Kemarin, tanggal 18
Agustus 2017 koran Surya memuat berita yang sungguh sangat menarik dengan judul
“Anak Amrozi Akhirnya Kibarkan Merah Putih”.
Berita yang disertai foto itu menceritakan suatu upacara HUT Kemerdekaan
RI ke 72 yang diselenggarakan oleh Yayasan Lingkar Perdamaian di Desa Tenggulun
Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan.
Yang bertugas sebagai pengibar bendera Merah Putih adalah Zulia
Mahendra, putra bungsu almarhum Amrozi, teroris yang dihukum mati dengan cara
ditembak.
Tidak hanya Zulia Mahendra
yang terlibat dalam upacara itu. Yang
bertugas sebagai Perwira Upacara adalah Yusuf Anis alias Aris alias Abu Hilal,
mantan kombatan lulusan Akmil Afganistan.
Yang bertindak sebagai komandan upaara adalah Yoyok Edy Sucahyo alias
Broyok mantan kombatan yang pernah berguru kepada Abu Faris yang sekarang
menjadi salah satu komandan perang ISIS di Syria. Ali Fauzi, adik Amrozi yang juga mantan
kombatan dan ahli membuat bom, bertindak sebagai pembaca teks proklamasi. Kapolres Lamongan, AKBP Juda Nusa Putra
bertindah sebagai inspektur upacara.
Sungguh suatu
pelajaran yang sangat baik, bagi siapa saja yang merasa tertarik pada
pendidikan. Menurut cerita di koran Surya, yang berperan “mengembalikan” Zulia
Mahendra “ke jalan yang benar” adalah Ali Fauzi, yang tidak lain adalah
pamannya sendiri. Ali Fauzi adalah adik
kandung Amrozi yang dahulu juga seorang teroris dan ahli pembuat bom. Setelah “insyaf” Ali Fauzi berusaha
“mengembalikan” saudara dan teman-temannya “ke jalan yang benar”. Konon pada awalnya Zulia Mahendra sering
datang kepada Ali Fauzi dan minta diajari membuat bom dengan tujuan membalas
dendam. Alhamdulillah Ali Fauzi berhasil
mengubah arah sang keponakan, sehingga menyadari “kekeliruan jalan yang ditempuh”
dan kemudian mau “kembali ke jalan yang benar”.
Dari kaca mata
pendidikan, fenomena itu membuktikan bahwa pendidikan yang baik dapat mengubah keyakinan dan pola pikir
seseorang. Sangat mungkin Ali Fauzi
adalah seorang pendidik yang hebat, seorang yang punya kemampuan meyakinkan
orang lain, seorang yang sangat sabar membimbing orang lain. Ali Fauzi sangat mungkin juga orang yang
berpikiran positif, sehingga walapun anak Amrozi punya dendam sangat besar,
tetap diyakini dapat diubah pemikirannya.
Saya menduga orang
yang dianggap “salah arah” atau memiliki “keyakinan yang menyimpang” atau “memiliki
ideologi yang keliru” jumlahnya cukup banyak.
Nah ketika orang seperti itu kemudian dimusuhi, dikucilkan atau bahkan
dihukum karena melakukan hal-hal yang dinilai salah, sangat mungkin mereka
dendam. Dendam seperti itu dapat saja
turun temurun, sehingga anak cucunya membawa dendam itu dalam
kehidupannya. Zulia Mahendra juga
seperti itu, sehingga ketika ayahnya, Amrozi, diekskusi dengan ditembak mati,
dia membentangkan spanduk akan “meneruskan perjuangan sang abi”. Oleh karena itu, kita memerlukan Ali Fauzi, Ali
Fauzi lain yang mampu membimbing orang yang “salah jalan” tersebut.
Selama ini, “orang
yang salah jalan” sering dikuncilkan.
Bahkan dihukum jika mereka melakukan perbuatan yang dinilai melawan
hukum. Jika orangtuanya telah dihukum
bahkan telah meninggal, seringkali anak keturunannya tetap saja
dikucilkan. Jika itu terjadi, sangat
mungkin mereka akan membentuk kelompok atau enklaf sesama teman yang merasa
sepenanggungan. Bukan mustahil dalam
kelompok seperti itu, dendam justru dipelihara dan bahkan ditumbuhkembangkan. Jika
itu terjadi, maka akan mirip api dalam sekam yang setiap saat dapat terbakar. Dan jika itu terjadi, kita tidak akan pernah
merasa tenang karena setiap saat akan terjadi kebakaran.
Menurut saya fenomena
di Tenggulun itu penting bagi program Penguatan Pendidikan Kaakter yang saat
ini digelindingkan oleh Kemdikbud.
Bukankah pendidikan karakter termasuk di dalamnya adalah “memperbaiki”
paradigma berpikir orang. Dengan
perubahan paradigma berpikir diharapkan respons terhadap situasi yang dihadapi
juga berubah. Saya menduga, Ali Fauzi
mampu mengubah pola pikir Zulia Mahendra sehingga respons yang bersangkutan
terhadap upacara bendera juga berubah.
Fenomena Tenggulun
tersebut di atas juga penting untuk Pendidikan Pancasila “versi baru” yang
dikembangkan oleh UKP PIP yang dikomandani oleh Mas Yudi Latif. Dalam suatu berita disebutkan bahwa salah
satu program UKP PIP adalah “mengembalikan” matapelajaran Pancasila. Mungkin matapelajaran PPKn akan dipecah
menjadi matapelajaran Pendidikan Pancasila dan matapelajaran PKn. Untuk membuat Pancasila terinternalisasi dan
diterapkan sebagai pandangan hidup tentulah diperlukan suatu proses pendidikan
yang baik. Nah, bagaimana Ali Fauzi
mampu membuat Zulia Mahendra menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan, setelah
sebelumnya memiliki benih teroris dapat menjadi bahan banding yang berharga.
Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar