Minggu lalu bimbingan saya, Pak Ali
Mustofa-dosen UIN Sunan Ampel Surabaya ujian terbuka di program studi S3 Manajemen
Pendidikan Universitas Negeri Surabaya dan lulus dengan sangat baik. Sayang
waktu kuliahnya melebihi 3,5 tahun, sehingga walaupun IPK-nya sangat tinggi Pak
Ali Mustofa tidak cum laude. Judul
disertasinya Pengaruh Kepemimpinan Instruksional, Inovasi Manajemen, Etos Sekolah
dan Community Engagement terhadap School Improvement pada Madrasah Tsanawiyah
di Jawa Timur.
Menurut saya disertasi Pak Ali
merupakan salah satu disertasi yang sangat baik. Oleh karena itu hampir semua penguji puas dan
memuji disertasi Pak Ali. Bahkan Prof
Ahyak dan UIN Tulungagung sebagai penguji luar mengatakan hasil penelitian disertasi
Pak Ali layak masuk di jurnal internasional bereputasi. Prof. Yatim mengatakan
pembahasan teori sangat bagus dengan mengkaji teori-teori mutakhir dari
jurnal-jurnal terbaru. Saya memuji
kesungguhan Pak Ali karena saat disarankan untuk menganalisis temuan, khususnya
saat beberapa hipotesis tidak terbukti, beliau melakukan dengan sungguh-sungguh.
Kajian kepemimpinan yang dilakukan
Pak Ali Mustofa bertumpu pada teori-teori dari Scheerens dan Hallinger. Memang dalam penelitian kuantitatif, kita
boleh mendasarkan hipotesis pada teori-teori tertentu, asal didukung oleh
argumentasi yang rasional mengapa menggunakan teori itu. Argumen Pak Ali memilih teori dari Scheerens
dan Hallinger dikaitkan dengan perilaku masyarakat madrasah yang sangat paternalis. Menurut saya cukup dapat difahami.
Ketika ujian sudah selesai dan
promovendus dinyatakan lulus sebagai promotor saya diminta memberikan semacam
nasehat kepada doktor baru. Itu tradisi
yang berlaku di Unesa dan juga beberapa universitas lain. Saat mengawali nasehat pendek, saya bertanya
kepada Dr. Ali Mustofa apakah percaya dalam dunia keilmuan ada mazhab-mazhab
seperti dalam keberagamaan. Sebagai dosen
UIN dan doktor pastilah faham tentang itu dan seperti yang saya harapkan Pak
Ali menjawab, percaya. Nasehat saya, ketika
melakukan penelitian kuantitatif dan membangun hipotesis memang seseorang boleh
mengacu kepada “mazhab” tertentu, namun tetap harus ingat ada mazhab yang
lain. Dalam bahasa sederhana, Scheerens
dan Hallinger berada pada mazhab “struktural” yang dalam menjalankan manajemen
mementingkan jalur-jalur struktur dan cenderung ke instruksi secara
hirarkhi. Sementara di ujung lain yang
ada beberapa ahli yang lebih menekankan pada penumbuhan kesadaran dari dalam
yang dilewatkan pada budaya (school culture). Leithwood dan Percy barangkali
termasuk kelompok ini.
Ketika mengajar, maka berbagai “mazhab”
dalam manajemen sekolah harus dibahas secara proposional, sehingga mahasiswa faham
ada teori A, teori B, teori C dan sebagainya.
Termasuk kelebihan dan kekurangannya jika dikaitkan dengan suatu kondisi
tertentu. Biarkan mahasiswa nanti dapat memilah dan memilih ketika akan
menerapkannya, sesuai dengan konteks yang dihadapi. Bukankan teori kepemimpinan situasional mengajarkan
itu. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar