Setelah mendorong
perkuliahan dengan billingual, kini Kemenristekdikti sedang mendorong
perkuliahan menggunakan pola daring (online). Saya kira keduanya memang sudah saatnya digalakkan di perguruan tinggi. Bahkan sebenarnya sudah agak terlambat. Bukankah dalam era global-digital ini, bahasa
Inggris sudah menjadi alat komunikasi formal di berbagai instasi. Bukahkan
sekarang semua urusan sudah menerapkan sistem online. Namun, seperti kata
pepatah lebih baik terlambat dibanding tidak memulai.
Namun demikian, harus
kita fahami penerapan daring dalam perkuliahan itu sarana dan bukan
tujuan. Ini saya sampaikan karena ada
gejala kuliah daring dimaknai dengan mengunggah bahan ajar ke web, sehingga
mahasiswa mudah memperolehnya. Katakanlah modul atau buku teks atau bahan ajar
yang selama ini digunakan dalam perkuliahan didigitalisasi dan diunggah di
web. Pertanyaannya apakah seperti itu
yang disebut kuliah daring?
Sebelum membahas lebih
jauh saya ingin kembali ke buku Organized Mind yang ditulis oleh Daniel Levitin
dan pernah saya ulas di blog ini sekitar Juni 2016, dengan judul Bingung
Kebanjiran Informasi. Memang saat itu
saya hanya menjelaskan kiat yang diajukan Levitin dalam menghadapi banjir
informasi yang tidak dikehendaki, nah kali ini saya ingin berbagi apa manfaat
banjir informasi dan apa manfaatnya untuk dikaitkan dengan kuliah daring.
Saat ini informasi di
dunia maya sangat melimpah dan terus semakin melimpah karena teknologi memberikan
kemudahan kepada semua orang untuk mengunggah pendapatnya. Media sosial telah menjadi wahana
“penumpahan” informasi tersebut. Oleh
karena itu, kemampuan yang sangat penting dimiliki adalah mencari informasi,
memilih dan memilah mana yang valid/baik, menganalisis secara kritis untuk
sampai kepada simpulan yang tepat. Kemampuan
itu ternyata sejalan dengan apa yang sering disebut dalam kemampuan abad 21 (21st
Century Skills).
Menurut saya
pembelajaran daring bukan sekedar mengganti perkuliahan tatap muka menjadi
virtual, tetapi sekaligus juga melatih mahasiswa dalam mencari informasi secara
daring, memilih dan memilahnya, menganalisis dan menggunakannya untuk memahami
fenomena atau memecahkan masalah. Dengan
demikian memuat semua bahan ajar, termasuk pengayaaannya di dalam web tepat,
karena tidak melatih mahasiswa mencari informasi secara virtual. Seperti pepatah, sebaiknya perkuliahan daring
memberikan kail dan bukan memberikan ikan.
Contoh sederhara yang
pernah saya lihat di sebuah SMP di Jepang mungkin dapat menjadi inspirasi. Saat itu saya mengunjungi sebuah SMP di
Nagoya tempat dosen Aichi University of Education bersama dengan mitra guru melaksanakan
lesson study. Waktu itu matapelajaran
Social Studies, mungkin mirip IPS di Indonesia.
Guru memberikan informasi bahwa berdasarkan undang-undang Jepang tidak
memiliki tentara, yang dimiliki adalah Pasukan Bela Diri. Undang-undang dibuat saat selesai Perang
Dunia Kedua dan atas desakan Sekutu sebagai pemenang perang. Sebagai Padukan Bela Diri tidak dibenarkan
untuk ofensif tetapi hanya defensif.
Nah, pada saat itu NATO yang sebenarnya merupakan penjelmaan Sekutu
meminta Jepang mengirim tentara (Pasukan Bela Diri) untuk ke Afganistan dan
Jepang memenuhi permintaan itu. Guru
meminta pendapat siswa, apakah yang dilakukan pemerintah Jepang itu betul atau
salah. Untuk menjawab itu, siswa dipandu
untuk membaca berbagai dokumen.
Dengan bahan banding
itu, maka dalam kuliah daring lebih baik difokuskan pada pertanyaan pancingan
dan panduan bagaimana mencari bahan kajian serta bagaimana menganalisisnya,
sementara untuk bahan kajian memanfaatkan bahan-bahan yang sudah ada di dunia
maya. Toh bahan semacam itu sudah sangat
banyak. Kalau toh diperlukan, hanya
bahan ajar esensial saja yang perlu disusun dan diunggah. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar