Beberapa hari lalu
saya diundang dalam suatu acara oleh USAID di hotel Jogyakarta Plaza, dekat
kampus UNY dan USD Jogyakarta. Seperti
tradisi selama ini, USAID tidak menyediakan makan malam. Oleh karena itu, terpaksa saya mencari
sendiri. Untungnya ada anak-anak alumni Unesa yang sedang menempuh S2 di Yogya,
sehingga ada teman untuk makan malam.
Sore itu yang datang Zain yang sudah lulus S2 Manajemen tetapi sedang di
Jogya dan Amir yang baru semester 1 di S2 Ilmu Ekonomi.
Karena tidak tahu
harus makan kemana, saya minta Amir yang menentukan tempat makan malam. Keluar dari pintu samping hotek, saya diajak
berbelok kanan menyusuri jalan antara hotel dengan kampus USD. Saya kaget ternyata sepanjang jalan itu
berjejer warung-warung yang sangat banyak.
Saya bilang kepada Amir kalau saya agak batuk, jadi tolong cari warung
yang ada makanan yang panas. Kalau ada
saya ingin makan mie rebus.
Setelah melewati cukup
banyak warung yang rata-rata dipenuhi anak muda, Amir mengajak masuk ke sebuah
warung yang pada spanduknya ada tulisan mie goreng/rebus. Warungnya terbuka “ala mahasiswa” dan
ternyata pengunjungnya sangat banyak.
Kami bertiga dapat tempat duduk di belakang, sehingga terpaksa melewati
banyak meja yang lampir semua terisi anak-anak muda. Dugaan saya mereka mahasiswa.
Sambil memesan makanan
dan juga ketika menunggu makanan dihidangkan saya mengamati apa yang dimakan
pembeli di sekeliling kami. Rata-rata,
mereka menghadapi hot plate. Bahkan
beberapa kali pelayan warung itu lewat di depat kami dengan membawa hot plate
yang tentu saja bersuara khasnya barang panas dan dengan bau yang khas.
Terpancing oleh
situasi itu, saya mengambil lagi daftar menu makanan yang ada di meja. Pada
saat pesan, saya tidak melihat karena sejak awal sudah memutuskan ingin makan
mie rebus. Alangkah terkejut ketika pada
daftar menu itu saya menemukan berbagai jenis makanan dengan label hot
plate. Ada hot plate ayam, hot plate
sapi, hot plate tahu, hot plate jamur, hot plate sayuran dan juga ada hot plate
lengkap. Ternyata Amir juga pesan hot
plate ayam.
Terdorong rasa ingin
tahu, besuknya ketika kami makan bersama lagi, saya memesan hot plate
ayam. Porsinya besar ala mahasiswa,
rasanya biasa saja seperti ayam bumbu rujak, penyajian juga sederhana. Harganyapun hanya 20 ribu. Benar-benar khas mahasiswa. Yang membedakan dengan warung mahasiswa di
Surabaya yang sering saya kunjungi adalah “pakaging-nya”. Dengan bahan lokal, seperti daging sapi,
daging ayam, tahu, wortel, sawi, kol, jamur dan sejenis itu, tetapi dimasak
dengan pakaging “mewah” yaitu hot plate.
Sambil makan dan
bahkan ketika membayar, saya mencermati kasir, juru masak dan tentu saja yang
melayani. Sambil membayar saya bertanya, siapa “bos” warung itu dan mas yang
menjadi kasir menunjuk seseorang yang duduk di dekat pintu. Ternyata masih muda. Dugaan saya berumur sekitar 30-40 tahunan. Berpakaian sangat sederhana, dengan gaya anak
muda. Berkaos oblong putih dengan
tulisan yang tidak terbaca, karena agak jauh.
Pulang dari makan
malam itu, saya merasa belajar banyak dari para pengusaha warung, juru masak
dan pelayannya. Menurut saya idenya sangat cemerlang. Mereka mampu membaca peluang, memanfaatkan
bahan mentah yang ada, diolah sesuai dengan selera konsumen, dikemas sesuai
dengan konsumen.
Pengusaha warung itu
tampaknya menemukan bahwa lokasi itu ditengah-tengah tiga kampus besar, yaitu
UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), USD (Universitas Sanata Darma) dan UII
(Universitas Islam Indonesia). Dengan
demikian, makanan dikemas ala mahasiswa, jenis makanan, porsi harga, maupun
seting ruangan warungnya. Jadilah
deretan warung yang gaya warungnya ala anak muda, makananya ala anak muda dan
harganya ala mahasiswa. Mungkin itu yang menjadi kunci betapa larisnya warung
di lokasi itu. Semoga kita dapat belajar
kepada warung-warung itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar