Sekitar dua bulan
lalu, seorang kawan bercerita sedang risau dengan putranya. Suatu saat putranya
menunjukkan youtube yang dibuat oleh artis terkenal yang saat ini sedang
menjadi host suatu acara di TV. Youtube
itu intinya mengatakan sekolah itu tidak penting, yang penting tekuni apa yang
kamu suka. Belajar kepada ahli tentang apa yang kamu suka. Pada saatnya kesukaanmu itu akan menjadi
keahlian yang menjadi menghasilkan dan jika kami benar-benar ahli, kamu akan
menjadi orang terkenal dan kaya raya.
Saya juga ingat sebuah
film pendek, entah siapa yang membuat, yang isinya mengkitik habis-habisan
pendidikan selama ini. Film pendek itu
menunjukkan contoh anak muda belia yang sudah menjadi penemu ini dan itu. Penemuan itu dilakukan secara otodidak dengan
terus mencoba-coba dan bekerja keras. Seingat saya dua anak muda yang
dicontohkan adalah penemu di bidang teknologi kedokteran dan teknologi robotik.
Saya juga baru saja
selesai membaca buku dengan judul The Industry of The Future karangan Alec
Cross. Buku itu menceritakan bahwa robot akan menjadi bagian kehidupan
sehari-hari, sehingga ada satu bab yang menyarankan agar kita membiasakan diri
hidup berdampingan dengan robot. Buku
itu juga menceritakan pada saatnya setiap orang dapat menitipkan sel punca pada
suatu “pabrik/pusat riset” dan dengan sel punca itu, dapat diketahui apa
penyakit yang mungkin dialami. Yang
sangat menakjubkan, kita akan segera memiliki pabrik organ tubuh, sehingga jika
ada orang kecelakaan atau atau sebab tertentu harus mengganti organi tubun
tidak perlu lagi ribut mencari donor.
Sabtu tgl 12 Agustus
saya ikut rapat dan sebelum rapat dimulai diputarkan film pendek tentang
kemajuan teknologi dan dampakanya pada kehidupan manusia. Film itu meyakinkan bahwa disruption akan
menjadi new normality. Gangguan atau
lebih tepatnya kekagetan adanya hal baru akan menjadi kebiasaan kita sehari-hari. Ilmu dan teknologi akan berkembang cepat dan
semakin cepat dan bahkan sering terjadi lompatan. Pekerjaan yang bersifat dapat diprediksi akan
dikerjakan oleh robot. Semua yang sudah
telah disistimatisasi akan dikerjakan oleh robot. Bagian manusia adalah
mengerjakan hal-hal yang tidak dapat disistimatisasi atau menyusun
sistematisasi yang selanjutkan dikerjakan oleh robot.
Merenungkan empat
kejadian tersebut, sebagai guru saya jadi bingung. Pendidikan itu secara hakiki membantu anak
didik untuk menyiapkan diri menghadapi masa depan. Trilling dan Fadel (2009) mengajarkan
bagaimana merancang pendidikan dengan panduan empat pertanyaan: (1)
bayangkan/prediksi seperti apa kehidupan di dua puluh tahunan ke depan, (2)
jika itu sudah dapat dibatangkan/diprediksi, kemudian, pelajari apa kemampuan
yang diperlukan agar anak-anak dapat sukses hidup di zama itu; (3) berikutnya
bayangkan/pikirkan model belajar seperti apa yang membuat anak-anak akan
belajar maksimal, dan (4) berdasar jawaban tidak pertanyaan itu, bagaimana
desain pendidikan yang seharusnya.
Jika kita menghadapi
situasi yang digambarkan pada paragraf 1,2,3 terus seperti apa pendidikan kita
seharusnya? Saya jadi teringat methapora
bahwa kerja pendidikan itu mirip dengan geologi. Kita mengeksplorasi potensi alam dalam
geoologi dan potensi anak-anak dalam pendidikan untuk diolah dan
dikembangkan. Tentu itu harus sesuai
dengan potensi yang terkandung di dalamnya.
Secara kelakar, saya sering mengatakan jangan menambang emas di Bojonegoro,
tidak akan pernah ketemu. Sebaliknya
jangan menambang minyak di Cikotok tentu juga tidak akan ketemu.
Setelah kandungan
potensi ditambang tentu harus diolah untuk menjadi produk yang diperlukan
pasar. Nah, pasarnya itu yang terus
berubah dengan cepat seperti yang digambarkan oleh buku Alec Cross maupun film
pendek yang kami saksikan pada 12 Agustus lalu.
Jika betul semua yang telah disistematisasi itu nanti menjandi tugas
robot, maka tugas manusia adalah merancang apa yang dikerjakan robot. Jadi kemampuan berpikir analitis-sintesis, imajinasi dan
kreativitas untuk menghasilkan inovasi itulah salah satu yang tidak mungkin
dikerjakan robot.
Saya jadi teringat
sebuah studi Bank Dunia yang menyimpulkan bahwa harga suatu produk itu terbagi
menjadi nilai bahan mentah sebesar 10%, teknologi yang mengolahnya 20%,
networking yang memasarkan 25% dan 45% nilai inovasi. Jadi memang inovasi yang memiliki nilai
paling tinggi. Nah bagaimana
mengembangkan kemampuan berinovasi itulah yang harus ditumbuhkan dalam
pendidikan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar