Biasanya kalau dari
kota Medan ke bandara Kualanamu atau sebaliknya, saya selalu menggunakan kereta
api. Kereta apinya bagus, cepat dan langsung berhenti di dalam area
bandara. Agak mahal tarifnya, yaitu 100
ribu rupiah. Namun karena cepat, tidak
terkena macet dan kereta api itu nyaman,
maka banyak orang memilih pakai kereta api dibanding bus atau taksi. Tampaknya
saat membangun bandara Kualanamu sudah dipikirkan transportasinya dari kota
Medan, sehingga keterpaduan bandara dan kereta api itu sangat terasa.
Ketika pulang dari
Unimed tanggal 22 Januari 2018, saya terpakna meninggalkan kebiasaan itu,
karena diantar oleh staf Unimed. Apalagi
sebelum itu diajak makan siang di warung Jumadi yang letaknya di ujung jalan
tol. Warung makan yang konon dahulu
sangat terkenal dengan gulai kepala ikan dan udang rebusnya. Nah, ketika melewati jalan raya menjelang
masuk jalan tol, kami menjumpai pandangan yang sangat menarik. Apa itu? Bentor (becak bermotor) yang siang
itu mengangkut anak sekolah. Memang jamnya
bersamaan dengan waktunya anak pulang sekolah.
Saya mencoba
menghitung berapa anak yang diangkut dalam satu bentor. Sungguh mengagetkan. Ada yang mengangkut 8 orang anak SMP, seperti
yang nampak pada gambar di atas. Ada
juga yang mengangkut anak SD dengan sangat berjubel, sehingga saya tidak dapat
menghitung. Umumnya anak-anak itu nampak
ceria, naik bentor berjubel sambil bercanda. Sang pengemudi juga tampak sudah
terbiasa dengan itu, sehingga mengemudi dengan tenang dan bahkan ketika saya
foto yang bersangkutan tersenyum.
Tentu angkutan semacam
itu sangat bermafaat bagi anak-anak yang berangkat dan pulang sekolah. Apalagi jika jarak rumah dan sekolah cukup
jauh dan tidak ada angkutan umum di wilayah itu. Pengemudi bentor juga untung
karena mendapat pelanggan tetap, yaitu anak-anak yang berangkat dan pulang
sekolah. Namun bagaimana dengan
keamanannya? Keamanan bagi pengemudi,
bagi penumpang dan juga pada pengendara lainnya.
Apakah fenomena seperti
itu hanya terjadi di Medan? Saya tidak
tahu pasti. Namun dalam skala lain,
tampaknya juga terjadi di tempat lain.
Di Surabaya saya pernah melihat, angkutan sejenis itu memuat sayur
bertumpuk dan diduduki oleh pedagangnya.
Kadang-kadang pedagang naik di belakang pengemudinya. Kendaraan seperti itu melaju di jalan raya,
berbaur dengan kendaraan lain.
Sepertinya itu juga sudah menjadi hal biasa, buktinya pak polisi lalu
lintas juga membiarkannya.
Kreativitas bentor
harus dihargai. Jika menggunakan istilah
Drew Boyd dan Goldenberg, mungkin penciptaaan bentor dapat dikategorikan
sebagai task unification ,
menggabungkan sepeda motor dengan becak.
Bentor yang pada awalnya muncul di Gorontalo, kini telah ada di hampir
semua kota dan bahkan dimodifikasi oleh fabrikan menjadi motor yang
dibelakangnya digandeng dengan gerobak, yang di kota besar banyak digunakan
untuk alat angkut barang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar