Pagi-pagi 22 Mei 2016
seperti biasanya saya membuka email. Salah satunya yang di Yahoo. Sebelum masuk ke email, mau-mau tidak mau
kita harus membaca berita di webb Yahoo.
Pagi itu ada berita dengan judul “Kisah Sam Bimbo soal Pemilik Ferari
Dikawal untuk Merokok” yang tentu menarik untuk dibaca. Tentu saya tertarik untuk membacanya. Berikut ini saya kutipkan potongan berita
itu.
“Suatu waktu
saya berada di sebuat hotel di Jakarta. Di lobi hotel, ada mobil Ferrari
parkir, di depannya ada motor patroli pengawal (patwal)," kata Sam Bimbo
memulai ceritanya. Melihat mobil super mewah itu, Sam penasaran. Ia lalu
bertanya kepada petugas keamanan hotel siapa pemilik Ferrari itu.
"Sekuriti mengatakan itu milik bos hotel," ujarnya. "Saya tanya
lagi, untuk apa bos Anda ke hotel? Sekuriti bilang bosnya ke hotel hanya untuk
merokok. Rokoknya cerutu, harganya satu
juta per batang. Minumnya wine, harga sepuluh juta per botol. Ya, Allah, hanya
untuk merokok pemilik mobil Ferrari dikawal polisi," kata Sam.
Di tempat
lain, vokalis Trio Bimbo itu melihat seorang pria mengais-ngais sampah. Si pria
mendorong gerobak yang dipakai untuk menampung sampah yang dipungut.
"Sampah yang terkumpul kemudian dipilih dan dijual, dapat uang hanya cukup
untuk makan sehari," ujarnya. Tanpa
sepengetahuan sang istri, kata Sam, si pria terus menyusuri jalan untuk mencari
sampah. Ketika lelah, gerobak itu pula menjadi rumah untuk beristirahat.
"Melihat itu saya merenung, mau ke mana Indonesia?".
Membaca itu
mungkin juga dapat merenung. Seringkali
kita makan dengan hidangan yang berlebih.
Misalnya ketika ada acara di kantor atau hotel. Sementara itu, tidak jauh dari tempat itu,
sangat mungkin ada orang yang kesulitan mendapatkan makanan, walaupun hanya untuk
sekali sehari. Bahkan di kantor juga ada
petugas yang harus makan seadanya karena gaji/honornya hanya sedikit. Saya juga baru dapat info pegawai hotel tidak
boleh ikut makanan yang dihidangkan kepada tamu. Para pegawai rendahan hotel konon harus makan
di kaki lima sekitar hotel, karena juga harus berhemat dari gaji yang tidak
besar. Mungkin itu kode etik hotel,
namun saya bertanya betapa jauh “kelas” makanan yang mereka hidangkan kepada
tamu dengan makanan yang mampu dia beli.
Mengapa hal itu
dapat terjadi? Apakah beda penghasilan
masyarakat kita yang begitu timpang?
Apakah hidangan acara kantor kita yang terlalu mewah untuk orang
kebanyakan? Apakah pendapat terendah
masyarakat kita terlalu kecil sehingga tidak dapat membeli makanan yang cukup
baik? Apakah fenomena seperti itu sehat
secara sosial? Apakah tidak menumbuhkan
kecemburuan? Apakah tidak menjadi
benih-benih dendam? Atau fenomena seperti itu memang alami dan terjadi di semua
daerah di dunia? Atau justru menumbuhkan
semangat juang untuk mencapai status seperti orang-orang lapis atas yang sering
mereka lihat? Saya merasa tidak punya kompetensi untuk menjelaskan.
Namun
seingat saya dalam bidang ekonomi ada istilah gini ratio yang kalau tidak salah
perbandingan penghasilan yang terbesar dan yang terkecil, atau kira-kira
seperti itu. (Mohon maaf saya tidak begitu faham). Yang pernah saya baca, gini ratio yang
terlalu besar itu tidak baik. Artinya
penghasilkan yang terlalu nyomplang di masyarakat tidak baik.
Lantas
bagaimana jika kita ingin mengurangi kesenjangan itu? Siapa yang harus melakukan? Saya teringat diskusi di awal munculnya Bidik
Misi. Waktu itu ada pikiran bagaimana
mengangkat kelompok masyarakat bawah secara elegan dan sustain. Bantuan Tunai Langsung (BTL) mungkin membantu
untuk mengatasi kesulitan ekonomi tetapi sifatnya sementara. Muncul pikiran, kalau salah satu anak
keluarga miskin itu memperoleh pendidikan sampai S1 dengan kualitas baik, pada
saatnya yang bersangkutan akan menarik adik-adiknya, keponakannya atau kerabat
yang lain. Pak Nuh yang waktu itu
menjadi Mendikbud sering berkelakar “wong sampeyan yo nate miskin ngono”. Maksudnya kita diminta mengingat, dahulu juga
miskin. Kita menjadi seperti sekarang
ini karena sempat kuliah S1.
Berangkat
dari pemikiran itulah, dirancang bagaimana membantu agar anak-anak keluarga
kurang mampu dapat kuliah dan menyelesaikan S1.
Membebaskan SPP saja tida cukup, sehingga harus diberikan biaya untuk
hidup. Jadilah perhitungan beasiswa 12
juta/thn, dengan rincian SPP selama dua semester sebesar 4,8 juta dan biaya hidup 600 ribu/bulan atau 7,2
juta/tahun. Jika diasumsikan mereka
dapat lulus selama 4 tahun, berarti diperlukan beasiswa 48 juta/per orang untuk
meng-S1-kan anak dari keluarga miskin.
Apakah sada
cara lain? Semoga muncul ide lain untuk
menambah alternatif mengurangi kesenjangan penghasilan di masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar