Beberapa hari lalu
saya mendengarkan Radio Suara Surabaya (SS) sambil menyopir ke kampus. Saya memang selalu menyetel SS kalau sedang
menyetir mobil, karena biasanya menyiarkan lalu lintas di Surabaya dan
sekitarnya. Nah waktu itu SS menyiarkan “TITIK
NOL”, suatu testimoni seseorang tokoh. Saya
pertama kali mendengar testimoni itu sehingga sambil mencermati apa yang
diungkapkan mencoba menebak siapa dia. Saya tidak dapat menebak, sampai diujung
testimoni yang bersangkutan menyebut diri “saya jenderal polisi Badrodin Haiti,
kepala Kepolisian Republik Indonesia”.
Apa yang menarik dari
testimoni tersebut? Dua ungkapan, yaitu: (1) keyakinan diri akan dapat
menumbuhkan motivasi mengatasi segala masalah yang dihadapi, dan (2) belajar
dari setiap masalah yang dihadapi. Merenungkan dua ungkapan itu, saya jadi
teringat ulasan wartawan terhadap kesuksesan Zidane sebagai pelatih Real Madrid. Menurut ulasan itu, dua kunci sukses Zidane
adalah: (1) berhasil membangun kepercayaan diri pemain dan soliditas tim, dan
(2) mencermati permainan lawan kemudian menyusun startegi untuk menaklukkannya.
Jika dua faktor kunci
Pak Badrodin Haiti dan Zidane itu dibedah dengan katamata pendidikan sebenarnya
bukanlah sesuatu yang baru. Namun justru
dua tokoh yang notabene bukan kalangan pendidikan, berhasil melaksanakan dengan
baik.
Bahwa kepercayaan diri
sangat penting untuk belajar maupun bekerja, rasanya semua kalangan pendidikan
sudah tahu. Itulah sebabnya anak jangan
ditakut-takuti saat belajar dan salah satu tugas guru/orangtua/tutor adalah
memberikan semangat “kamu pasti bisa”.
Pemberian materi ajar/tugas harus disesuaikan dengan kemampuan anak,
sehingga anak punya pengalaman sukses yang pada gilirannya menumbuhkan
kepercayaan diri. Dengan begitu scafolding
dapat menggelinding secara berkelanjutan.
Bahwa kita harus
belajar dari pengalaman apapun yang kita jumpai juga bukankah sesuatu yang baru
dalam konsep pendidikan. Bahkan adalah nasehat
bijak: “Setiap hari Tuhan mengajar kita dengan apapun yang kita temui, kita
hadapi dan kita harus pecahkan”. “Jika
kita ketemu dengan orang pandai, kepada dialah kita harus belajar; jika kita
ketemu dengan orang bijak, dialah yang arus kita teladani; jika kita ketemu
dengan orang jahat, itulah contoh untuk tidak ditiru”.
Jujur saya merasa “iri”
kepada Zidane yang sukses menerapkan teori pendidikan dalam menjalankan
tugasnya sebagai pelatih Real Madrid. Kagus kepada Pak Badrodin Haiti yang
masih terus belajar walaupun sudah menjadi “Trunojoyo-1”. Jadinya saya bertanya kepada diri sendiri: “sudahkah
saya menerapkan prinsip belajar sepanjang hayat, seperti yang sering kita
ceramahkan?”. “Sudahkan kita menerapkan
prinsip motivasi ketika saya mengajar?”. Jangan-jangan keduanya belum saya
laksanakan.
Merenungkan itu semua,
saya jadi teringat kata-kata bijak yang pernah saya kutip ketika mmberi
sambutan pada Wisuda Unesa tanggal 2 April 2011, yaitu:
Saya minta bunga yang indah, tapi Tuhan
memberiku kastus yang penuh duri,
Saya minta kepandaian, tapi Tuhan
memberiku masalah yang sulit,
Saya minta kekayaan, tapi Tuhan memberi
pekerjaan yang berat.
Ternyata kastus berduri
yang saya pelihara tumbuh bunga yang indah, dari mengatasi masalah yang sulit
aku jadi belajar, dan dari bekerja yang berat aku dapat uang.
Kata-kata
bijak di atas menunjukkan bahwa Tuhan tidak memberikan ikan tetapi memberikan
kail, agar orang belajar, bekerja untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Proses pendidikan dar Tuhan menerapkan
pendekatan proses dan bukan hasil. Jika
itu semua menjadi kegiatan sehari-hari seperti yang dilakukan Pak Badrodin
Haiti dan Zidane, bukankah itu yang dimaksud belajar sepanjang hayat, belajar
dari ayunan sampai menjelang masuk liang lahat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar