Dua hari ini saya
berkesempatan mengunjungi dan berdiskusi dengan teman-teman UNM (Universitas
Negeri Makasar) dan Unismuh (Universitas Muhammadiyah Makasar). Sebenarnya tugas utama saya ke dua
universitas itu melakukan monitoring pelaksanaan PLPG (Pendidikan dan Latihan
Profesi Guru) terkait dengan sertifikasi guru dalam jabatan. Nah, setelah
urusan tugas itu selesai kami diskusi bebas, walaupun sedikit banyak terkait
dengan PLPG.
Diksusi itu diawali
dengan sebuah informasi kalau para peserta PLPG belum terbiasa belajar dengan
bahan ajar yang ada di web Kemdikbud.
Tahun 2015, Kemdikbud melaksanakan UKG (Uji Kompetensi Guru) secara
masif diikuti oleh hampir seluruh guru di Indonesia. Hasilnya kurang menggembirakan. Kalau tidak
salah, skor rata-ratanya hanya 5,6.
Dengan bahasa kasar, dapat dikatakan guru kita rata-rata hanya
menguasai 56% dari kompetensi yang
seharusnya dikuasai. Berangkat dari itu, Kemdikbud mengembangkan program yang
diberi nama Guru Pebelajar. Dikembangkan
segudang bahan ajar yang diunggah di web Kemdikbud. Guru dapat mengunduh dan memilih bahan ajar yang
sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan skor UKG-nya. Guru juga dapat mengetes diri, apakah setelah
mempelajari bahan ajar itu, skor UKG-nya meningkat.
Namun ternyata guru
kita belum biasa belajar mandiri dari bahan ajar online tersebut. Paling tidak saat ini. Wawancara dengan banyak guru peserta PLPG,
teman-teman UNM maupun Unismuh menyimpulkan, guru kita belum punya kebiasaan
itu atau bahkan belum punya kemampuan itu.
Mendengar itu saya jadi teringat apa yang diterapkan oleh UT
(Universitas Terbuka). Ketika melayani
guru-guru yang menempuh S1, UT melaksanakan program tutorial intentif dengan
mengontrak dosen LPTK. Mengapa demikian? Karena guru-guru yang menempuh S1 di UT itu
belum dapat belajar mandiri, sehingga harus dibantu dengan tutorial. Bahkan prakteknya tutorial itu tidak beda
dengan perkuliahan biasa.
Berdasarkan informasi
itu, akhirnya kami diskusi sampai panjang.
Guru kita jumlahnya sangat besar dan tersebar di seluruh pelosok
negeri. Jika Kemdikbud ingin menjangkau
mereka secara face-to face tentu sangat berat.
Mau diserahkan ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, rasanya instansi itu
tidak punya SDM yang memadai. Mau diserahkan
LPMP, SDM-nya juga sangat terbatas.
Tetapi toh guru harus dibantu, karena belum mampu atau belum terbiasa
belajar mandiri dengan bahan online.
Saya menyodorkan
fenomena Mobil 88, yang salah satu outletnya di Jl Jemursari Surabaya, yang
pintu belakangnya pas di depan rumah saya. Toyota itu memiliki divisi khusus
yang menangani jual beli mobil bekas, yaitu Mobil 88. Jika mobil merek lain, seperti Honda, Suzuki
dan sebagainya, melayani purna jual dengan bengkel pemeliharaan, Toyota
bergerak lebih jauh. Disamping punya
bengkel servis, juga punya divisi yang secara khusus melayani jual beli mobil
bekas. Oleh karena itu, dibanding merek
lain, harga mobil bekas Toyota relatif bagus.
Mobil 88 tampaknya mampu mengendalikan harga Toyota bekas, sehingga
tidak anjok. Model layanan purna jual
yang lebih hebat. Mungkinkah itu ditiru
oleh LPTK?
Bukankah sebagian
besar atau bahkan hampir semua guru itu lulusan LPTK? Bukankah LPTK punya program mirip layanan
purna jual bagi lulusannya? Jika semua
merek mobil punya bengkel servis dan bahkan Toyota punya Mobil 88, apa yang
program yang dimiliki LPTK untuk para lulusannya?
Setahu saya, LPTK
memang melakukan pelatihan guru. Tetapi
itu sifatnya insidental dan seringkali dilakukan kalau ada permintaan. Nah, mungkinkah pelatihan, pendampingan, CPD
(continuing professional development) atau apapun namanya itu dilakukan secara
terus menerus dan menjangkau ke seluruh guru?
Mungkinkah program itu dikaitkan dengan keinginan untuk meningkatkan
kompetensi guru secara berkelanjutan?
Mungkinkah LPTK dapat mendampingi lulusannya (baca: guru), ketika mereka
harus belajar mandiri dengan bahan ajar online?
Saya teringat apa yang
dilakukan oleh NTNU (National Taiwan Normal University), semacam LPTK di
Taipei. Di NTNU setiao dosen punya tugas
membina sejumlah guru dan itu bagian dari tugas resmi dari kampus. Mungkin semacam pengabdian kepada
masyarakat. Nah, kalau setiap dosen LPTK
di Indonesia ditugasi untuk mendampingi guru meningkatkan
kemampuan/profesionalismenya dan itu dikaitkan dengan program Guru Pebelajar
rasanya sangat baik. Lebih baik lagi
kalau itu diwujudkan dalam wadah kegiatan MGMP atau KKG. Secara periodik guru belajar berkelompok dan
wadah MGMP/KKG dan didampingi oleh dosen LPTK yang cocok keahliannya. Dengan begitu guru terbantu, dosen LPTK mendapat
pintu pengabdian kepada masyarakat dan Kemdikbud tidak pusing dengan upaya peningkatan
mutu guru. Mari duduk bersama
memilikirkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar