Minggu lalu saya ikut rapat SC (Steering Committee) Munas ISPI (Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia). Rapat yang semula dirancang 2 jam, molor sampai hampir 5 jam. Disamping materi yang dibahas ternyata berkembang, juga karena peserta rapat adalah kawan lama yang mungkin saja sudah lama tidak bertemu. Umumnya para dosen senior, hampir semua profesor dan beberapa orang bekas rektor, bahkan ada yang masih menjadi rektor saat ini. Jadi rapat setengah reuni.
Karena rapat SC, intinya membahas
persiapan munas, khususnya kapan Munas akan dilaksanakan, apa yang ingin
dibahas dan dihasikan dalam Munas.
Hampir semua peserta ingin agar munas tidak dilaksanakan secara daring,
tetapi blended. Sebagian peserta,
khususnya peserta inti hadir di suatu tempat, sedangkan lainnya mengikuti
secara daring. Oleh karena itu Munas akan dilaksanakan pada akhir Nopember atau
awal Desember, dengan harapan pandemic covid-19.
Diantara produk yang dihasilkan dalam
rangkaian Munas adalah tiga konsep yang saling terkait, yaitu: (1) konsep
pendidikan di era disrupsi yang dipicu oleh kemajuan teknologi, (2) masukan
untuk penyempurnaan Undang-undang Sisdiknas, dan (3) peta jalan pendidikan
sampai tahun 2045 saaat HUT Kemerdekaan RI ke 100. Saya katakan ketiganya saling terkait, karena
jika konsep pendidikan di era disrupsi dapat dirumuskan dengan baik, itu salah
satu titik berangkat saat menyempurnakan UU Sisdiknas dan juga penyusunan peta
jalan pendidikan s.d 2045.
Dalam rapat muncul keresahan bahwa
akhir-akhir ini pendidikan direduksi sekedar untuk persiapan untuk
bekerja. Memang betul salah satu tujuan
anak menempuh pendidikan adalah agar pada saatnya dapat bekerja guna memenuhi
kebutuhan hidupnya, namun hidup itu bukan sekedar bekerja. Sekian tahun lalu, memang Finch dan
Crunkilton menyebutkan adanya education for life dan education for
earning a living. Education for life
artinya Pendidikan untuk mempersiapkan anak didik agar pada saatnya dapat hidup
dengan baik dan Bahagia. Education
for earning a living arahnya untuk menyiapkan anak didik agar dapat
memenuhi kebutuhan hidup, katakanlah bekerja.
Karena hidup itu bukan sekedar bekerja atau bekerja hanyalah sebagian
dari kehidupan, maka education for earning a living pada dasarnya bagian
dari education for life.
Mengapa peserta rapat resah? Bukankah dalam kurikulum sekolah kita ada
matapelajaran Agama, PPKn dan bahkan Pancasila.
Bahkan Kemendikbud punya sebuah pusat yaitu Pusat Pendidikan Karakter
yang tentu tugasnya mengembangkan Pendidikan karakter. Tampaknya keserahan itu dipicu oleh narasi
yang selalu muncul dalam wacana mengapa Pendidikan harus disempurnakan, yang
selalu menyebut rendahkan prestasi anak-anak dalam PISA, banyaknya pengangguran,
perubahan teknologi sehingga Pendidikan dari disesuaikan, dan sebagainya. Sangat jarang, ada narasi yang menyebut Pendidikan
harus disempurnakan karena maraknya korupsi, maraknya penggunaaan narkoba,
kenakanan remana dan sejenisnya.
Kenyataan bahwa menyontek sudah menjadi “kebiasaan”anak-anak juga hampir
tidak pernah dibahas.
Bahkan seorang teman mengingatkan
ungkapan almarhum Prof Sumitro Djojohadikusumo bahwa anggaran negera yang dikorupsi
mencapai 30%. Juga ada peserta yang
menyebut, seandainya pembangunan nasional dilaksanakan dengan baik dan tidak
ada korupsi, Indonesia sudah akan sekelas dengan Korea Selatan. Toh dua negara tersebut memperoleh
kemerdekaan hanya selang dua hari. Toh sumberdaya alam kita lebih baik dibanding
Korea Selatan. Orang Indonesia juga
tidak kalah pandai, buktinya banyak orang Indonesia yang sukses ketika sekolah
di luar negeri. Anak-anak kita juga
sering memenangkan olimpiade.
Mendengarkan keluhan tersebut, saya jadi
ingat ungkapan Pak Nuh (Prof Muhammad Nuh) saat mengembangkan pedidikan
karakter. Beliau mengatakan kata tukang
kebun sekolah tidak jujur, paling banter mencuri alat kebersihan, kalau tata usaha
sekolah tidak jujur paling mencuri kertas, coba kalua kepala sekolah tidak
jujur, anggaran sekolah bisa dikorupsi. Makanya
kalau tidak ujur sebaliknya jangan pinter-pinter, biar tidak besar daya
rusaknya.
Ungkapan tersebut tentu penyederhanaan
agar mudah ditangkap. Pak Nuh selalu
menganut faham “and” bukan “or”. Artinya
yang diharapkan ya jujur dan ya pinter, bukan memilih jujur dan tidak perlu
pinter.
Karakter tidak hanya jujur atau baik
kepada orang lain (being nice), tetapi juga disiplin, taat pada norma dan
aturan yang berlaku, kerja keras tanggung jawab dan sebagainya. Apakah hal-hal
tersebut belum diajarkan di sekolah?
Jawabnya “sudah”. Apakah sudah berhasil? Jawabnya “belum”. Sayangnya kekurangberhasilan Pendidikan karakter
sangat jarang dinarasikan saat membahas Pendidikan kita. Akibatnya pelaksanaannya di sekolah juga
sangat normatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar