Senin tanggal 23 Mei
2016 Mas Kemi, Ir Sukemi-mantan staf khusus Mendikbud era Pak Nuh, bercerita
kalau benih kangkung dan bayam diproduksi oleh perusahaan Amerika Serikat. Ungkapan itu muncul saat kami ngobrol dan
sampai pada cerita petani kota yang menanam sayur sawi, bayem dan
kangkung. Kedua jenis sayuran itu sudah
dapat dipanen dalam waktu 2 minggu dan hasilnya juga cukup menjanjikan. Menurut
seorang petani, bertani bayam dan kangkung lebih menguntungkan dibanding padi
atau jagung.
Berbeda dengan tanaman
bayem dan kangkung di desa yang memanennya dengan memotong daun atau ujung
batang yang muda, petani bayam dan kangkung di kota memanem tanamannya dengan cara
dicabut. Dengan demikian tidak ada sisa
pangkal atau batang yang akan tumbuh lagi daun dan cabangnya seperti kangkung
dan bayam di desa. Nah karena itu petani harus menanam kembali
setelah panen.
Dari mana petani
mendapat benih? Kalau di desa bayam
ditanam dengan cara mengambil tukulan yang tumbuh secara liar dari biji buah
bayem yang rontok alamiah. Kangkung
ditanam dari potongan batang kangkung
yang distek. Bahkan sayur kangkung kebayankan
diambil dari kangkung liar yang tumbuh di sawah atau tegal. Sepanjang yang saya tahu, tidak ada petani
desa yang menyiapkan biji bayem dan kangkung.
Bagaimana dengan
petani sayur di kota? Menurut Mas Kemi,
mereka menanam dari biji yang dibeli
dari toko penjual benih pertanian. Lantas
siapa yang memproduksi biji bayam dan kangkung tersebut? Ternyata perusahaan dari Amerika Serikat? Biji bayem dan kangkung ternyata diproduksi
oleh perusahaan pertanian di Amerika Serikat dan orang Indonesia
membelinya. Pada hal kedua tanaman itu
biasanya tumbuh liar di pedesaan dan sejak jaman dahulu telah menjadi sayuran
sehari-hari di masyarakat.
Apakah juga seperti
itu yang terjadi pada padi, jagung dan kedele?
Dahulu petani menyiapkan benih padi dan jagung sendiri. Benih padi
dipilih dari buah padi yang bagus.
Biasanya petani memetiknya menjelang panen dan kemudian diikat dan
diletakkan di atas tempat masak di dapur agar kena asap dan tidak dimakan nonor,
yaitu binatang kecil yang seringkali membuah biji jagung dalamnya kopong.
Sekarang petani juga
membeli benih padi, jagung dan kedele ke toko pertanian, dengan nama
macam-macam. Menurut Mas Adriono, mantan
wartawan koran dan TV, jagung dan padi hasil panen dengan biji dari toko itu
tidak dapat digunakan sebagai benih.
Kalau dipakai sebagai benih hasilnya jauh menurun. Oleh karena itu petani lebih senang membeli
benih dari toko pertanian dan konon selalu saja muncul jenis baru yang diberi
label “lebih baik dibandung yang terdahulu”.
Cerita itu
mengingatkan kita tentang sapi.
Australia tidak mau menjual indukan sapi yang masih potensial. Yang dijual ke Indonesia adalah anakan sapi jantan
(sapi kecil) dan peternak di Indonesia membesarkannya. Sperma sapi dijual juga ke Indonesia, namun
kalau kita tidak punya indukan sapi yang bagus, kita akan dapat anak sapi yang
tidak maksimal. Konon kalau ada yang
berhasil mendapatkan indukan sapi dari Australia, pastilah itu indukan yang
sudah tidak produktif atau indukan sapi yang tidak baik.
Kompas tanggal 25 Mei
2016 memuat berita penguasaan teknologi pertanian oleh negara lain tinggal
menunggu waktu. Menurut berita itu
banyak tanaman asli Indonesia yang diteliti dengan serius di negara lain, dan
kemudian ditawarkan kembali ditanam di Indonesia sebagai varietas baru yang
lebih unggul. Nah, kalau varietas baru
itu kemudian tidak dapat digandakan seperti kasus padi dan jagung, besuk petani
kita akan bergantung kepada benih dari negara lain. Teknologi pembenihan tampaknya menjadi
komoditas dagang.
Apakah kita belum mampu
melakukan itu? Saya tidak punya
kapasitas menjawab. Yang saya tahun ada
pepaya kalifornia yang konon dikembangkan oleh IPB. Ada edamame, kedele yang ditanam di
Jember. Konon kebun pisang ........ ada
di Lampung. Tidak tahu, benih pepaya,
kedele dan pisang itu dikembangkan di Indonesia atau di negara lain dan kita
hanya menjadi tempat menanamnya.
Kita sudah kenal atau
paling tidak mendengar istilah ayam bangkok, jambu bangkok, durian montong dari
bangkok dan mangga unggul dari bangkok.
Belakangan muncul sapi onggole, kucing persia, anjing doberman dan
sebagainya. Kenapa semua bernama “asing”?
Bukankah kita punya IPB, UGM dan PT lain yang ungguk dalam bidang pertanian? Semoga pada saatnya, kita mampu menghasilkan
bibit unggul, baik untuk pertanian maupun peternakan. Lembaga penelitian di perguruan tinggi dan
Litbang lembaga lain menjadi tumpuan harapan itu. Kita do’akan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar