Jumat, 16 Juli 2021

Menyongsong Era Sekolah Digital

Pada bulan Mei lalu saya memuat tulisan pendek berjudul “Selamat Datang Education 6.0” yang merupakan pemahaman saya berdiskusi dengan Pak Abdulkadir Baradja, pendiri Sekolah Al Himah.  Al Hikmah akan merekonstruksi ulang pola pendidikannya, khususnya di SMA dengan mengadopsi blended learning dan project based learning.  Sebagaimana diketahui Al Hikmah sudah memiliki Al Hikmah Boarding School di daerah Batu Malang, yang bukan sekedar sekolah berasrama tetapi mengembangkan minat dan bakat anak secara maksimal. Menurut Pak Edy Kuncoro - kepala sekolahnya – sejak awal anak-anak diidentifikasi bakat dan minatnya, kemudian apa yang dipelajari dikaitkan dengan bakat dan minat tersebut.  Tidak terbatas pada teori untuk memahami problem dan modelling pemecahan masalah di sekolah, tetapi juga belajar langsung kepada ahlinya di lapangan.


Ternyata gagasan semacam itu juga berkembang di tempat lain.  Baru-baru ini di WAG yang saya ikut, muncul stiker atau gambar tentang Sekolah Virtual Nusantara Cemerlang dan tawaran Pesoda Edu Academy tentang Pembelajaran Online.  Dugaan bahwa pandemi covid-19 akan mempercepat kelahiran “sekolah digital” mulai menjadi kenyataan.  Pengalaman mengikuti pembelajaran online selama lebih satu tahun lebih tampaknya meyakinkan para siswa dan orangtuanya bahwa pembelajaran online dapat berfungsi, walaupun banyak kendala.  Kalangan pendidikan juga mulai menyadari bahwa pembelajaran online dapat menjadi salam satu moda dalam proses pendidikan.  Bahkan kalangan pebisnis juga mulai meliriknya sebagai bisnis layanan sosial yang menjanjikan.  Apalagi jika melihat captive market di Indonesia.

Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana siswa dapat belajar secara optimal.  Beberapa pertanyaan memerlukan jawaban.  Apakah pembelajaran online dapat sepenuhnya menggantikan pembelajaran tatap muka?  Jika diyakini pembelajaran online dapat menggantikan pembelajaran tatap muka untuk ranah kognitif, bagaimana dengan ranah afektif yang juga sangat penting untuk pengembangan karakter/akhlak dan juga ranah psikomotor yang sangat penting untuk beberapa matapelajaran.  Jika ternyata pembelajaran online belum sepenuhnya dapat menggantikan pembelajaran tatap muka, bagaimana memadukan keduanya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas memerlukan jawaban yang jujur dan sangat mungkin tidak dapat dijawab secara instan saat ini.  Sepanjang yang saya tahu dan baca, belum ada sekolah formal (SD s.d. SLTA) yang berpengalaman menggunakan pembelajaran online secara penuh.  Kemdikbud pernah punya program SMP Terbuka, tetapi itu dengan format yang berbeda.  Program itu diperuntukkan bagi siswa yang bertempat tinggal di daerah terpencil sehingga tidak dapat setiap hari ke sekolah.  Mereka terdaftar di SMP Induk, tetapi sehari-hari belajar di tempat tinggalnya dengan dibimbing oleh instruktut setempat.  Sesekali mereka belajar di SMP Induk, misalnya seminggu sekali.  Jadi walaupun Namanya SMP Terbuka, tetapi pembelajarannya tatap muka.

Kita memang punya Universitas Terbuka (UT), namun itu di tingkat universitas yang asumsinya mahasiswa sudah dewasa dan faham bagaimana cara belajar bagi dirinya.  Itupun masih dibantu tutorial yang prakteknya seperti kuliah tatap muka oleh dosen/instruktur yan biasanya diambil dari dosen daerah setempat.  Saya tidak tahu persis, apakah di negara lain sudah ada sekolah (sampai setaraf SMA) yang menerapkan pembelajaran online secara penuh. Dalam buku 21st Century Skills tulisan Bernie Tilling dan Thoma Fadel menunjukkan pola pembelajaran di The Napa New Tech High School ditunjukkan bagaimana sekolah tersebut menerapkan project based learning dengan memanfaatkan informasi di e-library dan dunia internet, tetapi siswa hadir di sekolah untuk mengerjakan proyek tersebut.  Guru mendampingi sebagai fasilitator.

Belum ada atau belum pernah, bukan berarti tidak bisa.  Dengan perkembangan teknologi, misalnya teknologi virtual reality (VR), augmented reality (AR) dan sebagainya bukan tidak mungkin dikembangkan berbagai wahana belajar yang menyerupai keadaan yang sebenarnya.  Namun demikian, yang ingin dipesankan dalam tulisan pendek ini “kita tidak boleh coba-coba dalam pendidikan”, kita tidak boleh menjadikan siswa sebagai “kelinci percobaan”.  Pendidikan itu sifatnya irreversible, tidak dapat dikembalikan.  Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang komprehensif sebelum diterapkan secara massif.  Tentu diperlukan enersi dan dana yang cukup besar, sehingga sebaiknya pemerintah mendukung adanya upaya mengembangkan penelitian seperti itu.  Mari kita songsong sekolah digital, mari kita songsong pendidikan 6.0, yang dikembangkan oleh anak-anak bangsa.

Tidak ada komentar: