Dihimpit kehidupan
yang serba sulit seorang petani kecil sepertinya setengah putus asa. Kala itu kehidupan petani memang sangat
sulit, apalagi petani kecil dengan luasan sawah yang sangat terbatas. Hama tikus yang merusak tanaman padi seakan
memutus asanya. Tempat tinggalnya yang
jauh di pelosok desa juga membuat dia sulit untuk mencari alternatif pekerjaan
untuk mencari tambahan nafkar bagi keluarganya.
Dengan pendidikan Ongko Loro, sekolah desa jaman Belanda yang hanya dua
tahun, tentulah pengetahuannya juga sangat terbatas, sehingga satu-satunya
pekerjaan yang difahami hanyalah bertani, menanam ini dan itu di sawah dan
tegalannya yang serba sedikit itu.
Ketika musim kemarau
datang, irigasi dibuat bergilir. Setiap
desa mendapatkan jatah aliran air satu hari dalam seminggu. Saluran tersier yang ada di dekat tegalan
petani itu mendapat aliran dua kali dalam satu minggu, karena merupakan saluran
tersier untuk dua desa. Memanfaatkan
sisa air yang ada di kedungan kecil dekat tegalannya petani kecil itu mencoba
menanam cabe, dengan harapan dapat menjual ketika sudah berbuah. Menggunakan ebor, yaitu semacam timba dari
anyaman tapas kelapa yang diberi tangkai batang bambu, air di kedungan itu
digunakan untuk menyirami tanaman cabe yang hanya sekitar 120 batang.
Peng-ebor-an dilakukan
setiap sore. Suatu saat anak
laki-lakinya yang masih duduk di kelas 4 SD diajak untuk membantu mengebori
sambil menyiangi tanaman cabe yang mulai berbunga. Sepertinya petani itu melihat anaknya
kecapaian, sehingga mengajaknya duduk berteduh di bawah pohon trembesi. Sambil menepuk pundak anaknya, tercucap
kalimat “Mbesuk kowe sekolaho sing duwur
ben uripmu gak susah ngene iki” (Besuk kami sekolah yang tinggi agar
hidupmu tidak susah seperti ini). Tidak
jelas apa masuknya, apalagi anaknya masih duduk di kelas 4 SD yang tentu tidak
faham dengan kalimat itu.
Keinginan petani itu untuk
anak-anaknya tampaknya sangat kuat.
Setelah itu beberapa kali nasehat atau harapan itu diucapkan. Tidak hanya diucapkan, tetapi juga diupayakan
dengan segala cara. Sewaktu anak-anaknya
masih di SD dan ekonomi keluarga sangat terbatas, yang dapat dilakukan hanyalah
membantu anaknya ketika belajar sore hari.
Tidak punya meja belajar dan tidak punya lampu petromaks, apalagi
listrik. Namun setiap sore, sehabis isya
petani itu menata dampar, meja kecil dan pendek yang biasa untuk mengaji, dan
menyalakan sentir untuk anak-anaknya belajar.
Menyadari tidak dapat membantu mengajari, ketika anak-anaknya belajar,
dia duduk agak jauh sambil merokok atau memintal tali atau mengerjakan
pekerjaan lainnya. Setelah anak-anaknya
selesai belajar, dampar dipinggirkan dan sentir dimatikan. Itulah rutinitas petani itu membantu belajar
anak-anaknya. Hanya itu, karena memang
hanya itu yang dapat dilakukan.
Ketika anaknya kelas 6
SD dan petani itu ingin sekali anaknya melanjutkan ke SMP, yang dilakukan
adalah mengajak anaknya sowan ke
kerabat yang menjadi guru SMP. Karena
kerabat itu tinggal di kota dan mengajarkan di kota lain, dia sowan pas liburan sekolah. Anaknya diminta membawa tanda lulus SD
kemudian dibonceng sepeda ke kota untuk sowan.
