Minggu tanggal 21
Januari 2018 saya bertemu dengan Mas Dr. Abdul Mu’ti, M.Ed di bandara
Juanda. Saya mengenal baik beliau,
seorang tokoh muda Muhammadiyah dan baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai
Ketua BAN SM. Oleh karena itu walapun
ketemunya hanya singkat, sekitar 15 menit, tetapi sempat ngobrol ini dan
itu. Salah satu informasi penting yang
saya tangkap adalah banyaknya urusan administrasi sebagai Ketua BAN SM,
sehingga tidak punya waktu cukup untuk menangani hal-hal yang substansi. Waktunya habis untuk menagani urusan teknis
administrasi.
Mendegarkan keluhan
Mas Mu’ti, begitu biasa saya memanggil, saya teringat tulisan saya di blog ini
bulan November lalu. Saat itu saya
menceritakan keluhan guru yang waktunya habis untuk mengerjakan tugas-tugas
administratif, sehingga tidak lagi punya waktu untuk mengerjakan tugas-tugas
esensial, misalnya bagaimana mengajar/mendidik siswanya. Menurut beberapa guru, waktu untuk menyiapkan
bahan ajar, mengoreksi tugas siswa, mendalami materi ajar dan pembelajaran
untuk memperbaiki kualitas pembelajaran, hampir tidak ada. Begitu tidak mengajar, mereka harus
mengerjakan tugas-tugas administratif ini dan itu.
Berkebalikan dengan
fenomena itu, Kamis tanggal 18 Januari lalu saya diskusi dengan Mbak Petra
Bodrogini, teman dari Bank Dunia.
Diskusi dilaksanakan di resto Ngalam di lantai 2 mall FX dekat kantor
Kemenristek Dikti. Mengapa disitu? Karena kantor Bank Dunia di gedung BEI masih
tutup. Seperti diketahui lantai menzanine
gedung BEI, dimana Bank Dunia berkantor, roboh.
Yang menarik, walaupun gedung tersebut sudah dibuka kembali dan beberapa
kantor disitu sudah buka kembali, Bank Dunia memutuskan belum buka. Bahkan karyawan dilarang ke kantor dan jika
ke kantor akan mendapat tindakan dari Country Director.
Lantas apakah karyawan
libur? Tenyata tidak. Karyawan diminta bekerja di rumah
masing-masing atau di tempat lain. Yang
penting tugas-tugas dapat diselesaikan.
Sistem IT diatur para karyawan dapat mengakses dan mengunggah dokumen
yang diperlukan. Rapat dilakukan dengan
WA group, teleconference atau videoconference. Rapat kami di Ngalam Resto itu merupakan
bagian rapat seperti itu. Bagaimana
dengan presenstei dan jam kerja?
Bagaimana dengan
presensi karyawan? Ternyata Bank Dunia
tidak mengenal presensi. Karyawan sudah tahu kuwajibannya, sehingga walaupun
tidak ada presensi tidak ada yang membolos.
Jika karena seuatu hal tidak dapat hadir atau datang terlambat atau ijin
keluar kantor akan memberitahu atasannya masing-masing. Yang penting apa yang menjadi tugas dan
tanggungjawabnya selesai sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Jadi ukurannya bukan tanda tangan atau finger
print kehadiran, tetapi selesai tidak dan kualitas pekerjaan yang dihasilkan.
Mendengarkan
penjelasan Mbak Petra, saya jadi teringat soal SPPD (surat perintah perjalanan
dinas) yang biasa dibawa PNS ketika melaksanakan tugas keluar kota. SPPD itu harus ditandatangani oleh pimpinan
instansi yang dituju plus dibubuhi stempel, sebagai bukti yang bersangkutan
sudah melaksanakan tugas disana. Nah,
ketika kita pergi ke kantor lembaga seperti Bank Dunia atau ke ne\gara lain dan
meminta tanda tangan pada SPPD mereka bingung. Apa itu? Untuk apa itu? Karena mereka tidak punya kebiasaan seperti
itu. Jadi kita terpaksa harus
menjelaskan.
Saat makan siang
bersama dengan Prof Syawal Gultom, rektor Unimed tanggal 22 Januari 2018,
kejadian seperti itu menjadi bahan diskusi yang lucu. Menurut beliau, banyak aturan di Indonesia
itu disusun atas dasar “ketidakpercayaan”.
Oleh karena itu semua harus disertai bukti-bukti administrasi yang
seringkali justru mengalahkan yang substansi.
Ketika PNS tugas luar harus mengurus SPPD, seakan-akan laporan
substansialnya tidak cukup sebagai bukti sudah mengerjakan tugas luar
tersebut. Ketika dosen mendapat dana
penelitian, harus mengurus administrasi keuangan yang seringkali rumit. Laporan substansial hasil penelitian saja
tidak cukup, karena ditakutkan dana penelitian digunakan hal-hal lain.
Jangan-jangan adanya presensi yang kaku, kewajiban perangkat pembelajaran yang
sangat rinci dan tugas-tugas administrasi lainnya tadi disusun atas dasar
ketidakpercayaan.
Sudah saatnya kita
memikirkan hal-hal tersebut. Dari kaca mata kependidikan, mencurigai anak didik
dan mungkin anak buah bukan cara yang tepat.
Dalam konsep pendidikan, kita harus percaya siswa kita mampu mencapai
kompetensi yang dipelajari. Menjadi
tugas guru/pendidik/orangtua agar mereka dapat menguasai kompetensi itu dengan
cepat. Kita harus mempercayai siswa kita
sebagai anak yang baik dan anak yang bertanggungjawab. Menjadi tugas kita
adalah membimbing anak kita menjadi anak yang baik dan anak yang
bertanggungjawab. Bukan malah
mencurigainya. Hal serupa mestinya juga
diterapkan kepada guru dan karyawan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar