Pas pulang kampung itu
ternyata ada kerabat yang tinggal di Dusun Bentong Desa Semanding wafat,
namanya Pak Rijan. Oleh karena itu saya
dengan Bude Cis dan Totok takziah. Sebenarnya
almarhum wafat sudah kemarinnya, tetapi tradisi di kampung kami takziah itu
berlangsung sampai hari.
Sewaktu kami
datang sudah ada tiga orang yang juga
sedang takziah dan ditemui oleh Kang No anaknya Pak Rijan. Saat kami datang, isteri Pak Rijan dan anak
perempuannya ikut menemui sehingga kami ngobrol ber-sembilan. Tentu obrolan ala pedesaan yang penuh
keakraban. Kami ngobrol tentang sulitnya
mencari tenaga tandur (menanam padi), mesin penanam padi yang kini mulai
digunakan petani, sampai ada kerabat yang baru kena tetanus gara-gara kakinya
terkena tunggak jagung saat membajak sawah.
Keakraban semacam
itulah yang saya rindukan. Ngobrol
ringan tetang kehidupan sehari-hari didesa tanpa beban aneh-aneh. Ketika menceritakan ada kerabat yang kenan
tetanus, Kang No mengatakan yang bersangkutan menggigil dan langsung diboncengkan
sepeda motor ke Puskesmas. Oleh Pak
dokter disuntik dan sampai rumah sudah sembuh.
Kerabat dari Sumoroto yang takziah menimpali, kalau di Puskesmas pas
tidak ada obat, Pak dokter akan menyuruh membeli di apotik sebelah Puskemas.
Sore harinya, setelah
sholat magrib kami semua sepakat makan pecel di lapangan dekat jalan baru di
kota. Kami berangkat ramai-ramai
berduabelas. Warungnya sangat sederhana dan hanya menjual pecel dengan tempe
goreng saja. Minumnya juga hanya teh dan
kopi. Pembeli duduk di tikar yang
digelar di lapangan. Nasinya panas yang
diambil dari dandang yang berasa di atas kompor. Sambelnya sangat pedas, sehingga saya
kepedasan.
Kebetulan sore itu
cuaca sangat bagus dan bulan menjelang purnama.
Kami berlama-lama duduk di tikar walaupun sudah selesai makan. Anak-anak kecil berlarian di lapangan
sehingga semua tampak menikmati. Kami yang tua ngobrol ringan tentang pecel
yang pedas dan tempe goreng lebar-lebar yang sangat enak. Apalagi tempe goreng di piring terus ditambah
dengan yang baru selesai digoreng.
Sepulang dari makan
pecel kami ingin membeli getok. Sewaktu
berangkat masih ada tetapi ketika pulang ternyaya sudah habis. Siangnya saat di sawah kami sudah ingin
membeli getuk di desa Golan tetapi terlalu jauh dengan jalan kaki, sehingga
diputuskan sore saja sambil makan pecel.
Nah, ternyata kehabisan. Jadinya
sampai pulang kami tidak sempat makan getuk.
Pada hal di sulung ingin sekali.
Jika berangkatnya naik
kereta api, pulangnya saya dan si sulung numpang mobil Toko via Malang, karena
ingin ziarah makan kakek saya (bapaknya Mbah Kung) yang dimakamkan di
Tulungangung. Kami berlima-Toko, Retno,
Ayok, si sulung dan saya-berangkat dari kampung halaman sekitar pukul 08,
setelah sarapan nasi pecel tumpang. Kami
memang merencanakan makan pecel tumpang, sehingga pagi-pagi Bude Cis sudah
membelikan.
Kami mampir juga
mengunjungi kerabat di Desa Nglongsor Trenggalek. Ketika datang, saya kaget karena Pak
Musdi-sepupu kedua Mbak Kung- sudah wafat sekitar satu setengah bulan lalu. Jadinya kami hanya ketemu istri Pak Musdi dan
dua anaknya-Kamim dan Ikin. Saya sempat
melihat sumur di belakan rumah Pak Musdi, tempat saya waktu kecil mandi
pancuran.
Dari Trenggalek, kami
meluncur makam Mbak Khasan Burais-kakek saya-yang terletak di Desa Jeruk,
Kalangbret, Tulungagung. Saat sampai
makan sedang gerimis, sehingga kami berpayung ria. Karena hujan, kami tidak sempat membaca Yasin
dan hanya berdo’a sebentar. Setelah itu
mengunjungi kerabat di dekat makan, yaitu Pak Manap dan Tamaji.
Pak Manap adalah
sepupu kedua Mbah Kung. Kalau Pak Musdi
sepupuk kedua Mbah Kung dari pihak Mbak Khasan Burais, Pak Manap sepupu kedua
dari pihak dari Mbah Painen-Mbak Khasan Burais putri. Pak Manap banya bercerita tentang keluarga
dan bahkan menceritakan dimana rumah Mbak Khasan Burais saat masih hidup. Ternyata beliau orang kaya dan memiliki lahan
cukup luas di dekat rumah Tamaji. Kami
juga dapat banyak nasehat tentang berbagai hal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar