Senin, 28 November 2016

BELAJAR DARI MOBIL 88



Dua hari ini saya berkesempatan mengunjungi dan berdiskusi dengan teman-teman UNM (Universitas Negeri Makasar) dan Unismuh (Universitas Muhammadiyah Makasar).  Sebenarnya tugas utama saya ke dua universitas itu melakukan monitoring pelaksanaan PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru) terkait dengan sertifikasi guru dalam jabatan. Nah, setelah urusan tugas itu selesai kami diskusi bebas, walaupun sedikit banyak terkait dengan PLPG.

Diksusi itu diawali dengan sebuah informasi kalau para peserta PLPG belum terbiasa belajar dengan bahan ajar yang ada di web Kemdikbud.  Tahun 2015, Kemdikbud melaksanakan UKG (Uji Kompetensi Guru) secara masif diikuti oleh hampir seluruh guru di Indonesia.  Hasilnya kurang menggembirakan. Kalau tidak salah, skor rata-ratanya hanya 5,6.  Dengan bahasa kasar, dapat dikatakan guru kita rata-rata hanya menguasai  56% dari kompetensi yang seharusnya dikuasai. Berangkat dari itu, Kemdikbud mengembangkan program yang diberi nama Guru Pebelajar.  Dikembangkan segudang bahan ajar yang diunggah di web Kemdikbud.  Guru dapat mengunduh dan memilih bahan ajar yang sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan skor UKG-nya.  Guru juga dapat mengetes diri, apakah setelah mempelajari bahan ajar itu, skor UKG-nya meningkat.

Namun ternyata guru kita belum biasa belajar mandiri dari bahan ajar online tersebut.  Paling tidak saat ini.  Wawancara dengan banyak guru peserta PLPG, teman-teman UNM maupun Unismuh menyimpulkan, guru kita belum punya kebiasaan itu atau bahkan belum punya kemampuan itu.  Mendengar itu saya jadi teringat apa yang diterapkan oleh UT (Universitas Terbuka).  Ketika melayani guru-guru yang menempuh S1, UT melaksanakan program tutorial intentif dengan mengontrak dosen LPTK.  Mengapa demikian?  Karena guru-guru yang menempuh S1 di UT itu belum dapat belajar mandiri, sehingga harus dibantu dengan tutorial.  Bahkan prakteknya tutorial itu tidak beda dengan perkuliahan biasa.

Berdasarkan informasi itu, akhirnya kami diskusi sampai panjang.  Guru kita jumlahnya sangat besar dan tersebar di seluruh pelosok negeri.  Jika Kemdikbud ingin menjangkau mereka secara face-to face tentu sangat berat.  Mau diserahkan ke Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota, rasanya instansi itu tidak punya SDM yang memadai.  Mau diserahkan LPMP, SDM-nya juga sangat terbatas.  Tetapi toh guru harus dibantu, karena belum mampu atau belum terbiasa belajar mandiri dengan bahan online.

Saya menyodorkan fenomena Mobil 88, yang salah satu outletnya di Jl Jemursari Surabaya, yang pintu belakangnya pas di depan rumah saya. Toyota itu memiliki divisi khusus yang menangani jual beli mobil bekas, yaitu Mobil 88.  Jika mobil merek lain, seperti Honda, Suzuki dan sebagainya, melayani purna jual dengan bengkel pemeliharaan, Toyota bergerak lebih jauh.  Disamping punya bengkel servis, juga punya divisi yang secara khusus melayani jual beli mobil bekas.  Oleh karena itu, dibanding merek lain, harga mobil bekas Toyota relatif bagus.  Mobil 88 tampaknya mampu mengendalikan harga Toyota bekas, sehingga tidak anjok.  Model layanan purna jual yang lebih hebat.  Mungkinkah itu ditiru oleh LPTK?

Bukankah sebagian besar atau bahkan hampir semua guru itu lulusan LPTK?  Bukankah LPTK punya program mirip layanan purna jual bagi lulusannya?  Jika semua merek mobil punya bengkel servis dan bahkan Toyota punya Mobil 88, apa yang program yang dimiliki LPTK untuk para lulusannya?

Setahu saya, LPTK memang melakukan pelatihan guru.  Tetapi itu sifatnya insidental dan seringkali dilakukan kalau ada permintaan.  Nah, mungkinkah pelatihan, pendampingan, CPD (continuing professional development) atau apapun namanya itu dilakukan secara terus menerus dan menjangkau ke seluruh guru?  Mungkinkah program itu dikaitkan dengan keinginan untuk meningkatkan kompetensi guru secara berkelanjutan?  Mungkinkah LPTK dapat mendampingi lulusannya (baca: guru), ketika mereka harus belajar mandiri dengan bahan ajar online?

Saya teringat apa yang dilakukan oleh NTNU (National Taiwan Normal University), semacam LPTK di Taipei.  Di NTNU setiao dosen punya tugas membina sejumlah guru dan itu bagian dari tugas resmi dari kampus.  Mungkin semacam pengabdian kepada masyarakat.  Nah, kalau setiap dosen LPTK di Indonesia ditugasi untuk mendampingi guru meningkatkan kemampuan/profesionalismenya dan itu dikaitkan dengan program Guru Pebelajar rasanya sangat baik.  Lebih baik lagi kalau itu diwujudkan dalam wadah kegiatan MGMP atau KKG.  Secara periodik guru belajar berkelompok dan wadah MGMP/KKG dan didampingi oleh dosen LPTK yang cocok keahliannya.  Dengan begitu guru terbantu, dosen LPTK mendapat pintu pengabdian kepada masyarakat dan Kemdikbud tidak pusing dengan upaya peningkatan mutu guru.  Mari duduk bersama memilikirkannya.

Tidak ada komentar: