Kasus Pak Ahok
ternyata menguras enersi. Saya tidak
tahu berapa tenaga, waktu dan dana yang terkuras dalam kasus tersebut. Oleh karena itu, kita perlu belajar dari
kasus tersebut. Atau memang Yang Maha
Bijaksana memunculkan kasus itu untuk pelajaran bagi kita semua. Saya tidak memiliki kompetensi untuk membahas
kasus itu dari aspek hukum maupun dari aspek keagamaan. Oleh karena itu saya ingin iur pendapat dari
aspek pendididikan.
Bukankah proses
pendidikan terjadi dimana saja dan kapan saja.
Orang, binatang, benda dan peristiwa dapat menjadi sumber belajar bagi
yang mau belajar. Jadi jika kasus Pak
Ahok dijadikan bahan belajar, sebenarnya bukan hal yang istimewa. Tentu itu hanya bagi yang mau belajar.
Lantas apa pelajaran
yang dapat dipetik dari kasus itu? Pertama. Ternyata masalah agama dan atau
keyakinan itu sangat sensitif. Orang
segera merasa terganggu jika agama atau keyakinan yang dianut dibicarakan atau “dinilai
tidak baik” oleh orang lain. Saya punya
pengalaman pribadi, pernah melihat dua sahabat bertengkar hebat gara-gara salah
seorang tersinggung ketika “cara beragamanya” dinilai salah oleh temannya. Pada keduanya menganut agama yang sama dan
bertetangga. Teman itu merasa apa yang
dilakukan selama ini sudah tepat dan itu diyakini bersumber dari ajaran agama
yang dianutnya.
Kedua, agama tidak selalu “sejalan” dengan logika ilmu pengetahuan. Kembali pada contoh di atas, kedua sahabat
itu berbeda pandangan karena yang satu mendasarkan pada logika keilmuan yang
dia pelajari, sedangkan yang lain mendasarkan pada aturan “baku” yang
dipelajari dari agama atau dari guru agamanya.
Nah, ketika dua pandangan itu tidak ketemu, terjadikan diskusi sengit
yang berujung pada pertengkaran.
Menurut saya memang
tidak tepat mendiskusikan masalah agama dengan pandangan dari keilmuan semata. Apalagi dari cabang ilmu pengetahuan yang “jauh”
dari prinsip keagamaan. Karena belajar
agama dimulai dari “yakin” dan baru setelah itu didalami. Sementara dalam keilmuan, kita berangkat dari
“ragu” kemudian dipelajari dan dari proses belajar itu diharapkan dihasilkan
satu simpulan yang meyakinkan. Apalagi
tidak semua masalah keagamaan dapat dibuat eksperimen sebagaimana dalam ilmu
pengetahuan.
Ketiga, kepekaan yang mungkin menimbulkan ketersinggungan itu menjadi lebih
tinggi derajatnya ketika yang mendiskusikan dan atau menyampaikan dari teman
atau orang yang berbeda agama. Seorang kawan yang kebetulan mendalami psikologi
menjelaskan kalau setiap orang memiliki kerucigaan terhadap orang lain. Tingkat curiga itu tergantung kesamaan atau
perbedaannya. Orang yang berasal dari
satu daerah asal memiliki kecurigaan yang lebih rendah dibanding yang berasal
dari daerah lain. Orang yang berbeda
agama memiliki tingkat kecurigaan yang lebih tinggi dengan yang sama agamanya.
Nah berangkat dari
tidak hal tersebut, sebaiknya kita tidak membahas agama yang dianut orang lain,
kecuali memang itu forum yang khusus diadakan untuk itu dan telah disepakati
rambu-rambu pembahasannya. Ketika
membahaspun harus dihindari menyalahkan dengan sudut pandang agama kita (orang
yang membahas yang berbeda dengan agama yang sedang dibahas) atau sudut pandang
keilmuan yang mungkin berbeda dengan sudut pandang agama.
Dalam ranah taukhid,
setiap agaman memiliki pedoman sendiri-sendiri, yang berbeda satu dengan
lainnya, namun untuk ranah muamalah seringkali banyak persamaan. Oleh karena itu, kalau toh “terpaksa” perlu
diskusi keagamaan akan lebih baik di ranah muamalah. Misalnya pandangan agama “A” terhadap bantuan
bencana dan sejenis itu. Sangat mungkin
hal seperti itu lebih aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar