Jum’at tanggal 26
Januari 2018 pagi Kepala Balitbang Dikbud, Dr. Totok Suprajitno, dijadwalkan
memberikan paparan tentang kebijakan akreditasi sekolah di depan anggota BAN
SM. Namun karena beliau mendapatkan
tugas dari Mendikbud ke acara lain, akhirnya diwakili Sekretaris Balitbang
Dikbud, Dadang Sudiyarto, MA. Pak Totok
hanya menitipkan satu pesan bahwa dalam akreditasi sekolah sudah saatnya kita
bergeser dari sekedar compliance ke performance.
Tentu tidak mudah
menangkap apa yang dimaksud kalimat tersebut.
Namun jika ditelusur ke beberapa pertemuan sebelumnya yang dilakukan
Balitbang Dikbud, tampaknya Pak Totok atau secara kelembagaan Balitbang Dikbud
ingin merubah paradigma pendidikan kita.
Sebagaimana pernah saya sampaikan di blog ini, Balitbang Dikbud
melakukan beberapa kali curah pendapat tentang kualitas pendidikan yang diikuti
oleh berbagai kalangan. Bahkan sudah
mulai ada tim khusus yang dinamakan Tim Kualitas Pendidikan dan dipimpin oleh
Prof Satryo S. Brodjonegoro, mantan Dirjen Dikti. Oleh karena itu menurut saya, satu kalimat
“sudah saatnya kita bergeser dari compliance ke performance” yang dipersankan
Pak Totok tersebut merupakan angin segar di tengah perkembangan mutu pendidikan
di Indonesia yang boleh dikatakan stagnan.
Melalui tulisan pendek ini, saya ingin berbagi pendapat tentang pesan
Pak Totok terebut.
Dalam beberapa
referensi manajemen pendidikan, disebutkan bahwa mutu pendidikan banyak
ditentukan oleh inovasi pembelajaran yang berlangsung disekolah itu. Itulah sebabnya kita sering menyaksikan dua
sekolah yang sarana-prasarananya sama, tetapi yang satu maju pesat, sementara
yang lain biasa-biasa saja. Kita juga
sering menyaksikan, sekolah yang kepalanya berganti terus berubah dengan
cepat. Mengapa? Karena perbedaan inovasi, baik antara sekolah
pertama dengan sekolah kedua, atau kepala sekolah sekarang dengan sebelumnya.
Nah inovasi
pembelajaran dan inovasi pengelolaan sekolah memerlukan dua syarat penting,
yaitu kemampuan pelakunya (guru dan kepala sekolah) harus bagus dan mereka
harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk mencoba ini dan itu sampai pada
akhirnya menemukan pembaharuan yang baik.
Ruang gerak ini yang seringkali sangat terbatas, apalagi bagi sekolah
negeri, karena bergitu banyak dan ketatnya aturan. Apalagi jika pihak Dinas Pendidikan,
khususnya pengawas sangat “taat aturan”, sehingga begitu sekolah melakukan
inovasi yang berbeda dengan petunjuk teknis langsung disalahkan.
Pada sekolah swasta
ruang gerak ini relatif lebih longgar, sehingga inovasi yang “menyimpang” dari
pedoman pengelolaan sekolah dan pedoman kurikulum sering muncul di sekolah
swasta. Dengan dorongan harus berkembang
agar tidak mati, sekolah swasta pada umumnya akan terus berinovasi bagaimana
memanfaatkan sarana yang dimiliki untuk mendapatkan model pembelajaran yang
efektif dan pada akhirnya menghasilkan lulusan yang terbaik. Bahkan dalam
banyak kasus, sekolah swasta menyiasati kurikulum agar proses pembelajaran
berjalan lebih efisien.
Sekolah swasta juga
lebih futuristik dalam memaknai mutu lulusan.
Ketika muncul 4-C sebagai kemampuan abad 21, sekolah swastalah yang
lebih dahulu mengadopsinya dan tidak lagi terpaku pada nilai Ujian
Nasional. Ketika semangat beragama di
masyarakat menguat, banyak sekolah swasta yang menguatkan pembelajaran agama
dengan berbagai bentuk. Bahkan muncul
berbagai label untuk menunjukkan ciri keunggulan sekolah.