Kerabat itu sangat baik, bahkan tampak sekali memperlakukan petani kampung itu
sebagai saudara. “Kang, putrane ini
bijine sae dilebeke SMP 1 mesti ketampi”. (Mas, nilai anak ini baik
didaftarkan ke SMP 1 pasti diterima).
Memang betul akhirnya anak laki-lakinya itu diterima di SMP 1 yang
letaknya di kota.
Tampaknya petani itu
risau ketika anaknya harus naik sepeda karena jarak rumahnya ke kota sekitar 8
km. Apalagi rumahnya terletak sekitar 2
km dari jalan besar, melalui jalan desa yang berlumpur waktu musin penghujan.
Dengan berbagai cari petani itu membuat jalur sepeda dengan urugan gragal dan
pasir sungai sepanjang jalan desa, sehingga dapat dilewati sepeda anaknya
sewaktu musim hujan. Tidak cukup itu,
menjelang mulai masuk sekolah, anaknya dibonceng sepeda ke kota dan setiap ada
tukang reparasi/tambal ban sepeda, petani itu mampir dan pesan kepada tukang
reparasi “Kang ini anak kulo, nek sak
wanci-wanci sepedae gembos sampeyan tembel nggih” (Mas, ini anak saya kalau
sewaktu-waktu sepedanya bocor tolong ditambal ya).
Sampai tamat SMP
tampaknya tidak ada persoalan berarti dan anak-anaknya mulai mengerti apa arti
nasehat bapaknya. Masalah muncul ketika
anak laki-lakinya tamat SMP dengan nilai baik.
Kembali petani itu berkeingan keras agar anaknya melanjutkan. Namun dia juga menyadari kemampuan ekonominya
sangat pas-pasan. “Piye le, bapak pengin
kowe neruske sekolah nanging sing iso ndang golek gaweyan yo”. (Gimana nak,
bapak ingin kamu melanjutkan sekolah tetapi yang nanti segera dapat pekerjaan
ya). Anak laki-lakinya tampak menyadari
keadaan keluarganya, sehingga tanpa banyak bertanya mendaftarlah ke STM. Dalam pikirannya, STM masuk siang sehingga
pagi hari masih dapat membantu bapak ke sawah atau membantu ibunya berjualan
ini dan itu.
Tiga tahun berlalu
keadaan ekonomi petani itu sedikit membaik, karena dapat sambilan membuat
sandal dari ban mobil. Anak laki-lakinya
yang bertugas mengantar sandal buatannya ke pedagang sandal, sekaligus membeli
ban bekas di kota. Sekolah anaknya juga
berjalan lancar. Persoalan baru muncul,
ketika anaknya tamat STM. Seperti pesan
bapaknya dulu, si anak ingin segera bekerja, namun petani itu justru berubah
pendapat dan ingin anaknya kuliah.
Karena keduanya tidak
punya gambaran, bagaimana kuliah dan bagaimana membayarnya, maka kembali petani
mencoba mencari kerabat yang dapat dimintai nasehat. Berangkatkah bapak-anak itu ke kota besar
menemui kerabatnya. Keberuntunga kembali
berpihak kepada mereka. Kerabat yang disowani tidak hanya memberi nasehat
yang menyejukan tetapi mau menampung anaknya untuk kuliah dan sambil mencari
pekerjaan.
Jadilah anak petani
ini nderek kerabat yang sungguh
sangat baik, kuliah sambil bekerja.
Saking baiknya kerabat itu, sampai dewasa anak petani itu tidak dapat
lupa bantuan yang diterima. “Tanpa
bantuan Pak Lik-Bu Lik saya akan tetap jadi petani di kampung”. Itu ungkapan
yang sering terucap.
Ketika kuliah sambil
bekerja dan akhirnya “menjadi orang” yang terpikir oleh anak kampung itu “betapa
besar pengorbanan bapakku dan keluargaku sehingga saya seperti ini”. “Walaupun bapak-ibuku orang kampung dengan
pendidikan sangat rendah ternyata justru beliaulah pahlawan pendidikan yang
sebenarnya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar