Jum’at tanggal 25
Agustus saya ikut rapat Kemristek-Dikti di hotel Harris Jl Raya Kuta 62
Denpasar. Berangkat dari Jakarta pukul
07.45 WIB dan sampai Denpasar pukul 10.30 WITA.
Begitu sampai hotel, sambil check ini saya menanyakan dimana ada masjid
di dekat hotel. Dengan ramah petugas
hotel menjawab, keluar hotel belok kiri sekitar 300 m, sebelah kanan ada masjid
Rahmat.
Sebenarnya saya sudah
pernah sholat Jum’at di Bali. Seingat
saya di sanur di masjid besar dekat hotel Bali Beach. Saya juga pernah sholat di masjid yang sangat
bagus di dekat danau Kintamani atau Bedugul (saya lupa namanya). Namun karena letak hotel Harris di Kuta dan konon
Kuta adalah daerah wisata “anak muda”, maka bertanya dimana masjid saya anggap
penting. Saya pernah dapat cerita kalau
tamu asing yang senior biasanya memilih Sanur, tamu asing berduit memilih Nusa
Dua, tamu muda yang suka hura-hura memilih Kuta.
Sambil rapat saya
mencari waktu sholat di Denpasar bulan Agustus dan menemukan untuk tanggal 25,
waktu dhuhur pukul 12.22. Oleh karena
itu sekitar pukul 11.30 saya ijin masuk kamar agar pukul 12.00 sudah dapat
berangkat ke masjid. Sebenarnya saya ingin
ke masjid dengan memakai sandal, namun karena tidak menemukan sandal di kamar,
akhirnya setelah berwudlu saya kembali memakai sepatu dan langsung berangkat ke
masjid.
Sesuai petunjuk
petugas hotel, begitu keluar hotel saya belok ke kiri menyusuri jalan raya
Kuta. Setelah beberapa puluh meter saya
menyeberang jalan, dengan harapan menemukan orang yang juga akan sholat jum’at
sehingga bisa ikut tanpa harus bertanya dimana lokasi pasti masjid Rahmat. Sayangnya sudah berjalan beberapa lama, saya
tidak melihat orang berjalan dengan kain sarung atau memakai sandal atau yang
memberi kesan akan ke masjid. Nah,
ketika ada belokan ke kanan, saya jadi ragu-ragu, apakah terus atau harus belok
kanan. Saya memutuskan berjalan lurus sedikit lagi dan bertanya kepada petuga keamanan
yang sedang mengatur lalu lintas yang sangat padat itu. Namanya Wayan, dan beliau menjawab dengan
ramah “itu pak, ikut saja orang berjalan itu”.
Betul juga. Setelah berjalan beberapa meter tampak atap
masjid yang tentu bentuknya berbeda dengan rumah biasa. Tidak terdengat suara mengaji. Saya lihat arloji belum pukul 12.22 yang
tentu saja belum ada adzan. Ketika
sampai di gerbang masjid, ternyata masjid Rahmat sangat besar, hanya gerbangnya
agak kecil dan diapit oleh pertokoan.
Lokasi masjid di belakang pertokoan yang cukup padat.
Lokasi masjid di
sebelah timur jalan, sehigga begitu masuk pintu gerbang akan berhadapan dengan
dinding imaman, sehingga jamaah harus belok kanan atau kiri untuk mendapatkan
pintu masuk. Masjid Rahmat Kuta
berlantai dua. Di bagian barat, selain
imaman, diberi dinding penuh. Di bagian
utara dan selatan dibiarkan terbuka tanpa dinding. Di bagian timur, sepertinya tempat wudlu.
Sebelah utara dan selatan, di luar lantai masjid masih tersisa lahan yang
diberi paving bagus dan tampaknya untuk menampung jamaah saat bagian dalam
masjid penuh. Lantai masjid cukup
tinggi dibanding halaman kiri dan kanan, sehingga ada teludak dua tangga.
Mendekati pukul 12.22,
takmir masjid dengan baju gamis memberi pengumuman yang memang lazim dilakukan
di setiap sholat Jum’at. Dari cara
mengumunkan, saya yakin masjid Rahmat Kuta Bali menerapkan peribadatan seperti
yang lazim dilaksanakan di komunitas NU.
Setelah berkumandang adzan sebagian besar jamaah berdiri melaksanakan
sholat sunah sebelum sholat Jum’at.
Jamaah sangat banyak,
sehingga sebagian terpaksa menempati halaman samping utara dan selatan yang
saya sebut diberi paving. Saya juga
melihat jamaah berwajah Timur Tengah.
Bahkan saya kaget melihat jamaah wanita berwajah Timur Tengah yang
berjalan ke arah timur masjid. Saya
tidak tahu pasti, apakah mereka ikut sholat Jum’at atau ada keperluan lain. Di
Indonesia tidak lazim wanita ikut sholat Jum’at. Kecuali di masjid tertentu. Namun setelah sholat selesai, saya melihat
mereka juga ikut keluar dan bertemu jamaah laki-laki yang juga berwajah Timur
Tengah.
Saya melihat sound
system masjid menghadap ke dalam dan tidak ada yang di atap masjid. Saya menduga dimaksudkan agar suara adzan
atau pengajian tidak mengganggu masyarakat di sekitar masjid, yang sangat
mungkin orang Bali. Walapun orang Bali
terkenal sangat toleran, namun pemikiran untuk tidak mengganggu warga sekitar
merupakan langkah yang sanga bijak.
Yang menjadi khatib
Pak Nasution. Saya tidak ingat nama
depan beliau. Inti khotbah yang
disampaikan adalah tentang pentingnya keikhlasan dalam berkorban. Mungkin itu terkait dengan Idul Adha yang
akan segera datang pada Jum’at depan. Khatib juga mengingatkan pentingnya ibadah
sholat, sehingga jika ibadah lainnya diperintahkan Allah lewat malaikat Jibril,
ibadah sholat disampaikan langsung oleh Allah kepada Rasulullah ketika isra
mikraj.
Seperti biasa terjadi
pada masjid-masjid di Indonesia, ketika khatib berkhotbah akan beredar kotak
amal dari jamaah yang satu ke yang lain.
Waktu itu, jamaah di sebelah kanan saya memberi isyarat agar mengambil
kotak amak di depan saya akan ke kiri untuk diedarkan. Sejak saya datang jamaah tersebut terlihat
khusyuk berdzikir sambil memutar tasbihnya.
Pakaian beliau tampak sederhana, bersarung dan berbaju koko putih yang
sudah tamak tua. Kopyah hitam yang dipakai juga tampak sudah lama. Saya tidak sempat menegur atau bertanya,
kecuali mengajak salaman saat datang dan selesai sholat tahiyatul masjid.
Menuruti isyarat
beliau, saya berusaha mengambil kotak amal dan meneruskan kepada beliau. Saya melirik apa yang dilakukan dan ternyata
subhanallah, beliau mengambil 3 lembar uang lima puluh ribuan dimasukkan ke
kotak amal. Saya sampai berdebar
melihatnya. Jamaah yang berpakaian
sederhana dan mungkin dapat disebut “lusuh” itu beramal 150 ribu rupiah saat
sholat Jum’at. Dalam hati saya
bertanya-tanya, namun sampai pulang tidak menegur maupun bertanya.
Sambil berjalan pulang
dari masjid saya merenung. Mungkinkah
hari ini Allah menunjukkan teladan atau memberi pelajaran kepada saya: (1)
jangan melihat kesholehan orang dari pakaiannya, (2) jangan memandang rendah
kepada orang yang kebetulan berpakaian lusuh, (3) uang yang kamu miliki itu
adalah uang yang kamu sodaqohkan/infaqkan/sumbangkan dengan niat ibadah,
sedangkan uang di sakumu, di rumahmu dan di tabunganmu itu adalah uang titipan
yang setiap saat dapat diambil oleh “Yang Punya”. Subhanallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar