Dr. Kiki Yuliati, MSc.
adalah dosen Universitas Sriwijaya
Palembang, yang sekarang menjadi Sekretaris BSNP (Badan Standar Nasional
Pendidikan). Saya belum lama mengenal
beliau. Seingat saya pertama kali
bertemu, ketika sama-sama mengikuti uji publik Standar Kualifikasi dan
Kompetensi Guru SMK di Semarang sekitar bulan September lalu. Itupun tidak bertemu secara intens, karena
masing-masing sibuk dengan tugasnya sendiri. Saat itu, beliau juga belum
menjadi sekretaris tetapi sebagai anggota biasa di BSNP.
Kami mulai intens
bertemu dan berdiskusi, ketika saya diminta menjadi Tim Ahli Standar Kompetensi
Lulusan SMK dan lebih intens lagi ketika saya ditunjuk sebagai Ketua Tim Ahli
Standar Proses. Beliau doktor dalam
bidang pertanian, alumni S2 di Amerika Serikat dan S3 di IPB Bogor. Orangnya cantik, berkulit sawo matang,
berkerudung dan ramah. Oleh karena itu
mudah akrab dengan orang lain, termasuk saya.
Pada waktu
dilaksanakan uji publik Standar Proses Pembelajaran SMK, saya kebagian tugas ke
Semarang dan beliau hadir sebagai Sekretaris BSNP. Karena saat itu saya baru pulang dari Jerman,
setelah menjadi visiting scholar selama sekitar 1 bulan, saya sengaja menemui
beliau untuk mohon informasi perkembangan penyusunan Standar Proses yang hari
itu diuji publik. Memang saya selalu
mendapat informasi dari Dr. Ir. Syaad Padmatara, tetapi tentu sebagai
Sekretaris BSNP beliau lebih tahu.
Dalam diskusi sambil
makan malam bersama rekan-rekan lain itulah muncul cerita yang unik-unik. Saat itu, beliau mengeluhkan munculnya
beberapa kebijakan pendidikan yang dianggap “aneh-aneh”. Bahkan beliau bertanya apakah Pak Menteri
tidak mendapat masukan yang komprehensif, kok ide yang dimunculkan terkesan
aneh dan membuat masyarakat bertanya-tanya. Setelah beliau bercerita dan
menumpahkan keluhan, saya nyambung: “Kita ini biasa menanam jagung, belum
panen-belum tahu apa baik buruknya, terus ganti acara menanam kedele. Kedele belum panen, belum tahu baik-buruknya,
terus ganti acara menanam padi. Jadi
yang tidak pernah panen dan muter-muter saja”. Saya sengaja menggunakan
metapora itu, karena Bu Kiki berlatarbelakang doktor bidang pertanian.
Tampaknya beiau segera
menangkap makna dibalik metapora yang saya muculnya, sehingga sambil tertawa
lebar mengacungkan jempol dan berkata: “Itu ungkapan yang tepat. Akan saya
gunakan nanti. Akan saya quote sebagai
ungkapan Pak Muchlas di Semarang”.
Setelah itu disambung diskusi yang diselingi dengan kelakar dan banyak
menyinggung pengalaman selama ini ikut menangani dunia pendidikan.
Nah, ketika sedang
makan tempe, saya nyelonong berkomentar “Saya sangat senang tempe, namun belum
lama tahu kalau kedele untuk membuat tempe dan tahu ternyata import”. Sebagai doktor bidang pertanian, tampaknya
Bu Kiki terusik oleh “todongan saya”.
Namun dasar beliau suka bercanda, ungkapan itu justru direspons dengan
cerita: “Tahun lalu, bekas promotor saya di IPB pensiun. Saat pelepasan, beliau mengungkapkan
kegundahannya di depan pada kolega muda, termasuk bimbingannya. Beliau bercerita di akhir tahun 1960an beliau
masuk IPB dan mengambil spesialisasi kedele, karena kepenasarannya. Kita ini kan sejak kecil makan tempe dan itu
dialami oleh banyak orang di Indonesia.
Tetapi kita import kedele untuk membuat tempe. Beliau masuk IPB dan beobsesi menekuni kedele
agar dapat swasembada. Nah, sampai menjadi doktor, menjadi profesor dan pensiun
kok masih tetap saja import kedele. Jadi
satu masalah itu ternyata tidak dapat diselesaikan sampai pensiun”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar