Menjelang liburan Idul
Fitri saya mendapat kiriman buku berjudul “Finnish Lessons: Mengajar Lebih
Sedikit, Belajar Lebih Banyak ala Finlandia”, yang ditulis oleh Pasi Sahlberg
dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ahmad Muchlis. Buku aslinya diterbitkan oleh Teachers
College, Colombia University dan terjemahannya diterbitkan oleh Penerbit
Kaifa. Pasi Shahlberg adalah orang
Finlandia yang pernah menjad guru dan akhirnya menjadi Direktur Jenderal Pusat
Mobilitas dan Kerjsama Internasional pada Kementerian Pendidikan di Finlandia, pernah
menjadi staf World Bank dan sekarang menjadi profesor praktik di Universitas
Harvard. Identitas penulis dan penerbit
seakan menjadi garansi bahwa isi buku tersebut bagus. Dan memang betul-betul bagus.
Walaupun sudah lama
diketahui bahwa Finlandia merupakan negara dengan mutu pendidikan bagus dan
dikenal memiliki guru hebat-hebat dengan yang sangat besar, tetapi baru dari
buku ini saya menjadi faham bagaimana Finlandia mengelola pendidikan sehingga
bermutu bagus. Itu yang ingin saya
berbagai dengan rekan-rekan pembaca.
Sampai tahun 1970an
mutu pendidikan di Finlandia biasa-biasa saja.
Pada tahun 1966 terbit undang-undang baru tentang pendidikan dan sejak
itu disusun kurikulum baru yang kemudian disebut Kurikulum 1970. Inti dari sistem pendidikan baru itu apa yang
disebut “peruskoulu”, yaitu Sekolah Dasar Terpadu Sembilan Tahun dan Kurikulum
1970 yang diterapkan pada tahun 1972.
Tampaknya Finlandia ingin hati-hati, sehingga penyiapan restrukturisasi
pendidikan dan penyusunan kurikulum baru memerlukan waktu lebih dari lima
tahun.
Kalau kita cermati
struktur persekolahan di Finlandia mirip dengan di Indonesia. Dimulai dengan
Sekolah Dasar Terpadu selama 9 tahun (mirip pendidikan dasar kita, SD+SMP
tetapi dalam satu kesatuan), dilanjutkan dengan sekolah menengah yang terdiri
dari Sekolah Memengah Atas Umum dan Sekolah Menengah Atas Kejuruan selama 3
tahun. Khusus untuk SMAK ada yang hanya
2 tahun dan lulusannya langsung masuk dunia kerja. Setelah itu ada universitas dan
lembaga-lembaga kejuruan.
Menurut Sahlberg ada
tiga prinsip pembaharuan dalam sistem pendidikan baru Finlandia. Pertama, penerapan secara konsisten
prinsip berkesempatan sama (equal opportunity principle). Semua siswa harus mendapat peluang untuk
berhasil dalam belajar. Oleh karena itu
guru harus mengembangkan pola pembelajaran yang memberi peluang semua siswa
berhasil dalam belajar. Dan karena latar
belakang siswa bervariasi maka kurikulum berdeferensiasi menjadi sebuah
keniscayaan.
Sebenarnya pada tahun
1990an Indonesia pernah membahas kurikulum berdeferensiasi. Prof Conny Semiawan adalah salah satu tokoh
yang saat itu mendorong penggunaannya.
Namun entah mengapa konsep itu tidak terwujud, baik Kurikulum 1994
maupun Kurikulum 2004. Tampaknya juga
belum terakomodasi pada Kurikulum 2013. Kalau toh terwujud terbatas untuk Sekolah Luar
Biasa.
Kedua, penerapan bimbingan karier dan konseling secara intensif, untuk memandu
siswa dalam memilih masa depan setelah mereka menyelesaikan pendidikan
dasar. Di Sekolah Dasar Terpadu, 4 tahun
pertama siswa mendapat materi yang sama. Tahun ke-5 dan 6 siswa dapat memilih
pelajaran-pelajaran praktis atu bahasa asing.
Pada tahun ke-7 sampai 9, siswa dapat memilih orientasi kejuruan praktis,
kelas rata-rata dengan satu bahasa asing, atau jurusan lanjut dengan 2 bahasa
asing. Guru Bimbingan Konseling berperan
sangat besar dalam memandu siswa memilih orientasi, mulia dari tahun ke-5.
Ketiga, dan ini yang menurut saya paling pokok adalah penyiapan dan “pembinaan”
guru yang sangat bagus. Penerapan
kurikulum berdiferensiasi tentu memerlukan guru yang kompeten, berkomitmen
tinggi serta memiliki “ruang gerak untuk berinovasi”. Begitu petingnya peran guru, Sahlberg membahasnya
dalam satu bab tersendiri dengan judul “Keunggulan Finlandia: Guru-guru”. Pada hal buku itu hanya terdiri dari 5 bab.
Orang Finlandia memandang
guru sebagai profesi prestisiun dan mulia, sejajar denga dokter, pengacara dan
ekonom, lebih karena alasan moral daripada ombalan materi atau karier. Sebuah jajak pendapat menunjukkan bahwa pria
Finlandia memilih seorang guru sebagai pasangan yang laing disukai, sementara
wanita Finlandia menunjuk hanya dokter dan dokter hewan, sebagai profesi ideal
di atas guru. Oleh karena itu pelamar
masuk pendidikan guru sangat banyak.
Pada tahun 2011-2012 sekitar 2.400 pelamar memperbutkan 120 kursi pendidikan
guru sekolah dasar.
Mengapa anak muda
Finlandia tertarik menjadi guru? Menurut
Sahlberg ada tiga alasan. Pertama, profesi guru memberi ruang
mewujudkan asprirasi moral. Maksudnya, sekolah di Finlandia dipandang sebagai
komunitas profesional, sehingga guru memiliki otonomi yang sangat luas dalam
bekerja. Guru-guru di Finlandia menuntut
agar mereka memperoleh otonomi professional, prestise, kehormatan dan
kepercayaan dalam pekerjaan mereka.
Kedua, pendidikan guru yang kompetitif justru menyebabkan anak muda berbakat tertarik. Persingan masuk yang ketat, pola pendidikan
guru dengan tuntutan tinggi, setara dengan pendidikan akademik di universitas, justru
menantang bagi anak-anak muda Finlandia.
Apalagi untuk menjadi guru harus menempuh pendidikan master dan itu
setara dengan master pada bidang lain.
Dengan gelar itu mereka juga berhak untuk melanjutkan ke jenjang dokotal.
Pendidikan guru di
Finlandia berbasis riset, yaitu integrasi antara sistem pendidikan ilmiah,
didaktik dan praktek. Landasan akademik
diperlukan untuk memberi bekal pengetahuan ilmiah serta proses berpikir untuk
merancang dan melaksanakan suatu penelitian.
Bekal itu yang kemudian diterapkan dalam praktek didaktik. Dengan cara itu, mahasiswa calon guru belajar
pemikiran pedagogik dan mengambil keputusan profesional berdasarkan data-data,
serta terlibat aktif dalam komunitas profesional.
Ketiga, memang penghasilan memang bukan merupakan motivasi utama orang
Finlandia memilih profesi guru. Namun
gaji guru di Finlandia memang sedikit lebih banyak disbanding rata-rata gaji
secara nasional. Di samping itu ada
kenaikan gaji secara berkala berdasarkan pengalaman mengajar mereka.
Begitu pentingnya
posisi guru dalam pendidikan, di Finlandia ada ungkapan guru bagus sekolah akan
hebat. Artinya jika guru-gurunya bagus,
maka sekolahnya akan hebat. Lantas, apa
bukan karena kepemimpinan sekolah? Betul
juga. Namun di Finlandia kepala sekolah
haruslah berasal dari guru yang hebat dan kepala sekolah harus layak menjadi
contoh dalam mengajar. Jadi kepala
sekolah adalah guru yang hebat dan punya kemampuan manajerial yang bagus pula.
Dengan jaminan bahwa
guru-guruyang hebat, maka Finladia menempuh jalan yang berbeda dengan negara
lain dalam pengelolaan pendidikan. Sahlberg menyebutnya sebagai paradoks, yang
walupun tidak dapat begitu saja diterapkan di tempat lain, perlu juga
dipelajari.
Paradoks 1, adalah sedikit mengajar, belajar lebih banyak. Dibanding negara-negara lain, jam belajar di
sekolah Finlandia disbanding negara lain.
Demikian pula jam mengajar guru.
Sepulang sekolah anak-anak didorong untuk aktif di berbagai kegiatan
kepemudaan, klub-klub olahraga dan rekreasi.
Guru Finlandia juga tidak memberikan PR yang terlalu banyak, karena PR
yang berlifat drill dianggap kurang baik. PR yang diberikan yang bersifat
menantang berpikir siswa. Dalam
pembelajaran di sekolah maupun penugasan diarahkan untuk merangsang anak
berpikir kritis dan kreatif.
Paradoks 2, sedikit ujian, belajar lebih banyak.
Berbeda dengan negara lain yang memberikan treatment eksternal dalam
evaluasi, sekolah di Finlandia menekankan kepada profesionalisme guru,
kurikulum berbasis sekolah, kepemimpinan pendidikan berbasis kepercayaan dan
kolaborasi sekolah melalui jejaring.
Walaupun tidak ada evaluasi yang bersifat eksternal, di Finlandia
dikenal ada 3 jenis asesmen. Pertama,
asesmen oleh guru di kelas, termasuk diagnostic, formatif dan sumatif. Ini dipercayakan sepenuhnya kepada guru yang
telah dipersiapkan dengan baik sejak dalam pendidikan pra jabatan.
Kedua, evaluasi
menyeluruh terhadap kemajuan siswa setiap akhir semester. Setiap akhir semester, siswa menerima rapor
yang menggambarkan kinerja mereka baik dari aspek akademik maupu non akademik. Kriteria rapor diserahkan kepada guru dan
sekolah. Namun profesionalisme yang
sudah tertanam baik pada guru, membuat rapor tersebut benar-benar menggambarkan
kinerja siswa.
Ketiga, Finlandia
memiliki evaluasi eksternal tetapi dengan metodologi sampel, yang mengambil
sekitar 10% populasi dan difokuskan untuh mengetahui kemajuan belajar
anak-anak, dibandingkan dengan sekolah lain maupun standar nasional yang
ditetapkan.
Paradoks 4, lebih berkeadilan dengan menumbuhkan keragaman.
Dengan menyediakan kurikulum berdiferensiasi, sesuai dengan karakteristik
siswa, diyakini dapat memberikan keadilan bagi mereka. Maksudnya setiap anak mendapatkan layanan dan
bimbingan belajar sesuai dengan apa yang diperlukan. Jadi berkeadilan tidak berarti persamaan,
tertapi pemberian layanan yang sesuai dengan yang diperlukan.
Pelajaran apa yang
dapat dipetik dari buku tersebut?
Menurut saya, “kalau ingin pendidikan maju, maka guru harus dipersiapkan
dengan baik, diberi otonomi untuk berinovasi dalam bekerja dan mendapatkan
imbalan yang baik pula”. Bukankah itu
makna dasar profesioalime, yaitu well
educated, highly performance dan well
paid. Finlandia dapat menerapkan
berbagai paradoks karena guru yang professional. Semoga kita dapat belajar dari pengalaman
Finlandia. Bagi yang ingin mendapat
infomasi lebih lanjut, disilahkan membaca buku yang bagus itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar