Minggu tanggal 20
Agustus 2017 siang saya kedatangan dua orang tamu. Keduanya mahasiswa S2 Umsida (Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo) program studi Magister Pendidikan Islam. Salah satunya ingin menyusun tesis tentang
pemikiran saya tentang pendidikan. Yang
bersangkutan menyebut pemikiran saya tentang pendidikan holistik. Mungkin dia hadir ketika saya menyampaikan
pemikiran itu sekitar dua tahun lalu.
Setelah yang
bersangkutan menyampaikan tujuan, kami berdiskusi secara bebas dan si mahasiswa
saya minta menyimpulkan sendiri. Saya
juga memberikan dua buku yang pernah saya tulis, untuk melengkapi diskusi. Ketika diskusipun saya lihat yang
bersangkutan sambil membuka-buka buku tersebut.
Karena diskusi berlangsung secara bebas dan diselingi kelakar sana-sini,
maka diskusi menjadi gayeng. Saya tidak ingat betul runtutan diskusi, tetapi
saya ingin berbagi apa yang kami diskusikan.
Kami mendikusikan
bahwa pendidikan itu harus utuh. Kalau
toh ada matapelajaran atau matakuliah, itu ibarat rumah ada pondasi, ada
dinding, ada pintu ada atap dan sebagainya.
Tetapi semua itu membentuk rumah yang dibuat dengan tujuan untuk tempat
tinggal. Bagaimana ukuran dan bentuk
rumah yang ideal, tentu tergantung kebutuhan yang akan tinggal di rumah
tersebut. Jika yang tinggal orang kaya dan keluarganya banyak, sangat mungkin
rumahnya besar dengan perlengkapan yang aduhai.
Namun jika hanya untuk suami isteri yang baru menikah dan kondisi
ekonomi masih pas-pasan, mungkin rumah yang dibangun gaya minimalis dengan
ukuran kecil saja.
Demikian juga
pendidikan. Kita harus memastikan dulu
pendidikan itu untuk apa? Sepanjang yang
saya ketahui hakekat pendidikan adalah membantu peserta didik untuk menyiapkan
diri untuk menghadapi masa depannya. Tentu itu dilakukan dengan mengembangkan
potensi yang dimiliki agar siap untuk menghadapi masa depan. Ketika kehidupan masih sederhana dan orang
mengandalkan hasil bertani dan berburu, yang kedua kemampuan itulah yang
diajarkan orangtua kepada anaknya. Inilah yang disebut education for earning a living.
Tentu disamping itu, orangtua juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan sesuai
dengan zamannya. Inilah yang disebut
education for life. Jadi sejak zaman
dahulu, pendidikan memiliki dua tujuan utama yang tidak dapat dipisahkan, yaitu
belajar nilai-nilai kehidupan (education for life) dan belajar untuk memenuhi
kebutuhan hidup (education for earning a living). Kedua aspek itu tidak dapat dipisahkan,
ibarat dua sisi mata uang. Jadi ini dan
itu, bukan ini atau itu. Itulah yang saya sebut dengan pendidikan holistik.
Jika tujuan pendidikan
seperti itu, maka semua matapelajaran, matakuliah, kegiatan ko-kurikuler, kegiatan ekstra kurikuler, serta kegiatan
lainnya harus merupakan bagian untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut. Semuanya harus merupakan bagian dari aktivitas
belajar nilai-nilai kehidupan (education for life) dan belajar untuk memenehi
kebutuhan hidup (for earning a living).
Ibarat rumah, semuanya harus terangkai menjadi kesatuan yang utuh (holistik),
tidak ada yang bolong karena terlupa dan sebaliknya tidak ada yang bertabrakan. Kalau toh terjadi tumpang-tindih, harus
seminimal mungkin. Ibarat rumah, tidak
boleh ada lubang selain pintu, jendela dan lubang lainnya yang memang didesain
berlubang. Ukuran genteng harus pas dengan jarak reng. Ukuran pintu harus pas dengan lubang kusen.
Keutuhan itu tidak
hanya dalam desain (kurikulum yang tercetak), tetapi juga dalam proses
pelaksanaan pembelajaran di sekolah/universitas. Setiap
matapelajaran/matakuliah harus jelas dimana posisinya dalam menyiapkan
siswa/mahasiswa dalam melaksanakan nilai-nilai kehidupan dan atau memenuhi
kebutuhan hidupnya agar tidak menjadi beban orang lain. Pelaksanaan pembelajaran
matapelajaran/matakuliah juga harus diatur agar yang menjadi prasyarat sudah
selesai ketika diperlukan untuk bidang lainnya.
Ibarat, pondasi sebagai prasyarat memasang tembok, maka pondasi harus
terpasang sempurna ketika pemasangan tembok dimulai.
Kalau menggunakan
metaphora Al Gozali, education for life itu mendidik hati karena hatilah yang
menentukan kemana arah kehidupan, menentukan mana yang baik dan mana yang
buruk, menentukan apa yang harus dikerjakan dan mana yang harus dihindari. Sementara education for earning a living itu
mendidik otak, tangan dan kaki agar dapat bekerja dan beraktivitas lainnya
untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup.
Jika dikaitkan dengan
taksonomi Bloom, education for life itu ranah afektif, sedangkan education for
earning a living itu ranah kognitif dan psikomotor. Dalam kurikulum kita, education for life itu
membentuk karakter, sedangkan education for earning a living itu membentuk
pengetahuan dan keterampilan.
Kalau begitu mengapa
pendidikan kita banyak dikritik? Menurut
saya, karena ibarat akan membuat rumah tidak jelas desain rumah yang ingin
dibangun. Mungkin spesifikasi rumah
sudah lumayan terumuskan dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) tetapi jika
ditanya, apakah matapelajaran/matakuliah itu betul-betul merupakan suatu
kesatuan untuk membentuk SKL itu, jawabnya belum. Apalagi ketika ujian akhir, apakah itu ujian
sekolah, ujian nasional, ujian komprehensif, ujian skipsi. Ujian tesis/disertasi
seringkali tidak menguji keterwujudan SKL yang telah dirumuskan. Jadi tidak perlu heran jika banyak orang
mempertanyakan, lulusan kita tidak seperti yang disebutkan dalam SKL.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar