Pada 30 Mei 2017 Pemerintah Republik Indonesia
menerbitk an PP no. 17 tentang Guru sebagai penyempurnaan PP no. 74 Tahun 2008. Keduanya merupakan PP penjabaran UU 14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen. Tampaknya pemerintah menganggap PP no. 74/2008
sudah tidak cocok sehingga perlu disempurnakan.
Salah satu pasal yang mungkin mengganggu adalah amanat pasal 82 ayat (2)
UU 14/2005 yang menyatakan bahwa guru yang belum memiliki
kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada wajib
memenuhi kualifikasi akademik dan sertifikat pendidik paling lama 10 tahun.
Nah, kenyataannya sampai Desember 2015 masih sangat banyak (sekitar 400.000
orang) guru yang berlum ikut sertifikasi.
Oleh
karena itu, pasal 12 ayat (1) pada PP no. 74/2008 yang menyatakan bahwa guru
yang telah memiliki kualifikasi S1 atau D IV dapat langsung mengikuti uji
kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidikan dihapus oleh PP no.
19/2017. Sebagai gantinya, muncul pasal
66 ayat (1) yang menyatakan bahwa guru dalam jabatan yang diangkat sampai akhir
Desember 2015 (batas 10 tahun UU 14/2005) dan sudah berkualifikasi S1 atau D IV
tetapi belum memiliki sertifikat pendidikan dapat mempeoleh sertifikat pendidik
melalui Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Dengan demikian guru dalam jabatan yang diangkat sebelum 1 Januari 2016
harus mengikuti PPG untuk memperoleh sertifikat pendidik. Hal itu dapat diartikan PLPG (Pendidikan dan
Latihan Profesi Guru) dihapus dan
digantikan dengan PPG. Mungkin PLPG yang
saat sedang berjalan merupakan PLPG terakhir, karena sudah berjalan sebelum PP
19/2017 terbit.
Apa
beda PLPG dengan PPG? Sulit untuk
menjelaskan. Mudahnya PPG itu pendidikan
profesi secara ideal yang menyiapkan lulusan S1 LPTK untuk memiliki sertifikat
pendidik. PLPG adalah “PPG modifikasi
atau bahkan PPG kilat” dengan peserta guru berpengalaman. Informasi yang saya peroleh, peserta PLPG
minimal memiliki pengalaman mengajar 5 tahun. Asumsinya peserta sudah makan
garam, sehingga seperti yang disebut pada pasal 12 ayat (1) PP no. 74/2008,
mereka dapat langsung ikut uji kompetensi.
Kalau toh ada pelatihan selama 9 hari, itu hanya semacam penyegaran
sebelum ikut uji kompetensi.
Nah,
bagaimana dengan guru dalam jabatan yang belum ikut sertifikasi dan harus
menempuh PPG? Bukankah PPG dilaksanakan
dalam 2 sementer dengan bobot kredit 36-40 sks? Itu yang sekarang harus dipecahkan oleh
Kemdikbud sebagai “pemilik guru” bersama dengan Kemrstek-Dikti sebagai
“komandan LPTK yang melaksanakan PPG”.
Mungkin nanti ada dua jenis PPG, yaitu PPG Pra-jabatan (PPG Prajab) bagi
calon guru dan PPG Dalam Jabatan (PPG Daljab) bagi guru yang telah mengajar
dalam waktu tertentu, sehingga pola RPL (Rekognisi Pengalaman Lampau) dapat
diterapkan untuk mengurangi beban belajar yang bersangkutan.
Tahun
2017 telah dirintis PPG Daljab dengan menerapkan RPL sehingga lama kuliah PPG
dapat dipendekkan menjadi satu sementer (sekitar 4 bulan penuh). Nah, jika masih ada 400.000 orang guru yang
belum ikut sertifikasi melalui PLPG dan diasumsikan 75% dari jumlah itu ikut
PPG Daljab, maka masih ada 300.000 orang guru yang akan mengikutinya. Jika LPTK bersedia melaksanakan PPG tiga
angkatan dalam satu tahun (masing-masing 4 bulan penuh) dan PPG Daljab
dirancang selama 5 tahun, maka setiap angkatan setiap tahun akan diikuti 20.000
orang guru.
Tampaknya
Kemdikbud, Kemristek-Dikti dan LPTK perlu segera duduk bersama untuk menyusun
rancangan bagaimana PPG Daljab tersebut dapat dilaksanakan. Perlu diperimbangkan juga kapasitas LPTK,
termauk program studinya, karena PPG Daljab tersebut akan berjalan bersamaan
dengan perkuliahan reguler S1, S2 dan S3.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar