Tanggal 12 Mei 2016
saya berkesempatan melihat para dosen peserta pelatihan pembelajaran yang
dilaksanakan USAID Prioritas berpraktek mengajar di UPI Bandung dan UIN Sunan
Gunung Jati Bandung. Peserta berasal
dari FKIP Unsyah, FTK UIN Ar Raniri, Unimed, UIN Sumatra Utara, Untirta, IAIN Banten, UPI, UIN Sunan Gunung Jati,
UNNES, UIN Walisongo, UNY, UNESA, UIN Sunan Ampel, UM, UNM dan UIN Allaudin.
Baru kali ini saya
melihat pelatihan/praktek pembelajaran di perguruan tinggi. Yang sering saya lihat praktek mengajarnya di
sekolah, walaupun pesertanya dosen.
Lebih menariknya, para dosen praktek mengajar sesuai dengan bidang studi
yang diajarkan dan kepada mahasiswa yang biasa mengikuti matakuliah itu. Jadi dosen yang praktek mengajar, memberi
kuliah sesuai dengan jadwal kuliah dan materi perkuliahan yang seharus dibahas
pada hari itu. Dengan demikian setting-nya
sangat mirip dengan yang sebenarnya.
Mungkin karena
pelatihan, maka proses pembelajaran berjalan cukup ideal dengan pengajar 2
orang yang sinergis. Kedua pengajar itu
saling bergantian mengendalikan kelas.
Satu orang menerangkan atau mengatur jalannya perkuliahan, sementara
pengajar yang lain membantu mahasiswa yang kesulitan dan sebagainya. Dosen pengajar itu membawa berbagai alat
peraga dan perlengkapan lain untuk memaksimalkan proses belajar.
Mencermati proses
tersebut dalam hati saya bertanya-tanya, apakah pembelajaran seperti itu dapat
dilaksanakan dalam situasi sehari-hari?
Maksudnya apakah dosen dapat menerapkan seperti apa yang dilaksanakan
ketika praktek mengajar itu? Apakah
memang akan dua orang dosen yang selalu hadir bersamaan ketika memberi
kuliah? Apakah memang ada fasilitas
untuk mengadakan alat peraga dan sebagainya.
Mengapa saya berpikir
seperti itu? Seingat saya banyak skripsi
mahasiswa S1 dan tesis mahasiswa S2 yang mengembangkan model pembelajaran yang
diyakini baik. Biasanya model yang dikembangkan diuji melalui eksperimen dan
hasilnya selalu baik. Siswa yang diajar
dengan model itu capaian belajarnya lebih baik dibanding dengan siswa yang
diajar dengan model “biasa”.
Apakah mahasiswa S2 itu
menerapkan model yang dikembangkan ketika mengajar di sekolah atau memberi
kuliah di kampus? Wawancara saya dengan
beberapa diantara mereka mengatakan tidak, dengan macam-macam alasan. Namun yang paling banyak disebutkan adalah tidak
ada dukungan fasilitas untuk membuat bahan ajar, lembar kerja, alat peraga dan
sebagainya. Juga guru mengajar 24 jam
per minggu sehingga tidak punya waktu cukup untuk menyiapkan ini dan itu. Alasan serupa juga disampaikan oleh dosen.
Mendapatkan jawaban
itu saya menjadi ingat berbagai inovasi yang dikembangkan oleh Kemdikbud. Seingat saya kita pernah ada proyek CBSA
(cara belajar siswa aktif). Ketika masih
berupa proyek berjalan dengan baik, namun ketika proyek itu selesai,
seakan-akan semua selesai dan sekolah kembali seperti semula. Kita juga pernah punya proyek CTL (contextual
teaching and learning). Ketika proyeknya
masih ada inovasi itu berjalan dengan baik, namun ketika proyeknya selesai seakan-akan
semua juga selesai dan sekolah kembali seperti semula. Kita juga pernah
mengadopsi RME (Realistic Mathematics Education) menjadi Pendidikan Matematika
Realistik. Pada dosen mengadopsi itu dan
ditatarkan kepada guru. Sayang menurut
cerita, pada dosen yang menjadi penatar itu tidak menerapkan PMR ketika member
kuliah di perguruan tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar