Di
block ini saya pernah memuat tulisan pendek dengan judul Bom Waktu LPTK. Seingat saya tulisan itu saya buat setelah
saya menghadiri undangan Bappenas untuk membahas RPJMN (Rencana Pembangua
Jangka Menengah Nasional 2015-2019) pada bulan Januari 2014. Waktu itu saya
risau dengan jumlah LPTK (Lembaga Pendidikan Tinggi Kependidikan) yang naik
secara signifikan. Ketika guru
mendapatkan tunjangan profesi, kemudian minat masuk ke LPTK meningkat
tajam. Berikutnya banyak orang
mendirikan LPTK, sementara LPTK yang sudah ada meningkatkan jumlah mahasiswa
baru. Akibatnya mahasiswa LPTK meningkat
tajam dan akan terjadi over supply calon guru.
Bayangkan,
Pak Abi Sujak-Sekretaris Badan yang secara khusus ditugasi mengurus guru,
menjelaskan menurut data Kemdikbud saat itu jumlah LPTK 429 buah dengan
mahasiswa sebanyak 1.440.770 orang, sehingga diperkirakan setiap tahun lulus
300.000 sarjana pendidikan baru. Pada
hal, menurut teman di Kemdikbud kebutuhan guru baru hanya 40.000an orang per
tahun. Berarti setiap tahun terjadi
kelebihan suplai guru sebanyak 260.000 orang.
Bukankah itu potensi pengangguran yang sangat merisaukan.
Tanggal
28-29 Juni 2014 saya diundang oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan)
untuk mereview draft Standar Nasional Pendidikan Pendidik dan Tenaga
Kependidikan. Prof. Haris yang menjadi
Ketua Tim Ad Hoc penyusun draft tersebut menjelaskan bahwa pada awalnya yang
ingin disusun adalah standar kelembagaan LPTK untuk menjaga mutu lulusan. Mudahnya, untuk menjaga mutu dan jumlah
lulusan LPTK. Namun dalam
perkembangannya, yang disusun bergeser menjadi standar program. Mungkin dengan standar program, nanti dapat
ditentukan standar lembaga yang cocok (baca: mampu) untuk melaksanakan.
Tampaknya
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai khawatir dengan menjamurnya LPTK
yang seakan tak terkendali. Oleh karena
itu disusun standar yang diharapkan dapat mengendalikannya. Tentu maksudnya baik, agar tidak terjadi
lulusan LPTK yang tidak memenuhi standar minimal dan juga agar tidak terjadi
pengangguran lulusan LPTK secara massif akibat njompangnya supply-demand guru. Sebenarnya
agak terlambat, tetapi lebih baik terlambat dari pada tidak dilakukan
apa-apa.
Menutup
perguruan tinggi merupakan seuatu yang tidak mudah di Indonesia. Seringkali keinginan seperti itu menjadi
problem sosial bahkan menyerempet ke hal-hal yang berbau politis. Sewaktu
baru menjadi Direktur Ketenagaan, saya dihadapkan masalah STKIP di Kabupaten
Alor. STKIP itu sudah beroperasi dua
tahun tetapi belum mendapatkan ijin program studinya. Mahasiswa bergolak, takut kalau sampai
saatnya lulus ijin belum keluar, sehingga tidak dapat lulus.
Data
yang ada di Dikti menunjukkan bahwa persyaratan untuk pendirian prodi belum memenuhi
syarat. Terjadilah dilema, akan diberi
ijin tidak memenuhi syarat. Tidak diberi
ijin mahasiswa berdemo dan menjadi problema sosial. Akhirnya diputuskan, mahasiswa yang sudah
terlanjur kuliah ditransfer ke Universitas Nusa Cendana, sementara SKIP
tersebut dibekukan dan tidak boleh menerima mahasiswa baru, sampai ijin
diperoleh. Prof. Frans Umbu Data, Rektor
Undana sungguh berjasa, karena mau menerina limpahan mahasiswa PGSD dari STKIP
di Alor tersebut. Seandainya Undana
tidak dapat menerima limpahan mahasiswa tersebut mungkin masalah akan
berkepanjangan.
Dalam
tahap diskusi bersama antara BSNP, Tim Ad Hoc dan rivewer diinformasikan bahwa
judl draft diubah menjadi Standar Nasional Pendidikan Guru (SNPG). Dengan demikian arahnya sudah lebih
jelas. Karena LPTK sebagai lembaga
penghasil guru juga merupakan perguruan tinggi, maka SNPG besuknya merupakan
kelengkapan daru SNPT (Standar Nasional Pendidikan Tinggi) yang sudah menjadi
Permendikbud. Jadi hanya memuat hal-hal
yang belum tercakup dalam SNPT.
Yang
terbayang dibenak saya adalah bagaimana penerapan SNPG besuk. Jika ada (dan dugaan saya banyak) LPTK yang
tidak memenuhi SNPG apakah harus ditutup?
Sebaliknya jika banyak LPTK yang memenuhi SNPG sehingga terjadi over
supply guru apa dibiarkan saja? Itulah
sebabnya dalam forum itu saya mengusulkan menganggap pendidikan guru sebagai
bentuk pendidikan kedinasan. Toh pendidikan
guru dilaksanakan oleh Kemdikbud dan hasilnya digunakan oleh Kemdikbud. Jadi
mirip dengan pendidikan di AMN yang dilaksanakan oleh TNI AD dan hasilnya
digunakan oleh TNI AD. Juga mirip dengan
pendidikan di STPDN yang dilaksanakan oleh Kemdagri dan hasilnya digunakan oleh
Kemdagri.
Menurut
UU No. 14/2005, guru haruslah lulusan S1/D4 ditambah Pendidikan Profesi Guru
(PPG). Nah kita perlu merumuskan, mana yang disebut pendidikan guru. Apakah sejak dari S1/D4 sampai PPG atau hanya
PPG-nya saja. Menurut saya lebih bijak
jika yang disebut pendidikan guru adalah PPG-nya. Program akademik di S1 tidak termasuk di
dalamnya. Mengapa? Pertama,
program S1 adalah program akademik dan belum tentu semua pesertanya menjadi
guru. Sangat mungkin ada orang yang
ingin belajar tentang pendidikan, tetapi tidak ingin menjadi guru. Misalnya ibu-ibu muda yang ingin pandai
mendidik anaknya. Melarang mereka masuk
LPTK dapat dimaknai melanggar hak asasi.
Apakah
dengan pola itu, seakan-akan pendidikan guru harus konsekutif, program S1
dipisah dengan PPG? Di negara maju,
memang ada pola konkuren (S1 dan PPG menyatu), tetapi juga ada pola konsekutif. Undang-undang No. 14/2005 menyebut bahwa
pola yang digunakan di Indonesia adalah konskutif. Bukan tidak mungkin mengembangkan pola
konkuren, tetapi tentu hanya untuk program-program khusus. Setahu saya, sekarang juga sudah ada inisiasi
PPG Terintegrasi dengan pola konkuren untuk calon guru dari daerah terpencil.
Kedua, dengan pola ini yang perlu yang perlu dikendalikan dengan ketat
adalah PPG, sedangkan S1 LPTK dapat lebih longgar. Mengapa demikian? Biarlah program S1 Kependidikan di LPTK
berjalan sebagaimana biasanya, dengan pengertian lulusannya adalah sarjana
pendidikan yang belum tentu menjadi guru.
Mirip lulusan S1 Farmasi yang belum tentu menjadi apoteker atau lulusan
S1 Hukum yang belum tentu menjadi hakim, jaksa, notaris dan pengacara.
PPG
yang harus dikendalikan , baik jumlah maupun mutunya agar mampu menghasilkan
calon guru dalam jumlah, jenis dan mutu yang sesuai dengan kebutuhan. Toh, UU no, 14.2005 mengamanatkan pemerintah
mengembangkan pola pendidikan guru berikatan dinas dan berasrama untuk menjamin
efisiensi dan mutu pendidikan. Jadi yang
diasrama dan diberi ikatan dinas, hanya mahasiswa PPG karena mereka memang
dididik untuk menjadi guru.
Dengan
pola itu berarti hanya LPTK yang memenuhi syarat dan jumlah tertentu yang
diberi ijin melaksanakan PPG, tetapi mereka tetap dapat melanjutkan program S1. Tentu ada kemungkinan minat masuk ke LPTK
yang tidak memiliki PPG akan menurun.
Pengelola LPTK mungkin akan risau karena sudah terlanjur memiliki dosen
dan sarana lainnya. Pada kasus seperti
ini perlu dicarikan solusi, termasuk LPTK yang memiliki PPG tetapi harus
mengurangi jumlah mahasiswa Kependidikan.
Salah satu cara adalah memberikan ijin prodi non Kependidikan yang
senafas. Misalnya memberikan ijin prodik
Matematika (murni) bagi LPTK yang memiliki prodi Pendidikan Matematika. Asumsinya lapangan lulusan S1 Matematika
tidak menjadi guru.
Jika
ijin prodi non Kependidikan itu diberikan, mahasiswa dapat didorong untuk
menempuh program gelar ganda (double degree).
Misalnya menempuh S1 Pendidikan Akutansi dan S1 Akutansi (murni). Setelah lulus mereka dapat memilih akan
menjadi guru atau bekerja sebagai akuntan.
Untuk prodi Kependidikan yang tidak memiliki padanan murni, misalnya S1
PGSD dan sejenisnya perlu dicarikan prodi non Kependidikan yang terdekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar