah Pak Menpora memang ahli sepekbola atau tidak.
Rasanya hampir tidak ada teman yang
menjagokan Itali, walaupun Itali melaju ke babak final setelah mengalahkan Spanyol
di semi final. Tadi malam (pagi) ketika
petandingan menjelang dimulai dan Italia
bertemu dengan Inggris, WAG teman-teman masih dipenuhi pujian untuk Tim
Inggris. Apalagi ketika Inggris berhasil mencetak gol di awal pertandingan. Namun seiring dengan pertandingan berjalan dan
Tim Italia lebih banyak menguasai bola, komentar-komentar mulai bergeser. Bahkan
ada yang mulai mengatakan kalau pola permainan itu berlangsung terus, Italia
yang akan menjadi juara.
Ketika keadaan seimbang 1-1 sampai
akhir babak perpanjangan waktu dan pertandingan harus dilanjutkan dengan adu
pinalti, banyak teman-teman saya yang mengatakan Italia yang akan menang.
Banyak argument yang diajukan. Ada yang mengatakan kipper Italia lebih hebat,
ada yang mengatakan Tim Italia memiliki pemain dengan tembakan lebih baik, bahkan
ada yang mengatakan Italia itu biasa membawa dukun ketika pertandingan bola. Nah, ternyata saat adu pinalti, Italia
benar-benar menang.
Saya bukan ahli sepak bola bahkan
hanya bermain bola jeruk atau gulungan gedebog saat kecil di kampung jadi lebih
banyak menjadi pendengar, baik di WAG ataupun obrolan langsung. Yang saya coba memahami bukan permainan bola yang
memang saya tidak punya pengetahuan memadai tentang itu, tetapi justru pada
bagaimana pola pikir teman-teman dari obrolan selama dua kejuaraan sepak bola
berlangsung.
Tampaknya pendapat atau pandangan
teman-teman itu sangat dipengaruhi image yang ada di benak masing-masing. Argumen yang diajukan, baik yang semula
menjagokan Perancis maupun Jerman ternyata punya punya “sentuhan” dengan kedua
negara tersebut. Mungkin juga karena
teman-teman itu pada umumnya bukankah orang yang benar-benar memiliki keahlian
dalam sepak bola, sehingga “analisis” (kalau dapat disebut begitu) tidak
benar-benar didasari oleh persepakbolaan tetapi oleh faktor-faktor yang yang melekat
pada masing-masing orang. Hal ini memperkuat
konsep bahwa respons seseorang terhadap suatu input sangat dipengaruhi oleh frame
of thought yang dimilikinya. Sementara
frame of thought itu terbentuk dari pengalaman yang dimilikinya.
Merenungkan ini saya jadi ingat
kata-kata Dubes Myanmar sekian tahun lalu, saat saya diundang ke sana untuk
mengisi kuliah umum di Pusat Studi Sejarah SEAMEO. Saat itu Pak Dubes menceritakan alasan mendirikan
Sekolah Indonesia Internasional Yangoon (SIIY) di Keduataan Besar Indonesia di
Myanmar. Sekolah itu perluasan dari
Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) di Yangoon. Jika di SILN muridnya pada anak-anak staf kedutaan
besar dan anak orang Indonesia yang bekerja di Myanmar, murid SIIY adalah
anak-anak Myanmar dan sebagian besar dari kalangan menengah.
Di SIIY anak-anak juga belajar Bahasa
Indonesia (bahasa pengantar pembelajaran Bahasa Inggris) dan bahkan belajar
Pancasila. Menurut Pak Duber, SIIY
merupakan salah satu pintu diplomasi mengenalkan dan membangun ikatan batin generasi
muda Myanmar dengan Indonesia. Dan
tampaknya berhasil. Saya sempat berjumpa
alumni SIIY yang sekarang sedang sekolah penerbang. Yang bersangkutan bercerita manfaat sekolah
di SIIY dan bahkan memuji Indonesia.
Saya juga teringat Kyai Prof. Dr.
Asep Syaifuddin, MA pengasuh sekolah dan universitas Amanatul Ummah, yang
memberi beasiswa kepada mahasiswa dari berbagai negara. Berapa besar beasiswa yang diberikan? Saya tidak tahu pasti, menurut Kyai Asep pokoknya
cukup untuk makan ala pondok. Mungkinkan program beasiswa dari negara-negara
lain untuk orang Indonesia juga bertujuan seperti itu? Semoga menjadi
pembelajaran kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar