Rabu, 21 Juli 2021

PENDIDIKAN ITU BUKAN SEKEDAR PERSIAPAN BERKERJA

 Minggu lalu saya ikut rapat SC (Steering Committee) Munas ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia).  Rapat yang semula dirancang 2 jam, molor sampai hampir 5 jam.  Disamping materi yang dibahas ternyata berkembang, juga karena peserta rapat adalah kawan lama yang mungkin saja sudah lama tidak bertemu.  Umumnya para dosen senior, hampir semua profesor dan beberapa orang bekas rektor, bahkan ada yang masih menjadi rektor saat ini.  Jadi rapat setengah reuni.

Karena rapat SC, intinya membahas persiapan munas, khususnya kapan Munas akan dilaksanakan, apa yang ingin dibahas dan dihasikan dalam Munas.  Hampir semua peserta ingin agar munas tidak dilaksanakan secara daring, tetapi blended.  Sebagian peserta, khususnya peserta inti hadir di suatu tempat, sedangkan lainnya mengikuti secara daring. Oleh karena itu Munas akan dilaksanakan pada akhir Nopember atau awal Desember, dengan harapan pandemic covid-19.

Diantara produk yang dihasilkan dalam rangkaian Munas adalah tiga konsep yang saling terkait, yaitu: (1) konsep pendidikan di era disrupsi yang dipicu oleh kemajuan teknologi, (2) masukan untuk penyempurnaan Undang-undang Sisdiknas, dan (3) peta jalan pendidikan sampai tahun 2045 saaat HUT Kemerdekaan RI ke 100.  Saya katakan ketiganya saling terkait, karena jika konsep pendidikan di era disrupsi dapat dirumuskan dengan baik, itu salah satu titik berangkat saat menyempurnakan UU Sisdiknas dan juga penyusunan peta jalan pendidikan s.d 2045.

Dalam rapat muncul keresahan bahwa akhir-akhir ini pendidikan direduksi sekedar untuk persiapan untuk bekerja.  Memang betul salah satu tujuan anak menempuh pendidikan adalah agar pada saatnya dapat bekerja guna memenuhi kebutuhan hidupnya, namun hidup itu bukan sekedar bekerja.  Sekian tahun lalu, memang Finch dan Crunkilton menyebutkan adanya education for life dan education for earning a living.  Education for life artinya Pendidikan untuk mempersiapkan anak didik agar pada saatnya dapat hidup dengan baik dan Bahagia.  Education for earning a living arahnya untuk menyiapkan anak didik agar dapat memenuhi kebutuhan hidup, katakanlah bekerja.  Karena hidup itu bukan sekedar bekerja atau bekerja hanyalah sebagian dari kehidupan, maka education for earning a living pada dasarnya bagian dari education for life.

Mengapa peserta rapat resah?  Bukankah dalam kurikulum sekolah kita ada matapelajaran Agama, PPKn dan bahkan Pancasila.  Bahkan Kemendikbud punya sebuah pusat yaitu Pusat Pendidikan Karakter yang tentu tugasnya mengembangkan Pendidikan karakter.  Tampaknya keserahan itu dipicu oleh narasi yang selalu muncul dalam wacana mengapa Pendidikan harus disempurnakan, yang selalu menyebut rendahkan prestasi anak-anak dalam PISA, banyaknya pengangguran, perubahan teknologi sehingga Pendidikan dari disesuaikan, dan sebagainya.  Sangat jarang, ada narasi yang menyebut Pendidikan harus disempurnakan karena maraknya korupsi, maraknya penggunaaan narkoba, kenakanan remana dan sejenisnya.  Kenyataan bahwa menyontek sudah menjadi “kebiasaan”anak-anak juga hampir tidak pernah dibahas.

Bahkan seorang teman mengingatkan ungkapan almarhum Prof Sumitro Djojohadikusumo bahwa anggaran negera yang dikorupsi mencapai 30%.  Juga ada peserta yang menyebut, seandainya pembangunan nasional dilaksanakan dengan baik dan tidak ada korupsi, Indonesia sudah akan sekelas dengan Korea Selatan.  Toh dua negara tersebut memperoleh kemerdekaan hanya selang dua hari. Toh sumberdaya alam kita lebih baik dibanding Korea Selatan.  Orang Indonesia juga tidak kalah pandai, buktinya banyak orang Indonesia yang sukses ketika sekolah di luar negeri.  Anak-anak kita juga sering memenangkan olimpiade.

Mendengarkan keluhan tersebut, saya jadi ingat ungkapan Pak Nuh (Prof Muhammad Nuh) saat mengembangkan pedidikan karakter.  Beliau mengatakan kata tukang kebun sekolah tidak jujur, paling banter mencuri alat kebersihan, kalau tata usaha sekolah tidak jujur paling mencuri kertas, coba kalua kepala sekolah tidak jujur, anggaran sekolah bisa dikorupsi.  Makanya kalau tidak ujur sebaliknya jangan pinter-pinter, biar tidak besar daya rusaknya.

Ungkapan tersebut tentu penyederhanaan agar mudah ditangkap.  Pak Nuh selalu menganut faham “and” bukan “or”.  Artinya yang diharapkan ya jujur dan ya pinter, bukan memilih jujur dan tidak perlu pinter.

Karakter tidak hanya jujur atau baik kepada orang lain (being nice), tetapi juga disiplin, taat pada norma dan aturan yang berlaku, kerja keras tanggung jawab dan sebagainya. Apakah hal-hal tersebut belum diajarkan di sekolah?  Jawabnya “sudah”.   Apakah sudah berhasil?  Jawabnya “belum”.  Sayangnya kekurangberhasilan Pendidikan karakter sangat jarang dinarasikan saat membahas Pendidikan kita.  Akibatnya pelaksanaannya di sekolah juga sangat normatif.

Lantas apa yang dilakukan oleh Pusat Pendidikan Karakter Kemendikbud?  Jujur saya tidak tahu.  Saya juga belum pernah mendengar programnya di sekolah.  Ketika Kemendikbud menegembangkan berbagai program baru yang diberi nama Merdeka Belajar, saya juga tidak mendengar adanya penekanan pada aspek karakter dan juga tidak mendengar keterlibatan Pusat Pendidikan Karakter.  Semoga saja itu karena saya yang tidak tahu dan semoga masalah karakter juga mendapat perhatian seperti halnya kebekerjaan

Tidak ada komentar: