Pada bulan Mei lalu saya memuat tulisan pendek berjudul “Selamat Datang Education 6.0” yang merupakan pemahaman saya berdiskusi dengan Pak Abdulkadir Baradja, pendiri Sekolah Al Himah. Al Hikmah akan merekonstruksi ulang pola pendidikannya, khususnya di SMA dengan mengadopsi blended learning dan project based learning. Sebagaimana diketahui Al Hikmah sudah memiliki Al Hikmah Boarding School di daerah Batu Malang, yang bukan sekedar sekolah berasrama tetapi mengembangkan minat dan bakat anak secara maksimal. Menurut Pak Edy Kuncoro - kepala sekolahnya – sejak awal anak-anak diidentifikasi bakat dan minatnya, kemudian apa yang dipelajari dikaitkan dengan bakat dan minat tersebut. Tidak terbatas pada teori untuk memahami problem dan modelling pemecahan masalah di sekolah, tetapi juga belajar langsung kepada ahlinya di lapangan.
Ternyata gagasan semacam itu juga berkembang di tempat lain. Baru-baru ini di WAG yang saya ikut, muncul stiker atau gambar tentang Sekolah Virtual Nusantara Cemerlang dan tawaran Pesoda Edu Academy tentang Pembelajaran Online. Dugaan bahwa pandemi covid-19 akan mempercepat kelahiran “sekolah digital” mulai menjadi kenyataan. Pengalaman mengikuti pembelajaran online selama lebih satu tahun lebih tampaknya meyakinkan para siswa dan orangtuanya bahwa pembelajaran online dapat berfungsi, walaupun banyak kendala. Kalangan pendidikan juga mulai menyadari bahwa pembelajaran online dapat menjadi salam satu moda dalam proses pendidikan. Bahkan kalangan pebisnis juga mulai meliriknya sebagai bisnis layanan sosial yang menjanjikan. Apalagi jika melihat captive market di Indonesia.
Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana siswa dapat belajar secara
optimal. Beberapa pertanyaan memerlukan
jawaban. Apakah pembelajaran online dapat
sepenuhnya menggantikan pembelajaran tatap muka? Jika diyakini pembelajaran online dapat
menggantikan pembelajaran tatap muka untuk ranah kognitif, bagaimana dengan
ranah afektif yang juga sangat penting untuk pengembangan karakter/akhlak dan
juga ranah psikomotor yang sangat penting untuk beberapa matapelajaran. Jika ternyata pembelajaran online belum
sepenuhnya dapat menggantikan pembelajaran tatap muka, bagaimana memadukan
keduanya.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas memerlukan jawaban yang jujur dan
sangat mungkin tidak dapat dijawab secara instan saat ini. Sepanjang yang saya tahu dan baca, belum ada
sekolah formal (SD s.d. SLTA) yang berpengalaman menggunakan pembelajaran
online secara penuh. Kemdikbud pernah
punya program SMP Terbuka, tetapi itu dengan format yang berbeda. Program itu diperuntukkan bagi siswa yang
bertempat tinggal di daerah terpencil sehingga tidak dapat setiap hari ke
sekolah. Mereka terdaftar di SMP Induk,
tetapi sehari-hari belajar di tempat tinggalnya dengan dibimbing oleh instruktut
setempat. Sesekali mereka belajar di SMP
Induk, misalnya seminggu sekali. Jadi
walaupun Namanya SMP Terbuka, tetapi pembelajarannya tatap muka.
Kita memang punya Universitas Terbuka (UT), namun itu di tingkat
universitas yang asumsinya mahasiswa sudah dewasa dan faham bagaimana cara belajar
bagi dirinya. Itupun masih dibantu tutorial
yang prakteknya seperti kuliah tatap muka oleh dosen/instruktur yan biasanya
diambil dari dosen daerah setempat. Saya
tidak tahu persis, apakah di negara lain sudah ada sekolah (sampai setaraf SMA)
yang menerapkan pembelajaran online secara penuh. Dalam buku 21st
Century Skills tulisan Bernie Tilling dan Thoma Fadel menunjukkan pola
pembelajaran di The Napa New Tech High School ditunjukkan bagaimana sekolah
tersebut menerapkan project based learning dengan memanfaatkan informasi di
e-library dan dunia internet, tetapi siswa hadir di sekolah untuk mengerjakan
proyek tersebut. Guru mendampingi
sebagai fasilitator.
Belum ada atau belum pernah, bukan berarti tidak bisa. Dengan perkembangan teknologi, misalnya teknologi
virtual reality (VR), augmented reality (AR) dan sebagainya bukan tidak mungkin
dikembangkan berbagai wahana belajar yang menyerupai keadaan yang sebenarnya. Namun demikian, yang ingin dipesankan dalam tulisan
pendek ini “kita tidak boleh coba-coba dalam pendidikan”, kita tidak boleh
menjadikan siswa sebagai “kelinci percobaan”.
Pendidikan itu sifatnya irreversible, tidak dapat dikembalikan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
yang komprehensif sebelum diterapkan secara massif. Tentu diperlukan enersi dan dana yang cukup
besar, sehingga sebaiknya pemerintah mendukung adanya upaya mengembangkan penelitian
seperti itu. Mari kita songsong sekolah
digital, mari kita songsong pendidikan 6.0, yang dikembangkan oleh anak-anak bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar