Mahasiswa S3 Manajemen
Pendidikan Unesa Tahun Angkatan 2014 termasuk istimewa. Banyak diantara mereka pejabat yang sudah
mapan. Ada dua orang letnan kolonel yang
konon kariernya sedang menanjak, ada empat orang pimpinan puncak PTS, bahkan
konon yang dua orang sebagai “pemiliknya”, ada seorang pemangku pondok, ada
seorang pejabat ke Diknas Pendidikan Surabaya, dan ada beberapa kepala sekolah.
Saya merasa beruntung
memberi kuliah kelas itu dan menerapkan pola perkuliahan semacam case study. Mereka saya ajak membedah
kasus-kasus yang ada dalam jurnal atau buku untuk dianalisis dan dicari
alternatif pemecahannya. Tentu disesuaikan dengan bidang studi yang sedang
dipelajari dan bahkan setiap mahasiswa saya minta mengaitkan dengan konteks
instansi dimana mereka bekerja.
Suatu saat saya
mengajukan pertanyaan kepada mereka sebagai berikut. Instansi Anda memerlukan
tenaga baru untuk membangun hubungan luar negeri. Ada dua pelamar yang lolos
seleksi awal. Satu orang lulusan S1
Sastra Inggris PTN ternama, dengan skol TOEFL 550 dan satunya lagi lulusan S1
Matematika PTS dengan skor TOEFL 650. Semua kemampuan yang lain sama, Anda
memilih yang mana? Tolong berikan
argumentasi mengapa Anda memilih dia.
Hampir semua mengatakan
pilih yang lulusan S1 Matematika dengan skor TOEFL 650. Argumen yang diajukan bervariasi, namun
sebagian besar mengatakan skor TOEFL 650 lebih “menjamin” kemampuan berbahasa
Inggris dibanding lulusan S1 Sastra Inggris.
Seorang lulusan S1 Matematika tetapi
memiliki skor TOEFL 650 menunjukkan yang bersangkutan punya semangat
belajar bagus dan sangat mungkin belajar mandiri. Oleh karena itu yang bersangkutan berpotensi
untuk belajar cepat dalam melaksanakan tugas barunya.
Setelah semua
mengajukan argumentasi, saya mengajukan pertanyaan berikutnya sebagai berikut. Ada
tes semacam TOEFL untuk Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Ekonomi, Sejarah
dan bidang lain. Perguruan tinggi Anda sedang melaksanakan program talent scouting untuk mendapatkan
mahasiswa baru yang unggul. Setiap calon
diwajibkan mengikuti tes “ala TOEFL” untuk beberapa matapelajaran pokok. Ada beberapa calon lulusan SMA Swasta tidak
bermutu tetapi memiliki skor “ala TOEFL” yang sangat bagus. Sementara beberapa lulusan SMA Unggulan
sedikit dibawah mereka. Mana yang akan
Anda pilih? Berikan argumentasinya.
Sama dengan pertanyaan
pertama, hampir semua peserta memilih calon lulusan SMA kurang bermutu tetapi
memiliki skor “ala TOEFL” yang tinggi dibanding lulusan SMA Unggulan tetapi
skor “ala TOEFL-nya” lebih rendah.
Argumentasinya skor “ala TOEFL” itu lebih dapat dipercaya, walaupun
tidak menggambarkan proses belajar. Yang
pokok kan kemampuannnya tidak penting dari mana mereka belajar.
Diskusi berlanjut,
mungkinkah besuk orang dapat belajar di mana saja dengan cara apa saja, tetapi
jika dapat skot baik dari TOEFL atau “ala TOEFL”, berarti diakui
kemampuannya? Apalagi kita punya Perpres
Nomer 82 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang
intinya mengakui kemampuan seseorang yang diperoleh melalui kursus atau
pengalaman kerja dapat disetarakan dengan pendidikan formal. Bukan tidak mungkin pada saatnya orang
seperti Ki Mantep disetarakan dengan S2 atau bahkan S3 untuk mendalang.
Kalau begitu kita
harus mulai berpikir fleksiblitas pendidikan kita. Pemisahan pendidikan formal,
non formal dan informal yang kaku selama ini a harus dipikirkan kembali. Kotak-kotak antara persekolahan, kursus atau
bahkan dunia kerja “diberi pintu butulan” atau paling tidak “jendela” untuk
saling berhubungan. Konsep MEME (multi
entry multi exit) yang pernah digagas pada tahun 1990an relevan untuk dibuka
kembali. Konsep RPL (rekognisi
pembelajaran lampau/recognition prior learning) relevan untuk diketengahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar