Tanggal 17 Mei 2016
saya mengisi acara di IKIP PGRI Madiun bersama Mas Nurkholis dari USAID
Prioritas. Acaranya seminar tentang
Pendidikan di Era MEA yang diselenggarakan oleh Program Studi PGSD. Seperti umumnya prodi PGSD, sebagian besar
mahasiswanya perempuan. Dugaan saya tidak sampai 10% mahasiswa laki-laki. Saya
terpikir kalau para mahasiswi itu akan segera lulus, bekerja sebagai guru SD,
menikah dan menjadi ibu. Seperti
dikeluhkan oleh PakKadir Baradja, bos Al Hikmah, hampir semua siswa/mahasiswa
akan menjadi bapak dan ibu, tetapi tidak ada matapelajaran menjadi bapak atau
ibu. Jadi semua orang sebenarnya menjadi
bapak dan ibu secara coba-coba.
Menyadari itu saya
mencoba mengaitkan paparan saya tentang pendidikan dengan perkembangan iptek
yang sangat cepat. Kalau toh mereka
tidak dapat menerapkannya di sekolah karena kurikulum kita yang sangat
mengikat, paling tidak dapat menerapkan atau lebih tepat menyisipkan dalam
pendidikan anak-anak kandungnya besuk.
Syukur kalau dapat mnyelipkan atau bahkan memadukan dengan kurikulum di
sekolahnya.
Terkait dengan hal itu
saya ingin memulai tulisan ini dengan mengutip secara lengkap syair Kalil
Gibran yang berjudul Anakmu Bukan Anakmu, berikut ini.
Anak adalah kehidupan, mereka
sekedar lahir
melaluimu tetapi bukan berasal
darimu.
Walaupun bersamamu tetapi bukan
milikmu,
curahkan kasih sayang tetapi
bukan memaksakan pikiranmu
karena mereka dikaruniai
pikirannya sendiri.
Berikan rumah untuk raganya,
tetapi tidak jiwanya, karena
jiwanya milik masa mendatang,
yang tak bisa kau datangi
bahkan dalam mimpi sekalipun.
Bisa saja mereka mirip dirimu,
tetapi jangan pernah
menuntut mereka jadi seperti
sepertimu.
Sebab kehidupan itu menuju ke
depan, dan
tidak tenggelam di masa lampau.
Kaulah busur, dan
anak-anakmulah anak panah yang melucur.
Sang Pemanah mahatahu sasaran
bidikan keabadian.
Dia menentangmu dengan
kekuasaanNya,
Hingga anak panah itu melesat,
jauh serta cepat.
Meliuklah dengan suka cita
dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
Sebab Dia mengasihi anak-anak
panah yang melesat laksana kilat
Sebagaimana pula dikasihi-Nya
busur yang mantap.
Dalam konteks
pendidikan, syair itu menunjukkan kalau anak-anak akan menghadapi zaman yang
berbeda dengan zaman sekarang. Oleh
karena itu mereka memerlukan bekal yang mungkin berbeda dengan kemampuan yang
kita miliki saat ini. Orangtua dan guru diingatkan agar tidak memaksa anak-anak
seperti dirinya, karena anak-anak punya kemauan sendiri yang mungkin sudah
diajarkan oleh Sang Maha Pencipta. Tugas
orangtua dan guru adalah mengantar mereka yang dilukiskan sebagai busur panah
bagi anak panah.
Jika direnungkan
kandungan syair itu sangat mirip dengan nasehat Ali bin Abi Thalib, sepupu dan
anak mantu Rasulullah, yang mengatakan “didiklah
anakmu sesuai zamannya karena mereka hidup bukan di zamanmu”. Anak-anak akan menghadapi zaman yang berbeda
dengan zaman yang dihadapi oleh orangtuanya, sehingga mereka memerlukan bekal
hidup yang berbeda dengan orangtuanya.
Pendidikan bagi mereka juga perlu berbeda dengan orantuanya.
Masalah muncul
karena kita tidak tahu zaman yang akan dhadapi anak-anak. Trilling dan Fadel (2009) tampaknya memberi
jalan keluar. Kedua orang itu
menyarankan para pemikir pendidikan untuk membayangkan keadaan 20 tahun ke
depan dan kemudian menganalisis kemampuan apa yang diperlukan untuk dapat
suskes di situasi seperti itu. Itulah
yang dipikirkan oleh mereka yang merancang pendidikan.
Masalah berikutnya
muncul, bukankah sering terjadi discontinuity
seperti dikatakan oleh Adam (2005).
Bukankah temuan kamera digital menghilangkan teknologi film. Bukankah surel membunuh surat tercetak. Bukankah e-money berpotensi menutup banyak
kantor bank. Bukankah e-learning akan membongkar
pola pembalajaran saat ini.
Beberapa ahli,
termasuk Trilling dan Fadel (2009), riset The Economist Intelegence (2014)
sampai pada kesimpulan, kalau begitu yang perlu ditumbuhkembangkan pada
anak-anak adalah kemampuan dasar dan kemampuan untuk belajar mandiri secara
cepat serta kemampuan untuk mengatasi persoalan secara kreatif. Secara spesifik, studi The Economist
Intelegence menyebutkan kemampuan yang penting yaitu: problem solving, team working, communication, ctritical thinking dan creativity.
Apakah kemampuan
tersebut akan menjadi matapelajaran baru?
Menurut saya tidak. Menggunakan
pola pikir Kai Mien Cheng (2009) kemampuan tersebut dikembangkan melalui teman
atau topik yang dipelajari. Guru SD
ketika membahas tema keluarganya, seharusnya mengembangkan kemampuan problem solving dan seterusnya. Ketika guru Sejarah di SMA membahas topik
Perang Kemerdekaan, seharusnya mengajak siswa berpikir kritis, berlajar
meyelesaian masalah secara kreatif, dan seterusnya.
Nah bagaimana dengan
guru kita? Menurut saya guru tidak perlu
meniru guru silat yang konon menyembunyikan jurus pamungkas dengan alasan tidak
ingin dikalahkan oleh muridnya. Guru
juga tidak perlu meminta siswa menerapkan jurus tetap seperti dirinya. Guru harus rela siswanya lebih pandai dan
mengalahkan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar