Membaca bahwa masyarakat tidak patuh pada aturan saya menjadi bingung. Konon banyak orang tidak mau memakai masker dengan berbagai alasan. Ada masyarakat yang tetap menggelar pesta walaupun masa PKKM. Kalau yang ngotot berjualan, mungkin itu karena keterpaksaan harus menghidupi anak isteri. Kalau tetap sholat Idul Adha, mungkin itu menjadi keyakinannya. Tetapi yang tidak mau memakai masker, tidak mau memakai helm, tidak mau berhenti walaupun lalu lalu lintas merah, saya kok bingung ya.
Sewaktu kecil dan hidup di kampung,
rasanya masyarakat tidak punya aturan tertulis yang mengikat, tetapi kok patuh
ya. Di dekat rumah keluarga saya ada
segerombolan ikan lele yang hidup di bawah buk (jembatan kecil masuk dari jalan
ke rumah orang). Tidak ada orang yang
berani mengganggu karena diyakini itu “peliharaan yang mbau rekso desa
setempat”. Kita tidak pernah makan
dengan duduk di pintu, karena itu menghalangi rizki bagi keluarga. Tidak akan
masuk ke mushola kalau tidak punya wudhu.
Dan sebagainya dan sebagainya.
Semua itu tidak ada aturan
tertulisnya dan hanya diomongkan orang tua kepada anak-anak. Tetapi memang pada
umumnya orangtua juga mentaati larangan tersebut. Dan biasanya langsung memberitahu jika ada
anak-anak lupa. Saya termasuk yang
sering diingatkan ketika dari bermain terus masuk mushola untuk istirahat dan
“ndelosor”. Biasanya, orangtua yang ada
di sekitar berteriak: “he ambil air wudhu dulu”.
Apakah itu yang disebut nilai-nilai
atau norma kehidupan yang tertanam di masyarakat, sehingga masyarakat merasa
yakin itu harus dilakukan? Jika betul
seperti itu, seperti apa ya proses terbentuknya? Mungkin teman-teman yang
mendalami sosiologi atau psikologi sosial dapat menjelaskan.
Ketika beberapa kali berkunjung ke
rumah Kiki (anak sulung) yang tinggal di Edinburgh, saya menjumpai hal-hal yang
mirip. Tentu wujudnya berbeda. Saya
melihat orang tidak menyeberang jalan karena lampu penyeberangan merah. Pada hal tidak ada satupun mobil atau kendaraan
yang lewat. Karena tempat sampah sudah dipilah menjadi tiga, saya lihat semua
orang memasukkan ke tempat yang sesuai.
Waktu mengunjungi besar di Orkney (pedesaan) saya ingin mencoba menyetir
mobil. Tidak diijinkan karena mobil
mereka hanya boleh disopisi Kiki atau suaminya (Roy). Apakah itu juga suatu nilai-nilai atau norma
kehidupan ya?
Beberapa teman mengatakan, bahwa
ketaatan masyarakat kepada aturan terkait dengan pendidikan. Masyarakat yang terdidik lebih taat aturan
dibanding yang kurang terdidik. Apa
betul ya? Bagaimana dengan contoh di
kampung saya, yang saya sebutkan di atas?
Mengapa masyarakat Surabaya atau kota lainnya, yang pastinya lebih
terdidik dibanding masyarakat di kampung kurang patuh terhadap aturan?
Jika kita menggunakan kerangkan pikir
Lickona bahwa moral itu memiliki tiga level, yaitu moral knowing, moral
feeling dan moral action. Kata
Lickona ketiganya merupakan urutan tetapi tidak otomatis. Orang yang tahun suatu aturan belum tentu
merasa harus mentaati. Orang yang merasa
seharusnya mentaati aturan belum tentu benar-benar melaksanakan.
Apakah masyarakat desa yang lugu itu
tidak banyak pertimbangan saat menerima informasi tentang aturan (moral
knowing), sehingga segera saja merasa harus menjalankan (moral feeling) dan
kemudian benar-benar menjalankan (morak action) ya?. Sementara orang kota banyak pertimbangan,
sehingga meskipun tahu ada aturan masih mikir-mikir utung ruginya jika
melaksanakan? Nah ketika merasa tidak
mendapatkan keuntungan kemudian, tidak melaksanakannya. Apa begitu ya?
Atau seperti kata teman bahwa kita
saat ini dalam periode transisi. Pola
kehidupan lama sudah terlanjut kita tinggalkan, karena silau dengan pola kehidupan
baru. Sementara pola kehidupan baru
belum ditangkap hakekatnya. Yang ketangkap
baru yang “menyenangkan, yg dapat diperoleh secara instan” dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar