Orang Surabaya
terkenal lugas dalam berbicara. Walaupun
menggunakan bahasa Jawa, tentu dengan dialek Suroboyoan, yang difahami oleh
pengguna bahasa Jawa lainnya, namun cara orang Surabaya mengungkapkan pikiran berbeda
dengan masyarakat Jawa Tengah ataupun masyarakat Jawa Timur Mataraman
(masyarakat Jawa Timur bagian barat).
Konon orang Surabaya dengan budaya Mentaraman, menggunakan bahasa simbul
dalam menyampaikan pemikiran, sementara orang Surabaya cederung menyampaikan
secara lugas, to the point apa adanya.
Beberapa hari lalu ada
diskusi tentang linieritas guru, yaitu kaitan matapelajaran yang diampu guru
dengan pendidikan S1/D4 ketika kuliah.
Karena berbagai sebab, selama ini banya guru yang mismatch yaitu guru
yang antara latar belakang pendidikan dan matapeajaran yang diampu tidak cocok. Tentu guru mismatch tidak ideal, karena tugas
mengajar yang dilakukan tidak pas dengan bekal yang dipelajari ketika
kuliah. Oleh karena itu program sertifikasi
dan pemberian tunjangan profesi digunakan untuk menghilangkan atau paling tidak
mengurangi jumlah guru mismatch. Ketika
mengikuti program sertifikasi, guru didorong untuk mengambil bidang keahlian
yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya sehingga sertifikat pendidik
yang nanti diperoleh juga sesuai dengan itu.
Ketika, mereka sudah memiliki sertifikat pendidik dan kembali bekerja,
juga didorong untuk mengajar matapelajaran yang pas.
Persoalan muncul
karena cukup banyak guru yang mismatch.
Guru berijasah Pendidikan Bahasa Indonesia mengajar bahasa Daerah, guru
berijasah PAI mengajar TIK, guru berijasah Olahraga mengajar Seni Budaya dan
sebagainya. Mereka ini mengajar mapel
itu sudah bertahun-tahun, sehingga menjadi dilema kalau harus kembali ke bidang
studi asalnya. Apalagi di sekolah tempat
mengajar tidak ada guru yang berijasah mapel itu, misalnya bahasa Daerah, Seni
Budaya dan TIK. Kalau mereka mengikuti
program sertifikasi seperti ijasah yang dimiliki dan ketika kembali ke sekolah
mengajar mapel yang selama ini dipegang, tentu tidak memperoleh tunjangan
profesi.
Dalam diskusi itu yang
hadir sebagian besar dosen dan pejabat atau staf di Ditjen Guru dan Tenaga
Kependidikan Kemdikbud. Tampaknya
keinginan untuk mengembalikan guru ke bidang aslinya begitu kuat. Oleh karena itu linieritas dalam sertifikasi
dan pemberian tunjangan profesi ingin diterapkan dengan cukup ketat. Alasan yang diajukan sangat bagus, yaitu agar
mutu pembelajaran yang diampu guru itu menjadi bagus. Guru juga akan menjadi ringan dalam
menjalankan tugas, karena materi yang diajarkan sudah dipelajari dengan baik
ketika kuliah.
Namun lapangan
ternyata tidak seideal itu. Para guru mismatch
itu sebagian besar justru “mengorbankan diri menjadi dewa penolog”. Ketika TIK muncul sebagai matapelajaran baru,
LPTK belum menghasilkan lulusan untuk mengajar itu. Akhirnya sekolah mengambil kebijakan guru
yang memiliki kemampuan TIK diminta mengajarkannya. Banyak diantaranya guru berijasah Fisika atau
ijasah apa saja yang penting punya kemampuan TIK. Nah tidak sedikit yang latar belakang
pendidikan formalnya jauh dari TIK, tetapi menyenangi TIK dan bahkan
sehari-hari menggunakannya untuk berbagai aktivitas. Misalnya ada yang belajar belakang PAI
(Pendidikan Agama Islam) dan seingat saya di Unesa dan staf yang ijasahnya S1
Filsafat tetapi jagoan dalam TIK.
Mencari guru Seni Budaya dan bahasa Daerah ternyata tidak mudah,
sehingga banyak sekolah meminta guru yang memiliki kemampuan bidang itu untuk
mengajar.
Persoalan menjadi ebih
serius untuk sekolah di daerah terpencil.
Pengalaman melaksanaan program SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan,
Terluar dan Terpencil) kita dapat menyaksikan sulitnya mendapatkan guru. Mendapatkan guru sekedar berijasah S1/D4 saja
bukan main sulitnya, apalagi harus pas antara ijasah dengan
matapelajarannya. Ada sebuah SMP Negeri
di daerah SM3T dengan 6 rombongan belajar, yang sejak berdiri tidak punya guru
dengan latar belakang IPA dan bahasa Inggris.
Yang megajar IPA adalah guru dengan ijasah S1 Olahraga yang kebetulan
SMA-nya IPA. Yang mengajar bahasa
Inggris adalah guru dengan S1 Theologi. Nah,
guru IPA itu harus ikut sertifikasi IPA atau Olahraga? Guru bahasa Inggris itu harus ikut sertifiasi
bahasa Inggris atau Agama Katolik?
Ketika terjadi diskusi
sengit dan para dosen cenderung mendorong guru ikut sertifikasi sesuai ijasah
S1/D4nya, muncul ungkapan Surabaya: “mbok ditepakno awake dewe opo’o rek” (coba
dipikirkan seandainya itu terkena dengan diri kita sendiri). Bukankah di perguruan tinggi banyak dosen
yang mengajar tidak pas dengan ijasah S2/S3nya.
Bukankah para pejabat dan staf di Kemdikbud itu banyak yang menangani
pekerjaan yang tidak pas dengan ijasah S1/S2/S3nya. Mestinya kita justru berempati kepada guru seperti itu, karena mereka sudah kerja keras,
bejalar keras karena mengajar bukan bidang aslinya.
Empati seperti itu
seringkali dikalahkan dengan idealisme akademik dan tidak dilengkapi dengan wawasan
lapangan. Empati kita seringkali menjadi
tumpul karena tidak memahami pengorbanan orang lain. Empati kita tidak mucul karena ego kita
terlalu tinggi tinggi. Empati kita sirna
karena kita tidak mampu mengidentikan diri seperti orang yang sedang kita
nilai. Ungkapan “tepakno awakmu dewe”
rasanya cocok untuk menggugah empati yang hampir mati.
2 komentar:
Pak Muchlas.saya sedang membaca-baca tulisan Bapak. Sangat menarik Pak,
Familiar dan mengena. Sya sedang download ini... Tks
sangatlah bijaksana jika para stakeholder seperti Bapak mampu "nepakno awak" dengan empati yang lebih tinggi dari idealisme buta tanpa tahu keadaan di lapangan yang sebenarnya. . .
~The Best Appreciate~
Posting Komentar